Bandar Sapuluh

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Bandar Sepuluh)

Bandar Sepuluh (Bahasa Minangkabau: Banda Sapuluah, atau biasa ditulis Banda X) adalah wilayah konfederasi sepuluh nagari yang sekarang menjadi bagian terbesar wilayah Kabupaten Pesisir Selatan yang secara historis-geneologisnya merupakan wilayah rantau dari penduduk Alam Surambi Sungai Pagu.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Secara etimologi, Bandar Sepuluh merupakan gabungan dari beberapa bandar (kota pelabuhan) di sepanjang pesisir pantai Sumatera Barat bagian selatan atau Kabupaten Pesisir Selatan sekarang. Tidak termasuk kedalam wilayah ini kecamatan Bayang, Lumpo dan Salido, XI Koto Tarusan, Lunang Silaut dan Pancung Soal (Inderapura).

Banda Sapuluah (Bandar Sepuluh) merupakan daerah Minangkabau yang penting pada masa lalu karena dari sinilah dikapalkan emas, lada, dan bahan-bahan hasil pertanian dan hutan lainnya ke manca negara. Emas adalah komoditas penting pada masa lalu yang berasal dari kawasan Pesisir Pantai Sumatera Barat ini. Di dalam pepatah pidato adat Alam Minangkabau dikatakan bahwa ameh manah dari Banda Sapuluah (Emas dari Bandar Sepuluh). Jadi dapat dikatakan bahwa kawasan Banda Sapuluah pada masa lalu adalah kawasan lalu lintas perdagangan internasional. Jika kita melihat kondisi saat ini di kawasan Banda Sapuluah, kita tidak menyangka bahwa pada zaman dahulunya pelabuhan-pelabuhan di Banda Sapuluah adalah pelabuhan yang penting dan ramai dikunjungi oleh pedagang dari manca negara.

Bila dilihat dari sejarah (Tambo) nagari-nagari di Bandar Sepuluh, nenek moyang Bandar Sepuluh datang dalam dua rombongan besar dari Alam Surambi Sungai Pagu, pertama pada tahun 1490 dan kedua pada tahun 1511.

Secara geneologis, penduduk yang sekarang ini mendiami Nagari Punggasan khususnya dan daerah Kab. Pesisir Selatan bagian selatan kecuali Indopuro umumnya berasal dari Alam Surambi Sungai Pagu di Kab. Solok Selatan (Sekarang). Arus perpindahan penduduk tersebut dilakukan menembus bukit barisan dan menurun di hamparan dataran luas yang berbatas dengan pantai barat Sumatera Barat bagian selatan yang dulunya dikenal dengan sebutan Pasisia Banda Sapuluah (Pesisir Bandar Sepuluh).

Menurut cerita yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, bahwa yang menemukan dan mempelopori perpindahan penduduk dari Alam Surambi Sungai Pagu ke Nagari Punggasan adalah “Inyiak Dubalang Pak Labah”. Dia adalah seorang Dubalang/Keamanan dalam salah satu suku di Alam Surambi Sungai Pagu yang suka berpetualang mencari daerah-daerah baru.

Berdasarkan kesepakatan rapat Ninik Mamak Alam Surambi Sungai Pagu, dikirimlah rombongan untuk meninjau wilayah temuan Dubalang Pak Labah. Sesampai di bukit Sikai perjalanan tim peninjau diteruskan kearah hilir melalui bukit Kayu Arang, tempat yang ditandai oleh Dubalang Pak Labah dengan membakar sebatang kayu. Ketika malam datang, rombongan beristirahat di bawah sebatang kayu lagan kecil dan daerah tempat beristirahat tersebut kemudian diberi nama “Lagan Ketek” . Kesokan harinya perjalanan dilanjutkan dan bertemu dengan sebatang kayu lagan yang besar. Daerah tersebut kemudian dinamakan “Lagan Gadang”. Rombongan meneruskan perjalanan sampai kesebuah padang yang banyak ditumbuhi oleh kayu dikek. Dari situ mereka melihat juga sebatang pohon embacang, sehingga kedua tempat tersebut dinamai “Kampung Padang Dikek” dan “Kampung Ambacang”. Perpindahan penduduk dari Alam Surambi Sungai Pagu, terbagi atas dua rombongan besar, dimana rombongan pertama berangkat lebih dulu.

