Bahan pangan organik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Anggota sebuah koperasi di Toronto yang saling berbagi bahan pangan organik dalam suasana kekeluargaan. Bahan pangan organik dapat ditanam sendiri di perkotaan. Lihat pertanian urban
Area yang khusus menjajakan bahan pangan organik, dalam Taipei Food Fair 2008

Bahan pangan organik adalah bahan pangan yang diproduksi dengan menggunakan metode pertanian organik, yang membatasi input sintetik modern seperti pestisida sintetik dan pupuk kimia. Penggunaan pestisida organik seperti toksin Bacillus thuringiensis masih digunakan. Bahan pangan organik juga tidak diproses menggunakan iradiasi, pelarut industri, atau bahan tambahan makanan kimiawi.[1] Gerakan pertanian organik muncul pada tahun 1940an menanggapi industrialisasi pertanian yang kini disebut dengan Revolusi Hijau.[2] Kini berbagai negara di dunia menerapkan kebijakan pangan seperti pelabelan sertifikasi organik agar suatu bahan pangan dapat dijual ke konsumen sebagai "bahan pangan organik". Dengan regulasi ini, bahan pangan organik harus diproduksi dengan cara yang sesuai dengan standar organik yang diterapkan oleh pemerintah suatu negara dan organisasi internasional.

Berbagai bukti memberikan hasil yang beragam mengenai pembuktian apakah bahan pangan organik lebih aman dibandingkan bahan pangan konvensional[3][4][5][6][7][8][9] maupun lebih baik dari segi rasa.[3][5]

Makna dan asal kata[sunting | sunting sumber]

Pada awalnya, pertanian adalah berbasis organik. Bahan kimia yang digunakan pada rantai produksi pangan mulai diperkenalkan pada awal abad ke-20.[10] Gerakan pertanian organik muncul pada tahun 1940an menanggapi industrialisasi pertanian.

Walter James, Baron ke-4 Northbourne menggunakan istilah pertanian organik di dalam bukunya yang berjudul Look to the Land (1940), yang berasal dari konsep pertanian organik miliknya yang menjelaskan pendekatan holistik dan seimbang secara ekologis pada pertanian, kontras dengan istilah yang ia sebut sebagai pertanian kimiawi yang bergantung pada "kesuburan yang diimpor" dan tidak mampu berdiri sendiri.[11] Hal ini berbeda dengan penggunaan istilah "organik" di dalam sains yang mengacu pada sekumpulan molekul yang mengandung karbon. Molekul dari kelompok senyawa organik tersebut berada pada semua hal yang dapat dimakan, namun berbagai senyawa pestisida sintetik juga merupakan senyawa kimia organik.

Definisi legal[sunting | sunting sumber]

National Organic Program yang dijalankan oleh USDA bertanggung jawab terhadap definisi legal dari organik di Amerika Serikat dan melakukan sertifikasi organik

Bahan pangan organik adalah sebuah industri yang mengatur dirinya sendiri dengan pemerintah yang mengawasi di beberapa negara. Saat ini, beberapa negara mengharuskan produsen bahan pangan yang ingin menjual produknya dengan label "organik" harus mendapatkan sertifikasi khusus yang mengatur tata cara produksi mereka berdasarkan definisi standar pemerintah.

Di Amerika Serikat, produksi bahan pangan organik adalah sebuah sistem yang dikelola berdasarkan Akta Produksi Bahan Pangan Organik tahun 1990.[12] Jika hewan ternak dilibatkan, baik sebagai penghasil produk hewan maupun produk samping dan tenaganya, maka hewan ternak harus mendapatkan akses secara berkala ke lahan penggembalaan dan tidak menggunakan antibiotik dan hormon pertumbuhan.[13]

Makanan organik yang terproses umumnya hanya mengandung komposisi yang terdiri dari bahan pangan organik pula. Jika terdapat komposisi bahan pangan organik, maka harus dijelaskan berapa persen yang organik. USDA mengharuskan setidaknya 95% organik untuk dapat tetap disebut bahan pangan organik.[14] Bahan pangan organik juga harus bebas dari bahan tambahan makanan kimiawi, bebas dari senyawa kimia, iradiasi, dan bahan pangan termodifikasi secara genetik. Pestisida diizinkan selama bukan merupakan pestisida sintetik.[15] Namun, di bawah standar organik pemerintah Amerika Serikat, jika hama dan gulma tidak mampu dikendalikan melalui praktik pengelolaan ataupun melalui pestisida dan herbisida organik, maka "sejumlah senyawa sintetik" yang ada pada daftar tertentu dapat diiznkan untuk digunakan.[16] Beberapa kelompok telah mengadvokasikan pelarangan penggunaan teknologi nano berdasarkan prinsip pencegahan[17] karena belum diketahui dampaknya.[18]:5–6 Penggunaan produk berbasis teknologi nano dilarang oleh beberapa negara (Kanada, Inggris, and Australia) dan tidak diatur di negara lainnya.[19][20]:2, section 1.4.1(l)

