Bagansiapiapi (kota)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 2 Mei 2013 05.29 oleh Wie146 (bicara | kontrib) (pindah infobox)
Bagansiapiapi
Peta lokasi Bagansiapiapi
Peta lokasi Bagansiapiapi
Negara Indonesia
ProvinsiRiau
KabupatenRokan Hilir
KecamatanBangko
Luas
 • Total940,56 km2 (363,15 sq mi)
Populasi
 (2010)
 • Total93,065
 • Kepadatan99/km2 (260/sq mi)
Bagansiapiapi
Zona waktuUTC+7 (WIB)
Kode area telepon+62 767

Bagansiapiapi, juga dikenal sebagai Bagan (Hanzi Tradisional : 峇眼 ; Hanzi Sederhana : 巴眼 ; Hanyu Pinyin : Bāyǎn) atau Baganapi (Hanzi Tradisional : 峇眼亞比 ; Hanzi Sederhana : 巴眼亚比 ; Hanyu Pinyin : Bāyǎnyàbǐ) adalah ibu kota Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau, Indonesia.

Kota Bagansiapiapi terletak di muara Sungai Rokan, di pesisir utara Kabupaten Rokan Hilir, dan merupakan tempat yang sangat strategis karena berdekatan dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas perdagangan internasional yang sangat ramai.

Selain sebagai ibu kota Kabupaten Rokan Hilir, Bagansiapiapi juga merupakan ibu kota Kecamatan Bangko.

Di Bagansiapiapi dikenal suatu ritual dari masyarakat Tionghoa yang sangat terkenal, yaitu Ritual Bakar Tongkang atau Go Cap Lak, di mana ritual tersebut diadakan setiap bulan ke-5 (Go) tanggal ke-16 (Cap Lak) penanggalan Imlek setiap tahunnya.

Ritual tersebut mampu menyedot puluhan ribu wisatawan baik domestik maupun manca negara. Pemerintah Daerah Kabupaten Rokan Hilir saat ini gencar mempromosikan potensi wisata tersebut dan sudah menjadi ikon dan andalan sektor pariwisata Kabupaten Rokan Hilir dan Provinsi Riau.

Bagansiapiapi menjadi tuan rumah penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Provinsi Riau ke-28 yang dibuka pada tanggal 14 November 2009 oleh Menteri Agama RI Suryadharma Ali[2].

Bagansiapiapi meraih predikat kota terbersih ke-2 tingkat Provinsi Riau setelah kota Bengkalis tahun 2011. Penyerahan piagam penghargaan diberikan oleh Gubernur Riau H.M.Rusli Zainal bersamaan dengan peringatan Hari Ibu ke-85 pada tanggal 22 Desember 2011 di Pekanbaru[3].

Sejarah

Kelenteng In Hok Kiong di pusat kota Bagansiapiapi

Menelusuri sejarah kota Bagansiapiapi erat kaitannya dan tidak terlepas dari sejarah Rokan Hilir.

Di daerah Rokan Hilir terdapat tiga wilayah kenegerian yaitu negeri Kubu, Bangko dan Tanah Putih yang masing-masing dipimpin seorang Kepala Negeri yang bertanggung jawab kepada Sultan Siak. Berkenaan dengan sistem administrasi pemerintah Hindia Belanda, distrik pertama yang didirikan di sana adalah Tanah Putih pada tahun 1890[4].

Berdasarkan Staatsblad 1894 No.94, onderafdeeling Bagansiapiapi dengan ibukota Bagansiapiapi, termasuk dalam afdeeling Bengkalis, Residentie Ooskust van Sumatra terdiri dari tiga subdistrik yakni Bangko, Kubu, dan Tanah Putih[5]. Setelah Bagansiapiapi yang dipercaya dibuka oleh pemukim-pemukim Tionghoa berkembang pesat, pemerintah Hindia Belanda memindahkan pusat pemerintahan (kantor Controleur) ke kota ini dari Tanah Putih pada tahun 1900[6]. Bagansiapiapi semakin berkembang setelah pemerintah Hindia Belanda membangun pelabuhan modern dan terlengkap untuk mengimbangi pelabuhan lainnya di Selat Malaka hingga Perang Dunia I usai.

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan, wilayah kewedanaan Bagansiapiapi yang meliputi Kubu, Bangko dan Tanah Putih, digabungkan ke dalam Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Selanjutnya bekas wilayah Kewedanaan Bagansiapiapi, yang terdiri dari Kecamatan Tanah Putih, Kecamatan Kubu dan Kecamatan Bangko ditambah Kecamatan Rimba Melintang dan Kecamatan Bagan Sinembah kemudian pada tanggal 4 Oktober 1999 ditetapkan sebagai sebuah kabupaten baru di Provinsi Riau sesuai dengan UU RI Nomor 53 tahun 1999 dengan ibukota Ujung Tanjung, sedangkan Bagansiapiapi ditetapkan sebagai ibu kota sementara[7].

Namun karena kondisi infrastruktur di Ujung Tanjung yang masih merupakan sebuah desa di Kecamatan Tanah Putih belum memungkinkan untuk dijadikan sebagai sebuah ibu kota kabupaten, maka akhirnya Bagansiapiapi, dengan infrastruktur kota yang jauh lebih baik, pada tanggal 24 Juni 2008 resmi ditetapkan sebagai ibu kota Kabupaten Rokan Hilir yang sah setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui 12 Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan Kabupaten/Kota dan RUU atas perubahan ketiga atas UU Nomor 53 Tahun 1999 disahkan sebagai Undang-Undang dalam Rapat Paripurna[8][9].