Perjalanan Rombongan Pertama[sunting | sunting sumber]

Dari Alam Surambi Sungai Pagu, rombongan pertama kali sampai didaerah “Bukit Sikai”. Karena daerah tersebut sangat jauh dari sungai, rombongan pertama untuk beberapa hari kemudian turun kedaerah “Kampung Akat”. Atas keepakatan bersama, kemudian perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri arah peninjauan dahulu yaitu kembali ke bukit Sikai melalui Bukit kayu Arang lalu turun ke Lagan Ketek dan Lagan Gadang. Didua daerah itulah pertama kali taratak dipancang.

Karena berbagai kesulitan berupa gangguan binatang gajah, rombongan kembali ke Bukit Sikai dan turun kebalik bukit tersebut dan sampai di “Bukit Runcing”. Meskipun daerah Bukit Runcing cuma cocok untuk peladangan, rombongan pertama tetap bertahan hingga beberapa kali masa tanam dan sampai kemudian didaerah itu penduduk membuat “pandam pekuburan pertama”. Didaerah Bukit Runcing itu pula terdapat satu lubuk/telaga yang dinamakan “Lubuk Niat”.

Karena berbagai kesulitan, maka kemudian rombongan penduduk kembali menuju Kampung Akat dan setelah beberapa waktu kemudian bergerak lagi menuju arah “Talata”, melalui “Bukit Karang Putih”. Dari Bukit Karang Putih, perjalanan diteruskan melalui “Gunung Merantih Terpanggang”. Di Talata, penduduk sempat membuat masjid pertama dan terdapat pula pandam pekuburan. Sehingga sampai sekarang terkenal julukan “Lubuk Masjid di Talata”. Sebagian penduduk ada yang meneruskan perjalanan menuju arah hulu “Air haji” melalui “Bukit Sambung” dan berhenti disebuah gunung yang bernama “Gunung Sari Baganti” dan di gunung tersebut ketua rombongan meninggal dunia.

Penduduk yang bertahan di Talata dulu, karena berbagai gangguan kemudian mengiliri sungai dan bermukim didaerah “Rumah nan Ampek”. Selanjutnya perkampungan diperluas sampai ke “Kampung Jelamu, Sawah Lurahan, Kampung Talawi dan Kampung Solok”. Terakhir diketahui, rombongan penduduk yang sampai di Rumah nan Ampek terdiri dari Suku Chaniago, Panai, Malayu dan Kampai. Itulah sebabnya, daerah tersebut dikenal dengan Rumah Nan Ampek. Pimpinan rombongan ini dikenal dengan “Ninik Mamak Nan Barampek Jalan Ulu, nan manampuah Bukit Barisan dan Pematang Nan Panjang”. Setelah beberapa waktu bermukim karena berbagai gangguan, rombongan Rumah Nan Ampek kembali lagi ke Kampung Akat.

Perpindahan rombongan pertama ini berakhir di Tandikek Ambacang setelah melaui jalan lama yang melewati Lagan Ketek dan Lagan Gadang. Ditempat tersebut penduduk menetap dan diperkirakan terjadi pada akhir abad XV (± tahun 1490).

Perjalanan Rombongan Kedua[sunting | sunting sumber]

Penduduk yang pindah dari alam surambi Sungai Pagu dan tergabung dalam rombongan kedua dimaksudkan untuk mencari rombongan pertama yang dulu pernah pindah. Rombongan kedua dipecah kedalam dua kelompok yaitu:

Pimpinan kedua kelompok ini dikenal dengan “Ninik Mamak Nan Batujuah” karena dari suku Malayu terdiri dari empat orang ninik mamak dan dari Lareh Nan Tigo ( Suku Chaniago, Sikumbang dan Jambak).

Setelah sampai didua daerah di atas, kedua kelompok yang tergabung dalam rombongan kedua tidaklah menetap, karena tujuannya adalah mencari rombongan pertama dulu. Setelah beberapa lama mencari, tetapi rombongan pertama tidak juga bertemu maka kedua kelompok di atas kemudian bergabung dan menyisiri pantai kearah selatan.

Rombongan kedua pertama kali bermukim di daerah “Katapiang Gadang/Pandan Banyak” yaitu antara muara Sumedang dengan Muara Punggasan. Pada tahap selanjutnya penduduk makin bergeser keselatan sampai didaerah “Damar Condong/Durian Condong” yaitu kira-kira batas antara muara Air Haji dengan Muara Punggasan dan akhirnya setelah sekian lama bermukim, penduduk gelombang kedua berbalik menuju utara dan menetap di Muara Punggasan. Disanalah taratak dipancang, membuat labuah dan tapian mandi. Dimana yang berbakat tani kemudian menjadi petani dan yang berbakat nelayan kemudian menjadi nelayan.