Untuk bisa disebut sebagai bahan pangan organik, sebuah produk harus ditanam dan diproses dengan cara yang sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh badan atau lembaga suatu negara:

USDA melakukan inspeksi rutin di lahan usaha tani yang memproduksi di bawah label bahan pangan organik USDA[30] hingga pengujian di tempat,[31]

Perbedaan komposisi kimiawi antara bahan pangan organik dan bahan pangan konvensional[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan perbedaan kimiawi, berbagai studi telah melakukan penelitian terkait nutrisi, antinutrisi, dan residu pestisida yang ada pada keduanya. Studi tersebut secara umum mendapatkan hasil yang bervariasi sehingga tidak ditemukan kesimpulan yang sama. Perbedaan tersebut juga diakibatkan oleh perbedaan lingkungan pengujian, metode, dan persepsi. Perbedaan juga terdapat pada musim dan lokasi penanaman, perlakuan terhadap tanaman, komposisi tanah, kultivar yang digunakan, dan sebagainya, termasuk pada produk daging dan susu.[6] Perlakuan pada bahan pangan setelah pengumpulan dari ladang atau kandang, jarak waktu antara panen dan analisis, serta kondisi transportasi dan pemindahan juga berefek pada perbedaan komposisi kimia pada bahan pangan yang diuji.[6] Juga terdapat bukti bahwa bahan pangan organik umumnya lebih kering dibandingkan bahan pangan yang diproses secara konvensional, sehingga senyawa kimia penting yang ada pada bahan pangan organik secara persentase dapat lebih tinggi, tapi tidak lebih tinggi secara kadar mutlak.[3]

Penerapan nutrisi organik pada hewan ternak, termasuk suplemen, juga berpengaruh terhadap tingkat kecernaan pakan yang diterima oleh hewan ternak. Sebuah hasil penelitian yang dipublikasikan pada tahun 2006 menunjukan bahwa pakan yang difermentasikan dan dicampur suplemen krom organik meningkatkan kecernaan bahan kering (dry matter digestibility) dan bahan organik (organic matter digestibility), dan kadar asam lemak volatil lebih tinggi dibandingkan dengan jika dicampur dengan suplemen krom anorganik.[32] Hal ini membuka kemungkinan lebih tinggi untuk menghasilkan produk peternakan secara lebih organik.

Nutrisi[sunting | sunting sumber]

Sebuah survei pada tahun 2012 tidak menemukan bukti ilmiah yang menyebutkan perbedaan signifikan terkait kadar vitamin dari produk pangan organik dan produk pangan konvensional, dan hasilnya bervariasi antara satu studi dengan studi lainnya.[6] Studi dilakukan terhadap berbagai hasil tanaman pertanian dan produk peternakan yang menganalisis asam askorbat (vitamin C), beta-karoten (pembentuk vitamin A), retinol (pembentuk vitamin A), dan alfa-tokoferol (vitamin E).

Daging ayam organik diketahui mengandung asam lemak omega-3 lebih banyak dibandingkan daging ayam konvensional, dengan perbedaan rata-rata 1.99 gram per 100 gram. Tidak ditemukan perbedaan signifikan antara kadar lemak dan protein, dan hanya terdapat perbedaan sedikit pada kadar asam askorbat dan nutrisi mikro lainnya.[33][34]

Studi pada tahun 2003 ditemukan bahwa kadar senyawa fenolik lebih tinggi pada buah marrionberry, strawberry, dan jagung yang ditumbuhkan secara organik jika dibandingkan dengan buah yang ditumbuhkan secara konvensional.[35]

Anti-nutrisi[sunting | sunting sumber]

Kadar nitrogen pada beberapa jenis sayuran, terutama sayuran hijau dan umbi-umbian ditemukan lebih rendah dibandingkan yang ditumbuhkan secara konvensional.[4] Toksin lingkungan seperti logam berat, USDA menyatakan bahwa daging ayam yang dipelihara secara organik mengandung kadar arsenik yang lebih rendah,[36]. namun studi lain menunjukan bahwa kadar arsenik, juga kadmium dan logam berat lainnya tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan.[3][4]