Asal Usul Nama Bagansiapiapi

Menurut cerita masyarakat Bagansiapiapi secara turun temurun, nama Bagansiapiapi erat kaitannya dengan cerita awal kedatangan orang Tionghoa ke kota itu. Disebutkan bahwa orang Tionghoa yang pertama sekali datang ke Bagansiapiapi berasal dari daerah Songkhla di Thailand. Mereka sebenarnya adalah perantau-perantau Tionghoa yang berasal dari Distrik Tong'an (Tang Ua) di Xiamen, wilayah Provinsi Fujian, Tiongkok Selatan. Konflik yang terjadi antara orang-orang Tionghoa dengan penduduk Songkhla, Thailand kelak menjadi penyebab terdamparnya mereka di Bagansiapiapi[10].

Dalam cerita dimaksud disebutkan bahwa pelarian tersebut dilakukan dengan menggunakan tiga perahu kayu (tongkang). Kejadian-kejadian selama dalam perjalanan menyebabkan hanya satu tongkang yang selamat sampai di darat. Itu adalah tongkang yang dipimpin oleh Ang Mie Kui bersama 17 orang penumpang lainnya. Tongkang yang selamat ini kebetulan membawa serta patung Dewa Tai Sun Ong Ya yang diletakkan di bagian haluan dan patung Dewa Kie Ong Ya yang ditempatkan dalam magun/rumah tongkang.

Menurut keyakinan mereka, patung-patung ini akan memberi keselamatan selama pelayaran itu. Petunjuk akhirnya diberikan oleh sang Dewa, setelah mereka melihat cahaya api yang berkerlap-kerlip sebagai tanda adanya daratan. Cahaya api itu ternyata berasal dari kunang-kunang (si api-api) yang bertebaran di antara hutan bakau yang tumbuh subur di tepi pantai. Di daerah tidak bertuan inilah mereka mendarat dan membangun tempat pemukiman baru yang kemudian dikenal dengan nama Bagansiapiapi. Adapun kata bagan sendiri mengandung makna sebagai tempat, daerah, atau alat penangkap ikan.

Versi lain mengenai asal usul nama Bagansiapiapi adalah kata Bagan yang berasal dari nama alat atau tempat menangkap ikan (yakni bagan, bagang, atau jermal), sementara api berasal dari nama pohon api-api yang banyak tumbuh di daerah pantai[11].

Kota Nelayan Dan Galangan Kapal

Pelabuhan Bagansiapiapi pada masa Hindia Belanda

Dulu kota ini terkenal sebagai penghasil ikan terpenting, sehingga dijuluki sebagai kota ikan. Menurut beberapa sumber, di antaranya surat kabar De Indische Mercuur menulis bahwa pada tahun 1928, Bagansiapiapi adalah kota penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah kota Bergen di Norwegia[12][13].

Dalam perkembangannya, industri perikanan telah menjadikan Bagansiapiapi sebuah kota modern. Pada tahun 1934, Bagansiapiapi sudah memiliki fasilitas pengolahan air minum, pembangkit tenaga listrik dan unit pemadam kebakaran[14][15]. Karena kemajuan yang dicapai kota ini dibandingkan daerah-daerah lain di afdeeling Bengkalis, Bagansiapiapi disebut Ville Lumiere (Kota Cahaya)[16][17].

Berton-ton ikan, mulai dari ikan basah segar, ikan atau udang kering, ikan asin atau terasi, diekspor dari kota ini ke berbagai tempat. Dalam satu tahun, hasil tangkapan ikannya bisa mencapai 150.000 ton[18]. Ekspor hasil laut berkembang menjadi salah satu pilar ekonomi rakyat. Bagansiapiapi menduduki papan atas daerah-daerah penghasil ikan terbesar di dunia.

Pada tahun 1980-an, buku-buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di sekolah-sekolah dasar masih mencantumkan bahwa salah satu daerah penghasil ikan terbesar dan teramai di Indonesia adalah Bagansiapiapi[19], yang pada saat itu masih masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bengkalis.

Akan tetapi julukan Bagansiapiapi sebagai kota ikan lama kelamaan memudar. Bila sebelumnya faktor alam yang menjadikannya demikian dikenal sebagai penghasil ikan, kelak diketahui bahwa faktor alam pula yang menyebabkan pemudarannya secara berangsur-angsur karena pesisir sekitar Bagansiapiapi mengalami pendangkalan dan sempit oleh endapan lumpur yang dibawa air Sungai Rokan.

Menurut data dari Dinas Perikanan Kabupaten Rokan Hilir, pada tahun 2000-2003, produktivitas ikan tangkap laut berkisar pada angka 70.000 ton per tahun. Namun, pada tahun 2004 tinggal 32.989 ton. Jumlah nelayan turun dari sekitar 100 menjadi 40-an saja[20].