Beberapa waktu kemudian diketahui bahwa penduduk yang tergabung dalam gelombang pertama perpindahan dari Alam Surambi Sungai Pagu ternyata bermukim di hulu sungai. Akhirnya dalam pertemuan antara penduduk yang tergabung gelombang pertama dengan penduduk yang tergabung dalam gelombang kedua, lahir kesepakatan bahwa di antara yang ber-empat rombongan jalan diulu dengan yang bertujuh dari hilir membuat suatu pemukiman bersama yang disebut “Padang Sabaleh”. Seiring dengan itu dilakukanlah pembagian wilayah kekuasaan di antara mereka yaitu:

  1. Batas yang dapat dilimbur pasang ke hilir adalah kekuasaan orang dihilir (gelombang ke dua) seperti daerah Pasir Nan Panjang, Babang Pamukatan, Nan Babungo Karang, Nan Ba Payuang Waru.
  2. Batas yang dapat dilimbur pasang ke arah Mudik adalah kekuasaan orang yang dihulu (gelombang pertama) seperti daerah Kayu Nan Babniah, Nan Gadang Kalaso Nan Runciang Tanduak, Buah Manih dan Buah Masam.

Hasil pertemuan yang melahirkan kesepakatan Padang Sabaleh inilah yang dipercaya sebagai awal berdirinya Nagari punggasan, ± 1511 M.

Karena pertambahan penduduk maka dilakukanlah perluasan pemukiman dan wilayah pertanian. Rombongan ninik mamak Nan Barampek Jalan di Ulu memperluas areal kearah hulu mengikuti rintisan pertama seperti Rumah Nan Ampek, Sawah Lurahan, Jelamu, Solok dan Kampung Talawi. Suku Malayu mengambil tempat di kampung Limau Antu dan wilayah sekitarnya. Dihilir daerah suku Malayu ditempati oleh suku Kampai. Kemudian karena perkembangan dari kampung Limau Antu, suku Malayu melewati perkampungan suku Jambak menuju daerah Gunung Linggo dan sekitarnya. Penyebaran suku Panai tidak langsung kehilir, tetapi tiap areal kosong yang tidak ada pemiliknya dikuasai oleh suku Panai. Ketiga suku ini, kedepan mempunyai hubungan saling semendo-menyemendo. Khusus penyebaran mengenai penduduk suku Chaniago, karena anggotanya sedikit, perluasan hanya dilakukan pada bagian mudik yaitu di Taruko Baru dan Sawah Ladang saja.

Suku Malayu, Kampai dan Panai kemudian mendirikan Masjid di kampung Kampai DT. Rajo Bagindo. Kemudian disebut dengan kampuang Masjid Lama. Beberapa waktu kemudian masjid diganti dengan masjid baru didaerah Koto Langang, kampung DT. Rajo Marah. Kemudian dipindahkan lagi kedaerah Padang Kayu Dadiah sehingga masjid yang berpindah-pindah tersebut dijuluki oleh masjid bararak.

Wilayah di luar Banda Sapuluah[sunting | sunting sumber]

Selain kawasan Bandar Sepuluh, ada beberapa nagari di Kabupaten Pesisir Selatan yang tidak disebut Bandar Sepuluh karena latar belakang historis yang berbeda. Nagari tersebut adalah Nagari Bayang, Tarusan Koto Sabaleh, Inderapura, Tapan dan Lunang Silaut. Nenek moyang Tarusan dan Bayang berasal dari Nagari Muaro Paneh, Solok yang masuk kedalam konfederasi Luhak Kubuang Tigo Baleh. Sedangkan Nagari Indopuro atau Inderapura dan Lunang sebagian berasal dari Sungai Pagu, Solok Selatan sekarang, Luhak Tanah Datar dan daerah sekitar yaitu Kerinci dan bengkulu. Nagari Indopuro (Inderapura) pada zaman dahulunya terdapat Kerajaan Inderapura, sebuah kerajaan besar dan penting di kawasan pantai barat Sumatra.

Bandar Sepuluh dan Kerajaan Sungai Pagu[sunting | sunting sumber]

Dahulu Bandar Sepuluh merupakan bagian dari wilayah Alam Surambi Sungai Pagu, yang dikenal sebagai daerah pinggiran atau daerah rantau sehingga Bandar Sepuluh dengan sendiri menjadi bagian dari Kerajaan Sungai Pagu. Kemudian Bandar Sepuluh terpisah dari pengaruh Sungai Pagu dan diambil alih oleh Kesultanan Inderapura lalu menjadi bagian dari provinsi Sumatera Barat dibawah Kabupaten Pesisir Selatan.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]