Residu pestisida[sunting | sunting sumber]

Sebuah analisis pada tahun 2012 menunjukan residu pestisida terdeteksi pada 7% bahan pangan yang ditumbuhkan scara organik, dan pada 38% bahan pangan yang ditumbuhkan secara konvensional. Bahan pangan organik memiliki 30% risiko lebih rendah terhadap kontaminasi residu pestisida. Hal ini secara statistik cukup beragam, yang kemungkinan dikarenakan tingkat deteksi yang beragam di antara pelaku peneliti. Hanya tiga studi yang dilaporkan mengandung kontaminasi melebihi batas, dan semuanya ditemukan di Uni Eropa.[6] American Cancer Society menyatakan bahwa tidak ada bukti yang menunjukan bahwa residu pestisida mengakibatkan kanker.[37]

Kontaminasi bakteri[sunting | sunting sumber]

Penebar kotoran hewan ternak sedang bekerja di lahan pertanian

Studi perbandingan kontaminasi bakteri E. coli pada bahan pangan organik dan bahan pangan konvensional tidak ditemukan perbedaan yang signifikan. Empat dari lima studi menemukan risiko kontaminasi yang lebih tinggi pada selada yang ditanam secara organik, selebihnya tidak signifikan.[6] Kontaminasi bakteri pada bahan pangan organik sangat mungkin terjadi karena penggunaan kotoran hewan sebagai pupuk, namun kasus wabah penyakit yang disebabkan oleh bakteri akibat pertanian organik jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan banyaknya pengaplikasian kotoran ternak di seluruh dunia.[3][4][5] Kasus terbaru adalah wabah E. coli di Jerman pada budi daya kecambah organik.[38][39]

Kesehatan dan keselamatan[sunting | sunting sumber]

Efek diet bahan pangan organik bagi kesehatan[sunting | sunting sumber]

Tidak ada bukti ilmiah mengenai manfaat atau kerugian bagi kesehatan manusia dengan rutin mengkonsumsi bahan pangan organik. Pelaksanaan eksperimen dan penelitian terbilang cukup sulit, dikarenakan sulitnya mencari populasi yang mengkonsumsi bahan pangan organik sepanjang hidupnya. Penelitian tersebut akan cukup mahal untuk dilakukan.[6] Kebanyakan artikel yang terkait tidak mempelajari efek langsung terhadap kesehatan manusia. Hanya sebagian kecil yang menyertakan hal demikian, di antaranya perubahan aktivitas antioksidan. Status dan aktivitas antioksidan dapat menjadi biomarker namun tidak sama secara langsung terhadap efeknya bagi kesehatan. Publikasi lainnya meneliti komposisi asam lemak pada air susu ibu dan kemungkinan dampaknya bagi bayi.[7] Sebagai tambahan, sulitnya mengukur perbedaan kimiawi secara akurat dan bermakna antara bahan pangan organik dan bahan pangan kimiawi menjadikannya sulit untuk mengekstrapolasikan rekomendasi kesehatan berdasarkan pada analisis kimiawi.

Hingga tahun 2012, konsensus ilmiah yang ada adalah bahwa "konsumen memilih membeli buah, sayuran, dan daging organik karena mereka percaya bahwa bahan pangan organk lebih bernutrisi dibandingkan bahan pangan lain. Kompilasi dari berbagai bukti ilmiah tidak mendukung pandangan ini."[40] Sebuah ulasan sistematik tahunan yang dikeluarkan oleh FSA pada tahun 2009 dan dilakukan oleh London School of Hygiene & Tropical Medicine berdasarkan bukti yang dikumpulkan selama 50 tahun menyimpulkan bahwa "tidak ada bukti ilmiah yang menyebutkan bahwa bahan pangan organik bermanfaat bagi kesehatan terkait kandungan nutrisinya."[41] Dan tidak ada dukungan dalam publikasi ilmiah manapun yang menyebutkan bahwa kandungan nitrogen yang lebih rendah pada sayuran organik baik bagi kesehatan.[4]

Keselamatan konsumen[sunting | sunting sumber]

Klaim yang menyebutkan bahwa bahan pangan organik lebih tidak membahayakan konsumen fokus kepada residu pestisida.[4] Hal ini terkait dengan fakta bahwa:[4]

  • paparan berlebihan pada pestisida mampu menyebabkan gangguan kesehatan
  • produk pangan dapat terkontaminasi oleh pestisida, yang mampu menyebabkan keracunan
  • sebagian besar bahan pangan yang dijual secara komersial mengandung sedikit kandungan residu pestisida