Bagansiapiapi juga terkenal sebagai galangan kapal tradisional terbesar di Indonesia sebelum kemerdekaan[21]. Perahu buatan Bagansiapiapi mampu menembus berbagai jenis karakteristik lautan sehingga digunakan juga di Pulau Jawa, Nusa Tenggara, dan Maluku. Di luar negeri, karyanya diminati nelayan-nelayan Srilanka, India, bahkan Amerika.

Perahu produk Bagansiapiapi memenuhi permintaan dari yang terkecil sekitar tiga-empat ton sampai 300 ton. Galangan kapal menjamur di era tahun 1940-an hingga pertengahan tahun 1980-an. Di masa jayanya, nama kota Bagansiapiapi lebih terkenal daripada Pekanbaru maupun Provinsi Riau[22].

Tapi kini usaha tersebut sudah mati suri karena keterbatasan bahan baku kayu dan sederetan Undang-Undang Tentang Kehutanan. Dalam UU itu disebutkan bahwa pemerintah pusat memiliki kuasa penuh dalam menentukan pembagian kawasan hutan. Dampaknya, para pencari kayu yang selama ini didominasi penduduk lokal, tidak lagi bisa menebang kayu untuk menjualnya ke pengusaha galangan kapal.

Komunitas Tionghoa

Bekas peninggalan rumah Kapitan Bagansiapiapi

Bagansiapiapi memiliki komunitas Tionghoa yang besar. Terdapat beberapa versi sejarah kedatangan pertama orang Tionghoa di Bagansiapiapi.

Menurut P.N. van Kampen, orang Tionghoa sudah ada di Bagansiapiapi sejak tahun 1860[23]. Versi lain mengenai kedatangan awal orang Tionghoa ke Bagansiapiapi adalah pada tahun 1875[24] saat sejumlah bajak laut tiba di Bagansiapiapi dari Songkhla, Thailand yang dipimpin Si Bajak Laut Tua Kakek Wang[25][26]. Karena kekayaan ikan yang berlimpah di daerah ini, mereka memutuskan untuk menetap dan menjadi nelayan.

Menurut sumber lain yang layak dipercaya menyebutkan bahwa jauh pada masa Kaisar Tongzhi (1862-1874), yaitu pada zaman Dinasti Qing, Hong Shifan dan 10 kawannya dari Distrik Tong'an , Provinsi Fujian, Tiongkok Selatan, datang ke kota itu dan mengembangkan usaha perikanan di sana. Menurut hasil cacah jiwa pada 1930, dari 9.811 orang Tionghoa yang bekerja di sektor perikanan di seluruh Hindia Belanda, 54,7 % berada di Sumatera Timur (terutama di Bagansiapiapi). Menurut statistik lainnya tahun 1928, sebagian terbesar dari 400 lebih usaha penangkaran ikan di pelabuhan itu milik orang Tionghoa[27].

Komunitas Tionghoa di Bagansiapiapi sebagian besar merupakan suku Hokkian, di mana leluhurnya sebagian besar berasal dari Distrik Tong'an (Tang Ua) di Xiamen, Provinsi Fujian, Tiongkok Selatan. Komunitas Tionghoa lainnya di Bagansiapiapi dengan jumlah cukup signifikan adalah berasal dari suku Tiociu, sedangkan dari suku Khek (Hakka), Hailam (Hainan) dan Konghu dapat dijumpai dalam jumlah yang relatif lebih sedikit.

Eksistensi komunitas Tionghoa yang kuat di Bagansiapiapi dapat dilihat dari banyaknya kelenteng yang berdiri. Di samping itu, terdapat berbagai perkumpulan marga Tionghoa, lengkap dengan kelentengnya masing-masing, di mana dari perkumpulan-perkumpulan marga inilah kebudayaan Tionghoa tetap terpelihara di Bagansiapiapi meskipun dibatasi pada masa rezim Orde Baru.

Perkumpulan-perkumpulan marga tersebut di antaranya adalah Perkumpulan Marga Ang Liok Kui Tong/Yayasan Sosial Marga Sad Eka (六桂堂), Perkumpulan Marga Ng Kang Ha Tong/Yayasan Samvara Dharma Wijaya (江夏堂/黃氏宗親會), Perkumpulan Marga Tan Ying Chuan Tong (陳氏穎川堂), Perkumpulan Marga Lim Kiu Ling Tong (九龍堂), Perkumpulan Marga Coa Cei Yong Tong (濟陽堂), Perkumpulan Marga Gui, Perkumpulan Marga Kho/Yayasan Panca Bina Dharma Citra, Perkumpulan Marga Li, Perkumpulan Marga Yeo, Perkumpulan Suku Tiociu Han Kang/Yayasan Mulia Dharma Abadi (韓江公會), dan sebagainya.

Geografi

Secara geografis, Bagansiapiapi terletak di Pulau Sumatera pada titik koordinat 2,1578° Lintang Utara (2° 9' 28.08" N) dan 100,8163° Bujur Timur (100° 48' 58.68" E)[28].

Bagansiapiapi terletak di muara Sungai Rokan yang berdekatan dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional yang ramai.

Batas-batas wilayah Bagansiapiapi sebagai berikut :

Bagansiapiapi termasuk beriklim tropis, dengan jumlah curah hujan 2.710 mm/tahun[29] dan temperatur udaranya berkisar pada 24º-32 °C. Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Februari s/d bulan Agustus. Sementara musim hujan terjadi pada bulan September s/d Januari.

Perekonomian

Sektor-sektor yang terutama menjadi penggerak roda perekonomian kota Bagansiapiapi di antaranya adalah sektor pertanian, kelautan, budidaya burung walet, pertanian, perkebunan, kehutanan, pariwisata dan jasa keuangan.

Pertanian

Pertanian yang dikembangkan di Bagansiapiapi di antaranya pertanian tanaman pangan, terutama sayuran, buah-buahan, dan padi.

Perkebunan

Tanaman perkebunan yang merupakan komoditi yang cukup potensial di daerah Bagansiapiapi ialah kelapa sawit, karet dan kelapa.

Perikanan

Produksi perikanan di Bagansiapiapi sebagian besar berasal dari perikanan laut. Selain ikan segar, produk yang dihasilkan dari sektor perikanan di antaranya adalah ikan asin, ebi (udang kering), terasi, dan olahan ikan lainnya.

Galangan Kapal

Usaha galangan kapal di Bagansiapiapi sudah berusia ratusan tahun. Dewasa ini, usaha galangan kapal di Bagansiapiapi berada di kawasan Pelabuhan Baru Bagansiapiapi, dengan bahan baku utama dari kayu. Kapal yang dibuat berukuran besar dan kecil.

Industri galangan kapal kayu di sejumlah daerah di wilayah Kabupaten Rokan Hilir termasuk di kota Bagansiapiapi, yang sempat lesu beberapa tahun terakhir, dewasa ini sudah mulai bergairah kembali.

Hal tersebut ditandai dengan adanya berbagai aktivitas di pinggiran pantai kota Bagansiapiapi untuk membuat kapal kayu. Dengan aktifnya kembali industri kapal kayu tersebut, maka sektor perekonomian di Kecamatan Bangko bisa meningkat[30].

Budidaya Burung Walet

Setelah aktivitas perekonomian dari sektor perikanan semakin menurun, budidaya burung walet untuk diambil sarangnya telah menjadi alternatif usaha dan sangat jamak ditemukan di Bagansiapiapi, terutama di pusat kota, dimana banyak ruko-ruko dibangun 3 sampai 4 tingkat, dengan tingkat teratas dijadikan sebagai tempat budi daya burung walet, sedangkan tingkat 1-2 digunakan sebagai toko dan tempat tinggal.

Hasil pendataan lokasi yang telah dilaksanakan pihak Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Rokan Hilir yang dimulai sejak Januari hingga April 2012, ternyata di kota Bagansiapiapi, Kecamatan Bangko memiliki 900 tempat usaha budidaya burung walet[31].

Pariwisata

Sektor pariwisata sekarang telah menjadi salah satu sektor andalan penunjang perekonomian Bagansiapiapiapi.

Perayaan Tahun Baru Imlek

Replika Shio Naga di Jalan Perdagangan-Bagansiapiapi

Perayaan Tahun Baru Imlek (Sincia) di Bagansiapiapi sangat meriah, terutama pada malam pergantian tahun baru. Tahun Baru Imlek juga merupakan tradisi pulang kampung bagi orang Tionghoa yang merantau ke luar daerah untuk berkumpul kembali bersama keluarga. Perayaan Imlek di Bagansiapiapi berlangsung 15 hari sampai malam Cap Go Meh. Selama perayaan Tahun Baru Imlek, lampion beraneka bentuk dan ukuran menghiasi rumah-rumah penduduk, perkantoran, kelenteng dan vihara, bahkan di sepanjang jalan-jalan besar di pusat kota sehingga kota Bagansiapiapi seakan bermandikan cahaya lampion di malam hari. Hari ke-9 Imlek (Cue Kao) yang merupakan perayaan hari kelahiran Dewa Langit (Thi Kong) juga berlangsung sangat meriah di Bagansiapiapi.

Salah satu keunikan perayaan Tahun Baru Imlek di Bagansiapiapi adalah hadirnya aksesoris patung berbentuk hewan dari shio tahun tersebut yang dipajang di Jalan Perdagangan. Patung tersebut terutama terbuat dari material seperti kertas, bambu, kawat, kain, wol dan sebagainya. Kegiatan seperti ini baru dimulai pada perayaan Tahun Baru Imlek 2554/2003 M Shio Kambing.

Di samping itu, di Kelenteng Guan Gong (關帝壇) yang terletak di Jalan Perniagaan, terdapat lampion berukuran raksasa berbentuk hewan shio dan karya klasik Tiongkok lainnya.

Pada malam Cap Go Meh akan berlangsung Pawai Lampion dengan lampion-lampion yang unik dari berbagai kelenteng yang ada di Bagansiapiapi. Pawai Lampion ini sekaligus merupakan Lomba Lampion yang akan memilih lampion terindah, terunik dan terbagus.

Statsiun televisi swasta nasional, MetroTV pernah meliput acara pergantian Tahun Baru Imlek 2561/2010 M secara langsung dari Bagansiapiapi yang dipusatkan di halaman depan Kelenteng Ing Hok Kiong (永福宮)[32].