Namun disebutkan bahwa dampak kesehatan akibat paparan residu pestisida dalam jumlah sedikit yang terdapat pada bahan pangan sulit untuk diteliti secara kuantitatif. Penelitian mengenai tingkat keselamatan bahan pangan organik dihambat oleh sulitnya menemukan desain studi yang layak untuk dilakukan dan hanya ada sejumlah kecil penelitian yang membandingkan antara residu pestisida pada bahan pangan organik dan bahan pangan konvensional.[3][4][5][42][43]

Carcinogenic Potency Project[44][45] telah secara sistemis menguji kemampuan karsinogenik suatu bahan kimia, alami maupun sintetis, dan membangun basis data hasil penelitian selama 30 tahun yang tersedia bagi masyarakat.[46] Hasil penelitian mereka dalam kemampuan karsinogenik suatu bahan kimia adalah sebagai berikut:[47]

  1. Sejumlah besar bahan kimia yang terpapar ke manusia merupakan bahan kimia alami. Paparan harian rata-rata penduduk Amerika Serikat terhadap bahan yang terbakar di dalam makanan mereka adalah 2000 mg dan paparan bahan pestisida alami adalah 1500 mg. Pestisida alami adalah bahan kimia yang dihasilkan oleh tanaman untuk melindungi dirinya sendiri. Sebagai perbandingakn, total paparan harian residu pestisida sintetik adalah 0.09 mg. Sehingga 99.99% pestisida yang ditelah oleh manusia adalah alami. Meski perbedaannya begitu jauh, namun 79% bahan kimia yang diuji kemampuan karsinogeniknya di tikus laboratorium adalah sintetik.
  2. Seringkali diasumsikan salah bahwa sistem pertahanan manusia (sistem imunitas, dan sebagainya) berevolusi melawan bahan kimia alami di dalam makanan namun tidak berevolusi melawan bahan kimia sintetik. Secara umum, sistem pertahanan pada hewan berkembang pada arah yang sama dan tidak terlalu spesifik pada bahan kimia tertentu. Dan sistem pertahanan umumnya melindungi hewan pada bahan kimia, sintetik maupun alami, pada dosis yang rendah.
  3. Sulitnya mencari toksisitas pada rodentisida (pestisida untuk rodentia) karena yang diuji di laboratorium adalah paparan pada tikus lab. Rodentisida memang dirancang untuk membunuh tikus.
  4. Pada tikus lab, telah diuji juga pestisida alami yang terdapat pada tumbuhan sebagai mekanisme pertanaian mereka. Penelitian menunjukkan bahwa setengah dari pestisida alami yang diuji pada tikus lab menyebabkan kanker pada tikus. Semua pestisida alami tersebut merupakan yang paling umum terdapat pada makanan manusia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hampir semua sayuran dan buah-buahan yang dijual di pasar mengandung pestisida alami yang mampu menyebabkan kanker pada tikus.

Sebuah studi kimia analisis menunjukan bahwa buah dan sayuran yang ditanam secara organik mengandung kadar residu pestisida yang lebih rendah, namun risiko kesehatan akibat residu pestisida kimia dalam jumlah kecil tersebut masih diperdebatkan karena bahan pangan organik dan bahan pangan konvensional keduanya memiliki residu pestisida yang jauh di bawah batas keamanan yang ditetapkan pemerintah.[3][4][6] Pandangan ini juga telah diucapkan oleh USDA[36] dan Food Standards Agency (FSA) Inggris.[8]

Sebuah studi yang dipublikasikan oleh Konsul Penelitian Nasional Amerika Serikat pada tahun 1993 menunjukkan bahwa pada bayi dan anak-anak, paparan utama pestisida mereka ada pada makanan.[48] Studi lainnya yang dipublikasikan pada tahun 2006 mengukur kadar paparan pestisida organofosfor pada 23 anak sekolah sebelum dan setelah digantikan dengan bahan pangan organik. Tingkat paparan organofosfor ditemukan turun dari kadar yang sangat kecil ke kadar yang tidak bisa dideteksi.[49]

Klaim terkait residu pestisida akan meningkatkan risiko infertilitas atau mengurangi total jumlah sperma tidak didukung oleh bukti ilmiah di dalam jurnal kedokteran[4] dan American Cancer Society.[50] Sebuah kajian menyebutkan bahwa risiko kesehatan akibat keberadaan mikrob dan toksin alami mungkin lebih signifikan dibandingkan risiko dari residu pestisida.[3][4]