Ritual Bakar Tongkang

Berkas:Ritual bakar tongkang2.jpg
Sebuah Tongkang yang diarak ke lokasi upacara

Dari sektor pariwisata, iven Ritual Bakar Tongkang telah menjadi ikon dan andalan pariwisata Kabupaten Rokan Hilir dan Provinsi Riau yang mampu menyedot puluhan ribuan wisatawan dalam dan luar negeri setiap tahun[33].

Ritual Bakar Tongkang bertujuan untuk mengenang para leluhur orang Tionghoa dalam menemukan Bagansiapiapi dan sebagai wujud syukur kepada Dewa Kie Ong Ya. Ritual Bakar Tongkang diadakan setiap tanggal 16 bulan kelima penanggalan Lunar (Imlek) setiap tahunnya, yang dalam bahasa Hokkian disebut "Go Cap Lak".

Wisata Kuliner Khas Bagansiapiapi

Berkas:Kwetiau Bagansiapiapi.jpg
Kwetiau Bagansiapiapi

Kuliner khas Bagansiapiapi yang terkenal adalah masakan Tionghoa yang dikombinasikan dengan hasil bumi setempat, misalnya : Kwetiau Bagan, Miso Bagan, Nasi lemak Bagan, ''Kari Peng'' (Nasi Kari Bagan), Ham-ke (sejenis martabak dari kerang), Wantanmi (Mi Pangsit), Ke-mi (mi campur potongan mirip kwetiau), Tilongpan (mirip Cicongpan di Medan), Kiam-ke, Lolia (Rujak Bagan), O-Lua (Rujak Pedas), O-Ke, O-Yi, dan sebagainya.

Oleh-oleh khas Bagansiapiapi adalah Kacang pukul yang diproduksi masyarakat Tionghoa sejak turun temurun. Selain itu juga terkenal terasi, kerupuk udang, kerupuk singkong, udang kering (Ebi), permen kelapa, kue Kiat-hong, kue Lik-tao-ko, kue Ang-che-nai-ko, dan beragam jajanan khas lainnya yang tidak ditemukan di daerah lain.

Perdagangan

Di Bagansiapiapi terdapat dua pasar tradisional yang ramai dikunjungi yakni Pasar Pelita dan Pasar Datuk Rubiah (dahulu Pasar Inpres). Selain itu juga ada pasar jalanan di sepanjang Jalan Satria, dinamakan Pasar Satria Tangko.

Jasa Keuangan

Bank-bank yang beroperasi di Bagansiapiapi di antaranya adalah Bank Rakyat Indonesia, Bank Riau Kepri, Bank Syariah Mandiri, Bank Danamon Indonesia (Unit Simpan Pinjam), Bank Tabungan Pensiunan Nasional (Unit Mitra Usaha Rakyat) dan Bank Perkreditan Rakyat Rokan Hilir (BPR ROHIL).

Kantor Cabang Bank Rakyat Indonesia di Bagansiapiapi merupakan kantor cabang kedua yang dibuka di seluruh Indonesia sejak pendirian Bank Rakyat Indonesia tahun 1895 di Purwokerto, sehingga kode Bank Rakyat Indonesia cabang Bagansiapiapi menggunakan nomor 0002.

Bank Syariah Mandiri mulai beroperasi di Bagansiapiapi sejak 28 November 2011[34] yang diresmikan oleh Bupati Rokan Hilir, H. Annas Ma’mun.

Kependudukan

Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia 2010, jumlah penduduk Kecamatan Bangko yang sebagian besar meliputi kota Bagansiapiapi adalah 82.500 orang, terdiri dari penduduk laki-laki 42.400 orang dan perempuan 40.100. Dengan demikian Kecamatan Bangko menjadi kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak kedua di Kabupaten Rokan Hilir setelah Kecamatan Bagan Sinembah.

Sementara jumlah keseluruhan penduduk Kabupaten Rokan Hilir berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia 2010 adalah 553.216 orang, dengan jumlah penduduk laki-laki adalah 284.591 orang dan perempuan 268.625 orang[35].

Dari segi etnisitas, dewasa ini penduduk kota Bagansiapiapi sebagian besar merupakan suku Melayu dan Tionghoa, sedangkan suku lainnya dalam jumlah yang cukup signifikan adalah suku Jawa, Batak, Minangkabau, Nias dan Bugis.

Agama

Islam merupakan agama mayoritas yang terutama dipeluk oleh suku Melayu, Jawa, Minangkabau dan Bugis. Suku Tionghoa mayoritas memeluk kepercayaan Tridharma yang merupakan gabungan dari agama Buddha, Konghucu, dan Taoisme, sementara yang menganut agama Kristen, Katolik dan Islam juga ada meskipun dalam jumlah yang sedikit. Sedangkan suku Batak dan Nias pada umumnya menganut agama Kristen dan Katolik.

Tempat ibadah yang representatif bagi umat Islam di Bagansiapiapi di antaranya adalah Masjid Raya Al-Ikhlas, Masjid Raya Al-Ihsan, Masjid Al-Kautsar.

Bagi umat Buddha dan kepercayaan Tridharma terdapat Vihara Buddha Sasana, Vihara Buddha Sakyamuni, Vihara Buddha Kirti, Vihara Maitreya Dwipa, Kelenteng Ing Hok Kiong.

Untuk umat Katolik terdapat Gereja Katolik Santo Petrus dan Paulus. Sementara untuk umat Kristen terdapat Gereja Methodist (Jemaat Wesley), Gereja HKBP, Gereja Kristen Protestan Indonesia.