Persepsi masyarakat[sunting | sunting sumber]

Terdapat kepercayaan publik yang dipromsikan oleh industri bahan pangan organik, bahwa bahan pangan organik lebih aman, lebih bernutrisi, dan memiliki rasa yang lebih baik dibandingkan bahan pangan konvensional. Kepercayaan ini telah memicu peningkatan permintaan terhadap bahan pangan organik meski memiliki harga yan lebih mahal dan kurangnya bukti ilmiah.[4][6][7][42]

Efek psikologis terkait dengan pilihan dan konsumsi bahan pangan organik, dan mungkin menjadi seperti sebuah pengalaman religius bagi beberapa orang, juga merupakan faktor yang memotivasi untuk membeli bahan pangan organik.[3] Sebuah contoh dari efek psikologis halo pada bahan pangan organik didemonstrasikan oleh sebuah studi yang dipublikasikan pada tahun 2010.[51] Hasil dari studi tersebut menunjukan bahwa mahasiswa suatu universitas percaya kue organik memiliki kalori yang lebih rendah dibandingkan kue konvensional. Efek ini diamati meski label nutrisi diberikan dan menunjukan kandungan kalori yang identik sama. Efek ini lebih terlihat pada partisipan yang mengukung bahan pangan organik secara kuat dan memiliki kepedulian tinggi terhadap masalah lingkungan. Persepsi bahwa bahan pangan organik merupakan bahan pangan berkalori lebih rendah atau lebih sehat terlihat umum di masyarakat.[3][51]

Di China, peningkatan permintaan terhadap bahan pangan organik meningkat, terutama pada susu dan produk susu untuk bayi yang dipicu oleh skandal susu Tiongkok 2008. Hal ini menjadikan China pasar susu organik terbesar di dunia pada tahun 2014.[52][53][54] Pew Research Centre mensurvey pada tahun 2012 bahwa 41 persen konsumen di China menganggap bahwa keamanan pangan merupakan masalah yang penting, meningkat lebih tiga kali lipat dibandingkan survey tahun 2008 yang hanya 12 persen.[55]

Rasa[sunting | sunting sumber]

Sebuah kajian pada tahun 2002 persepsi rasa buah dan sayuran organik jika dibandingkan dengan bahan pangan konvensional dapat bervariasi bergantung pada kualitas alat perasa, dan hasilnya tidak konsisten.[5] Terdapat bukti bahwa bahan pangan organik lebih kering dibandingkan bahan pangan konvensional sehingga memiiki rasa yang lebih intens karena konsentrasi senyawa pemberi rasa yang lebih tinggi.[3]

Beberapa bahan pangan seperti pisang, dipetik ketika masih mentah. Lalu pada umumnya secara kimiawi dipercepat kematangannya menggunakan propilena dan etilena selama penyimpanan, sehingga menghasilkan rasa yang berbeda.[56] Masalah penggunaan etilen dalam bahan pangan organik banyak ditentang. Penentang penggunaan etilen menyatakan bahwa hal ini hanya akan menguntungkan perusahaan besar dan membuka pintu lebar bagi standar organik yang lebih lemah di seluruh dunia.[57]

Keekonomian[sunting | sunting sumber]

Permintaan terhadap bahan pangan organik terutama didorong oleh kekhawatiran mengenai kesehatan pribadi dan kelestarian lingkungan.[58] Penjualan bahan pangan organik secara global meningkat lebih dari 170 persen sejak 2002, mencapai US$ 63 miliar pada tahun 2011[59] meski jumlah lahan usaha tani yang menerapkan organik tersertifikasi masih sangat kecil (kurang dari 2 persen) total lahan usaha tani, terbanyak dimiliki negara anggota OECD dan Uni Eropa.[60] Produk organik umumnya memiliki harga 10 hingga 40% lebih mahal dibandingkan bahan pangan konvensional.[61]

Meski bahan pangan organik hanya 1-2% dari total produksi pangan dunia, penjualan bahan pangan organik terus meningkat. Pangsa pasar bahan pangan organik di Amerika Serikat sudah mencapai angka antara 5 hingga 10% berdasarkan Organic Trade Association,[62] secara signifikan mengalahkan pertumbuhan nilai volume penjualan dalam US$ dibandingkan bahan pangan konvensional.