Bahasa Bagansiapiapi

Masyarakat Bagansiapiapi yang lebih dikenal sebagai Orang Bagan, terdiri dari beragam suku di antaranya Melayu, Batak, Jawa, Hokkian, Tiociu, Hakka dan Hainan.

Letaknya yang jauh dari ibukota Jakarta, membuat komunitas Tionghoa setempat masih kental menggunakan bahasa daerah tanpa pencampuran dengan bahasa gaul ibukota. Namun istilah "Bahasa Bagan" sering merujuk pada Bahasa Hokkian yang digunakan oleh masyarakat Tionghoa setempat.

Bahasa Hokkian Bagansiapiapi masih kental dengan nuansa Tionghoa murni tanpa campuran dengan bahasa Indonesia, sehingga mirip dengan bahasa Hokkian yang dipergunakan di Xiamen, Jinmen (Kim-men), dan Taiwan.

Dikarenakan sebagian besar leluhur orang Hokkian di Bagansiapiapi berasal dari Distrik Tong'an (Tang Ua) yang dekat dengan Xiamen dan Quanzhou, maka dialek bahasa Hokkian Bagansiapiapi bisa dimasukkan dalam varian campuran antara logat Xiamen dan Quanzhou (Cuanciu). Begitu juga dengan bahasa Hokkian yang dipergunakan di daerah Riau lainnya seperti Selatpanjang dan Bengkalis hampir sama dialeknya, karena kebanyakan leluhurnya berasal dari daerah Nan An (Lam Ua) yang dekat dengan Quanzhou.

Sementara bahasa Hokkian yang dipergunakan di Medan dan Penang masuk dalam varian logat Zhangzhou (Cianciu).

Perantauan Warga Bagansiapiapi

Bagansiapiapi yang pernah menyandang predikat kota penghasil ikan terbesar kedua di dunia dan galangan kapal tradisional terbesar di Indonesia, kini tinggal kenangan. Kaum muda yang sudah menamatkan sekolah di sana, mayoritas meneruskan pendidikan dan mencari pekerjaan ke luar kota karena belum hadirnya perguruan tinggi umum dan minimnya perusahaan sektor formal di Bagansiapiapi.

Para generasi muda mengais rejeki maupun meneruskan pendidikan ke kota-kota besar di tanah air. Kota-kota yang merupakan tujuan perantauan dalam jumlah yang signifikan adalah Jakarta, Medan, Pekanbaru, Batam, Surabaya, Bandung, dan kota-kota besar lainnya.

Mereka akan pulang ke kampung halaman mereka setahun sekali pada saat perayaan Tahun Baru Imlek, sembahyang leluhur/ziarah makam Festival Qingming dan Ritual Bakar Tongkang atau Go Cap Lak.

Di perantauan, mereka mendirikan berbagai perkumpulan seperti Himpunan Persaudaraan Tionghoa Rokan Hilir (HPT ROHIL) di Pekanbaru, Yayasan Rokan Jaya di Medan, dan Keluarga Besar Bagansiapiapi Tangerang.

Perhubungan, Sarana dan Prasarana Transportasi

Bagansiapiapi dapat diakses dengan mudah dari berbagai kota dengan menggunakan beragam moda transportasi, baik darat maupun laut. Dari ibu kota Provinsi Riau, Pekanbaru dibutuhkan 6-7 jam perjalanan darat dengan jarak tempuh +/- 350 km. Sementara dari ibu kota Provinsi Sumatera Utara, Medan, dibutuhkan 10-12 jam perjalanan darat melalui Lintas Timur Sumatera. Dari Kota Dumai hanya dibutuhkan waktu tempuh 2-3 jam melalui jalan darat.

Pembangunan Jembatan Jumrah yang membentang di atas Sungai Rokan, yang menjadi urat nadi jalan lintas Bagansiapiapi-Ujung Tanjung, merupakan tonggak terbukanya akses jalan darat menuju Bagansiapiapi sekaligus membebaskan Bagansiapiapi dari keterisoliran pada masa lalu yang hanya bisa diakses melalui jalur laut. Bayangkan untuk mencapai Kota Pekanbaru, warga Bagansiapiapi harus menumpang kapal ke Kota Dumai dulu selama satu malam (sekitar 12 jam). Begitu juga jika akan bepergian ke Kota Medan, harus naik kapal dulu selama satu malam juga ke Kota Tanjung Balai Asahan.

Jembatan Pedamaran I dan II yang sedang dibangun saat ini merupakan jembatan kembar yang akan menghubungkan daerah pesisir Bagansiapiapi dengan pesisir Kecamatan Bangko Pusako, Kecamatan Bagan Sinembah, Kecamatan Kubu dan Kecamatan Pasir Limau Kapas, dengan melewati pulau di tengah-tengahnya yaitu Pulau Pedamaran.

Jembatan ini memiliki arti yang sangat penting bagi Bagansiapiapi dan daerah sekitarnya karena akan memperpendek jarak tempuh ke berbagai daerah di bagian Utara Rokan Hilir, seperti Bagan Batu, Kubu dan Panipahan. Begitu juga perjalanan darat ke Medan yang biasa ditempuh dalam waktu sekitar 10-12 jam, akan dapat dipersingkat menjadi kurang dari 10 jam.

Dengan demikian, Jembatan Pedamaran diharapkan akan membuka isolasi sejumlah daerah di Rokan Hilir. Proyek ini akan menghubungkan kota Panipahan sampai ke Dumai melalui Bagansiapiapi.

Pembangunan Jalan Lintas Bagansiapiapi-Sinaboi sampai sekarang ini terus dibenahi dan ditingkatkan. Selain itu, jika rencana pembangunan jalan lintas Sinaboi-Dumai selesai dikerjakan, maka akan menjadi jalur alternatif Jalan Lintas Bagansiapiapi-Dumai. Jalan Lintas Sinaboi-Dumai nantinya bisa mempersingkat jarak tempuh, di mana dari Bagansiapiapi-Sinaboi hingga masuk ke Dumai hanya sekitar 78 km. Diharapkan pembangunan jalan lintas pesisir Timur Kabupaten Rokan Hilir-Kota Dumai mulai dari Bagansiapiapi-Sinaboi-Dumai akan mampu meningkatkan perekonomian, karena jalan lintas ini memiliki peranan yang cukup strategis yang menjadikan Dumai bisa diakses dari berbagai isi.

Bagi Kabupaten Rokan Hilir sendiri, keberadaan jalan lintas ini memiliki peranan yang cukup penting, salah satu di antaranya Kabupaten Rokan Hilir bisa menjadi daerah hinterland bagi Dumai.

Sedangkan melalui jalur laut, rute yang dilayani dewasa ini adalah Bagansiapiapi-Panipahan dan Bagansiapiapi-Pulau Halang. Sementara rute Bagansiapiapi-Kota Tanjung Balai Asahan dan Bagansiapiapi-Kota Dumai sudah tidak tersedia lagi sejak dibukanya akses jalan darat.

Jalur feri internasional yang pernah dibuka adalah rute Bagansiapiapi-Port Dickson, Malaysia dengan jarak tempuh selama 2,5 jam hingga 3 jam. Pelayaran perdana Bagansiapiapi-Port Dickson menggunakan feri cepat Acob Express I dilakukan pada hari Rabu tanggal 11 Juni 2008 yang diresmikan Bupati Rokan Hilir H. Annas Ma'mun didampingi Sekretaris Daerah Provinsi Riau pada saat itu, H.R.Mambang Mit[36].

Dewasa ini, Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir telah menyiapkan lahan seluas 130 hektar yang terletak di Desa Teluk Bano I yang akan digunakan untuk rencana pembangunan bandar udara tingkat kabupaten. Desa Teluk Bano I dapat ditempuh dengan mobil sekitar 30 menit dari ibukota Rokan Hilir, Bagansiapiapi[37].

Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir telah mengantongi izin pendirian Bandar Udara (Bandara) Teluk Bano I dari Menteri Perhubungan Republik Indonesia. Rencananya, tahun 2012 Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir akan melakukan pembebasan lahan yang akan dijadikan sebagai lokasi bandara dan pada tahun 2013 mendatang segera dilakukan pembangunan bandara yang terletak di Kecamatan Bangko Pusako[38].

Moda transportasi yang lazim dijumpai di Bagansiapiapi adalah becak dayung, sepeda dayung, dan sepeda motor. Becak motor (becak mesin) sekarang juga sudah bisa dijumpai di Bagansiapiapi. Sedangkan mobil dapat dijumpai dalam jumlah yang sedikit.

Pembangunan Kawasan Batu Enam Bagansiapiapi

Sebutan "batu" merupakan satuan ukuran jarak yang lazim dipergunakan oleh orang Melayu, di mana ukuran sebenarnya setara dengan ukuran mil/pal (1,5 - 1,6 km). Khusus dalam konteks Kawasan Batu Enam Bagansiapiapi ini, satuan batu di sini ukurannya kurang lebih setara 1 kilometer. Jadi Kawasan Batu Enam Bagansiapiapi merupakan suatu kawasan yang terletak kurang lebih 6 kilometer dari pusat kota lama Bagansiapiapi.

Kawasan Batu Enam Bagansiapiapi dibangun dan dikembangkan oleh Bupati Rokan Hilir, H. Annas Ma’mun, untuk menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Rokan Hilir dan pusat bisnis perdagangan. Kawasan Batu Enam ini mulai dibangun secara bertahap sejak tahun 2008. Di Kawasan Batu Enam Bagansiapiapi terdapat Kompleks Perkantoran Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir, Gedung Purna MTQ dan beberapa museum di antaranya Museum Sejarah Rokan Hilir, Museum Muslim, Museum Tionghoa, dan Museum Ikan. Di samping itu, bundaran Tugu Ikan juga bisa ditemukan di Kawasan Batu Enam ini yang menjadi jalur utama lalu lintas masuk dan keluar kota Bagansiapiapi.

Di tepian Sungai Rokan, tidak jauh dari Kawasan Batu Enam, juga telah dibangun Taman Wisata Budaya dan Water Boom.