Di beberapa negara, peningkatan penjualan bahan pangan organik terjadi karena pemberlakuan peraturan dan undang-undang setempat. Sejak tahun 2000, penggunaan bahan pangan organik adalah sebuah keharusan di sekolah dan rumah sakit di Italia. Sebuah hukum di Emilia Romagna yang dikeluarkan pada tahun 2002 dan diterapkan pada tahun 2005 secara eksplisit memerintahkan penyediaan makanan di TK dan SD harus 100% organik, dan penyediaan makanan di sekolah, universitas, dan rumah sakit harus setidaknya 35% organik.[63]

Kuba menjadi negara yang menjadikan pertanian organik sebagai "jalan terakhir" bagi penyediaan bahan pangan sejak runtuhnya Uni Soviet dan dimulainya embargo yang mempersulit suplai input pertanian di negara tersebut.[64] Pestisida, benih, dan pupuk anorganik menjadi sulit didapatkan, sehingga petani harus menyediakan benih sendiri dan mengembalikan kesuburan tanah menggunakan pupuk kandang dan humus. Hingga kini, pertanian organik masih menjadi cara utama dalam menghasilkan bahan pangan, di mana sejumlah negara masih menjadikan pertanian organik sebagai cara alternatif penyediaan bahan pangan. Meski standar organik yang diterapkan tidak sama dengan standar negara lain (misal penggunaan GMO diizinkan[65][66]) namun ekspor jeruk dan jus jeruk Kuba ke Uni Eropa memenuhi standar organik Uni Eropa. Kuba akan tetap mempertahankan pertanian organiknya dan menjadi penyuplai utama bahan pangan organik di dunia.[67]

Sebuah studi yang dilakukan di Kabupaten Bogor terhadap petani yang menanam padi organik ditemukan bahwa petani organik cenderung lebih sejahtera.[68]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Allen, Gary J. & Albala, Ken, ed. (2007). The Business of Food: Encyclopedia of the Food and Drink Industries. ABC-CLIO. hlm. 288. ISBN 978-0-313-33725-3. 
  2. ^ Drinkwater, Laurie E. (2009). "Ecological Knowledge: Foundation for Sustainable Organic Agriculture". Dalam Francis, Charles. Organic farming: the ecological system. ASA-CSSA-SSSA. hlm. 19. ISBN 978-0-89118-173-6. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k Blair, Robert. (2012). Organic Production and Food Quality: A Down to Earth Analysis. Wiley-Blackwell, Oxford, UK. ISBN 978-0-8138-1217-5
  4. ^ a b c d e f g h i j k l Magkos F et al (2006) Organic food: buying more safety or just peace of mind? A critical review of the literature Crit Rev Food Sci Nutr 46(1) 23–56 | pmid=16403682
  5. ^ a b c d e Bourn D, Prescott J (2002). "A comparison of the nutritional value, sensory qualities, and food safety of organically and conventionally produced foods". Crit Rev Food Sci Nutr. 42 (1): 1–34. doi:10.1080/10408690290825439. PMID 11833635. 
  6. ^ a b c d e f g h i Smith-Spangler, C (September 4, 2012). "Are organic foods safer or healthier than conventional alternatives?: a systematic review". Annals of Internal Medicine. 157 (5): 348–366. doi:10.7326/0003-4819-157-5-201209040-00007. PMID 22944875. 
  7. ^ a b c Dangour AD et al (2009) Nutritional quality of organic foods: a systematic review The American Journal of Clinical Nutrition 92(1) 203–210
  8. ^ a b "Organic food". UK Food Standards Agency. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-06-05. Diakses tanggal 2013-11-02. 
  9. ^ Williams, Christine M. (2002). "Nutritional quality of organic food: shades of grey or shades of green?" (PDF). Proceedings of the Nutrition Society. 61 (1): 19–24. doi:10.1079/PNS2001126. 
  10. ^ "History of food, p. 3" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-11-04. Diakses tanggal 2013-11-03. 
  11. ^ John, Paull (2006). "The Farm as Organism: The Foundational Idea of Organic Agriculture" (PDF). Elementals: Journal of Bio-Dynamics Tasmania. 80: 14–18. 
  12. ^ "Agricultural Marketing Service – National Organic Program". Ams.usda.gov. 2008-10-31. Diakses tanggal 2012-09-09. 
  13. ^ "Access to Pasture Rule for Organic Livestock". Ams.usda.gov. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-08-31. Diakses tanggal 2012-09-09. 
  14. ^ "Labeling: Preamble". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-05-14. Diakses tanggal 2012-09-09. 
  15. ^ Staff, National Pesticide Information Center Organic Pesticide Ingredients
  16. ^ "Code of Federal Regulations 7 CRF § 205.206(2e)". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-06-08. Diakses tanggal 2013-11-03. 
  17. ^ Paull, J. & Lyons, K. (2008) Nanotechnology: The Next Challenge for Organics, Journal of Organic Systems, 3(1) 3–22
  18. ^ National Research Council. A Research Strategy for Environmental, Health, and Safety Aspects of Engineered Nanomaterials National Academies Press: Washington DC. 2012
  19. ^ Staff, The Organic & Non-GMO Report, May 2010. Canada bans nanotechnology in organics
  20. ^ Canada General Standards Board Organic Production Systems General Principles And Management Standards (CAN/CGSB-32.310-2006)
  21. ^ "Steps to Certification – Within Australia". NASAA. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-02-16. Diakses tanggal 2012-09-09. 
  22. ^ "Organic Products Regulations". Canada Gazette, Government of Canada. 2December 21, 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-07-26. Diakses tanggal 2012-10-02. 
  23. ^ "KRAV". Krav.se. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-10-12. Diakses tanggal 2012-10-02. 
  24. ^ "Department for Environment, Food and Rural Affairs". DEFRA. Diakses tanggal 2012-10-02. 
  25. ^ "About Us". (Google translated into English). Stowarzyszenie "Polska Ekologia". Diakses tanggal 2013-08-14. 
  26. ^ "Debio Organic certification". Debio.no. Diakses tanggal 2012-10-02. 
  27. ^ NPOP, (National Program for Organic Production)
  28. ^ "BIOCert". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-10-05. Diakses tanggal 3 November 2013. 
  29. ^ "JAS Standards". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-08-05. Diakses tanggal 2013-11-03. 
  30. ^ Nestle, Marion. 2006. What to Eat. NY: North Point Press. ISBN 978-0-86547-738-4
  31. ^ Neuman, William (March 19, 2010). "U.S. Plans Spot Tests of Organic Products". The New York Times. Diakses tanggal 2012-09-09. 
  32. ^ Jayanegara, A.; Tjakradidjaja, A.S.; Sutardi, T. (2006). "Fermentabilitas dan Kecernaan in Vitro Ransum Limbah Agroindustri yang Disuplementasi Kromium Anorganik dan Organik". IPB-ana. 
  33. ^ Magkos F et al (2003 Organic food: nutritious food or food for thought? A review of the evidence International Journal of Food Sciences and Nutrition 54(5):357–71
  34. ^ J.N. Pretty JN Et al (2005) Farm costs and food miles: An assessment of the full cost of the UK weekly food basket[pranala nonaktif permanen] Food Policy 30: 1–19
  35. ^ Asami, Danny K. "Comparison of the Total Phenolic and Ascorbic Acid Content of Freeze-Dried and Air-Dried Marionberry, Strawberry, and Corn Grown Using Conventional, Organic, and Sustainable Agricultural Practices". Journal of Agricultural and Food Chemistry (American Chemical Society), 51 (5), 1237 -1241, 2003. 10.1021/jf020635c S0021-8561(02)00635-0. Retrieved 10-Apr-2006.
  36. ^ a b Gold, Mary. "Should I Purchase Organic Foods?". USDA. 
  37. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-27. Diakses tanggal 2013-11-03. 
  38. ^ "Analysis: E.coli outbreak poses questions for organic farming". Reuters. 6 June 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-06-26. Diakses tanggal 22 June 2012. 
  39. ^ "Tracing seeds, in particular fenugreek (Trigonella foenum-graecum) seeds, in relation to the Shiga toxin-producing E. coli (STEC) O104:H4 2011 Outbreaks in Germany and France" (PDF). European Food Safety Authority. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-05-16. Diakses tanggal 23 July 2012. 
  40. ^ "The Food Standards Agency's Current Stance" (PDF). Archived from the original on 2010-03-31. Diakses tanggal 2013-11-03. 
  41. ^ Sophie Goodchild for the London Evening Standard. July 29, 2009 "Organic food 'no healthier' blow" Diarsipkan 2009-08-01 di Wayback Machine.
  42. ^ a b Canavari, M., Asioli, D., Bendini, A., Cantore, N., Gallina Toschi, T., Spiller, A., Obermowe, T., Buchecker, K. and Lohmann, M. (2009). Summary report on sensory-related socio-economic and sensory science literature about organic food products
  43. ^ Rosen, Joseph D. (May 2010). "A Review of the Nutrition Claims Made by Proponents of Organic Food". Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety. 9 (3): 270–277. doi:10.1111/j.1541-4337.2010.00108.x. 
  44. ^ "Carcinogenic Potency Project Official Website". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-09-03. Diakses tanggal 2013-11-03. 
  45. ^ National Center for Computational Toxicology (NCCT) DSSTox Official Website
  46. ^ Publicly available Toxnet database from US NLM
  47. ^ Gold, L.S., et al (1992) Rodent carcinogens: Setting priorities Diarsipkan 2013-11-06 di Wayback Machine." Science 258: 261–265
  48. ^ National Research Council. Pesticides in the Diets of Infants and Children Diarsipkan 2008-10-06 di Wayback Machine.. National Academies Press; 1993. ISBN 0-309-04875-3. Retrieved 10-Apr-2006.
  49. ^ Lu, Chensheng; et al. (2006). "Organic Diets Significantly Lower Children's Dietary Exposure to Organophosphorus Pesticides" (PDF). Environmental Health Perspectives. 114 (2): 260–263. doi:10.1289/ehp.8418. PMC 1367841alt=Dapat diakses gratis. PMID 16451864. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2009-03-26. Diakses tanggal 2013-11-03. 
  50. ^ "Food additives, safety, and organic foods". American Cancer Society. Diakses tanggal 11 July 2012. 
  51. ^ a b Schuldt, J.P. and Schwarz, N. (2010). The "organic" path to obesity? Organic claims influence calorie judgments and exercise recommendations" Judgment and Decision Making 5: 144–150. Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Schuldt" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  52. ^ Chen, Jue (February 2014). "Food safety in China opens doors for Australia's agri sector". Australia China Connections. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-03-27. Diakses tanggal 27 March 2014. 
  53. ^ Stewart, Emily. "Chinese babies looking for more Aussie organic milk". abc.net.au. Australian Broadcasting Corporation. Diakses tanggal 27 March 2014. 
  54. ^ "Organic exports to China on the rise". Dynamic Export. Diakses tanggal 27 March 2014. 
  55. ^ Wikes, Richard. "What Chinese are worried about". Pew Research Global Attitudes Project. Pew Research. Diakses tanggal 27 March 2014. 
  56. ^ "Banana Wars", by Joanna Blythman (The Observer, 13-Mar-2005) and "Bananas & Plantains" Diarsipkan 2011-10-11 di Wayback Machine., Honduran Agricultural Research Foundation (FHIA).
  57. ^ "The organic label just won't stick if feds keep this up" Diarsipkan 2014-11-03 di Wayback Machine., by Julie Deardorff (Chicago Tribune, 9-Dec-2005) and "Dole urges organics board to approve ethylene use" Diarsipkan 2016-03-13 di Wayback Machine., by Joan Murphy (The Produce News, 22-Nov-2005).
  58. ^ Conflicting demands of agricultural production and environmental conservation: consumers' perception of the quality and safety of food (2004). Filho, Walter Leal, ed. Ecological agriculture and rural development in Central and Eastern European countries. IOS Press. hlm. 147–148. ISBN 978-1-58603-439-9. 
  59. ^ Global organic sales reach $63 billion, U.S. is largest market Diarsipkan 2013-11-05 di Wayback Machine., Ag Professional, June 25, 2013.
  60. ^ OECD Compendium of Agri-Environmental Indicators, OECD, 25 Juni 2013.
  61. ^ Winter, Carl K. (November 2006). "Organic Foods". Journal of Food Science. 71 (9): R117–R124. doi:10.1111/j.1750-3841.2006.00196.x. 
  62. ^ Organic Food Facts Diarsipkan 2013-06-01 di Wayback Machine., Organic Trade Association, 2010.
  63. ^ Organic Consumers Association. "Italian Law Calls for All Organic Foods in Nation's Schools". Archived from the original on 2012-03-15. Diakses tanggal 2013-06-21. 
  64. ^ Auld, Alison. "Farming with Fidel". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-03-04. Diakses tanggal 2007-10-08. 
  65. ^ Center for Genetic Engineering and Biotechnology. "Cuban GMO Vision" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-11-05. Diakses tanggal 2007-10-08. 
  66. ^ Centro de Ingeniería Genética y Biotecnología de Cuba. "DirecciÓn de Investigaciones Agropecuarias". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27. Diakses tanggal 2007-10-08. 
  67. ^ Office of Global Analysis, FAS, USDA. "Cuba's Food & Agriculture Situation Report" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-08-23. Diakses tanggal 2008-09-04. 
  68. ^ Sukandar, Dadang; Baliwati, Yayuk Farida; Suhardianto, Anang (2007). "Ketahanan pangan rumah tangga petani penghasil beras organik" (PDF). Jurnal Gizi dan Pangan. 

Bahan bacaan terkait[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]