Patung Dewi Kwan Im dari material kuningan dengan tinggi mencapai puluhan meter direncanakan akan berdiri menghiasi tepian Sungai Rokan dengan posisi menghadap ke arah laut. Patung Dewi Kwan Im, meski belum berada di Bagansiapiapi, merupakan hasil sumbangan dari Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Patung Dewi Kwan Im akan menjadi simbol keharmonisan kerukunan umat beragama di Bagansiapiapi khususnya dan Rokan Hilir umumnya. Selain itu, keberadaan Patung Dewi Kwan Im dapat menjadi daya tarik tersendiri untuk meningkatkan sektor pariwisata di negeri berjuluk "Negeri Seribu Kubah" ini[39].

Di samping itu, sejumlah proyek prestisius akan dibangun Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir di Kawasan Batu Enam Bagansiapiapi, di antaranya Gedung Pramuka, Taman Pemuda, Kantor Bupati Rokan Hilir, Kantor DPRD Rokan Hilir, rumah dinas serta sejumlah proyek lainnya, termasuk penyediaan lahan 10 Ha untuk Sekolah Polisi Negara (SPN) dan lahan 4 Ha untuk Markas Pol Air Riau[40].

Pendidikan

Masyarakat Bagansiapiapi sangat peduli pada pendidikan generasi muda, baik pendidikan bahasa Inggris maupun Mandarin. Jauh sebelum pendidikan Mandarin diakui pemerintah, para aktivis pendidikan telah mulai mengajarkan bahasa Mandarin yang saat itu masih dianggap melanggar hukum.

Berkat kepedulian terhadap pendidikan bahasa Mandarin ini, mayoritas masyarakat Bagansiapiapi mahir berbahasa Mandarin secara aktif, sehingga sangat membantu dalam bersosialisasi di berbagai aspek saat ini.

Jenjang pendidikan formal yang tersedia di Bagansiapiapi dewasa ini sudah sampai tingkat Perguruan Tinggi, di antaranya terdapat Kelas Jauh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau dan Sekolah Tinggi Agama Islam Ar-Ridha.

Di Bagansiapiapi terdapat lembaga pendidikan nasional yang sudah cukup tua yakni Yayasan Perguruan Wahidin, yang berubah status menjadi sekolah swasta nasional sejak tanggal 09 September 1957. Semula Yayasan Perguruan Wahidin merupakan sekolah Tionghoa dengan nama Tiong Hoa Kong Ouk (中華公學). Saat ini, Sekolah Yayasan Perguruan Wahidin merupakan lembaga pendidikan formal terbesar di Bagansiapiapi.

Sementara Sekolah Tionghoa lainnya, Tah Tjong (大眾) ditutup oleh pemerintah Orde Baru setelah terjadinya Gerakan 30 September (G30S). Bangunannya diambil alih dan berubah menjadi SMP Negeri 1 Bangko. Ciri khas sekolah ini dengan dua patung singa di kiri kanan pintu masuk sampai sekarang masih bisa dilihat di SMP Negeri 1 Bangko.

Sekolah swasta lainnya di Bagansiapiapi di antaranya adalah Sekolah Methodist (Yayasan Perguruan Kristen Methodist Indonesia), Sekolah Bintang Laut (Yayasan Prayoga), Sekolah Setia Budi dan Sekolah Muhammadiyah.

Galeri

Sumber Referensi

  1. ^ "Geografis Rokan Hilir" Website Resmi Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir (diakses pada 18 November 2012)
  2. ^ "Menteri Agama Dijadwalkan Buka MTQ Riau di Rohil", Riau Terkini, (diakses pada 23 Desember 2011)
  3. ^ PRO-ROKAN HILIR, (Sabtu, 24 Desember 2011), Bagansiapiapi Kota Terbersih Ke-2 Se-Riau, Riau Pos, hlm.26
  4. ^ Lucas Partanda Koestoro, Taufiqurrahman Setiawan, Suprayitno, Fitriaty Harahap, Ratna, Rita Margaretha Setianingsih, (2011), Penelusuran Arkeologi Dan Sejarah Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau, Balai Arkeologi Medan, No.25 hlm.33
  5. ^ Shanty Setyawati, (2008), Pasang Surut Industri Perikanan Bagansiapiapi 1898-1936, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya-Universitas Indonesia, BAB II hlm.13
  6. ^ John G. Butcher, (Oct., 1996), The Salt Farm and Fishing Industry of Bagan Si Api Api, Indonesia, Vol.62 hlm.92
  7. ^ "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 1999", Wikisource, (diakses pada 20 Desember 2011)
  8. ^ "DPR Sepakat Sahkan RUU Pembentukan 12 Daerah Otonom Baru", Portal Nasional RI, (diakses pada 22 Desember 2011)
  9. ^ "DPR Sahkan Ibukota Rohil Pindah ke Bagansiapiapi", Riau Terkini, (diakses pada 24 Desember 2011)
  10. ^ Lucas Partanda Koestoro, Taufiqurrahman Setiawan, Suprayitno, Fitriaty Harahap, Ratna, Rita Margaretha Setianingsih, (2011), Penelusuran Arkeologi Dan Sejarah Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau, Balai Arkeologi Medan, No.25 hlm.33-34
  11. ^ Syahnan Rangkuti, (Jumat 27 Juni 2008), Terima Kasih Dewa Laut, Kompas, hlm.54
  12. ^ De Indische Mercuur, 51, No.14, 1928:259, Bagan Si Api Api de Tweede Vischstad der Wereld
  13. ^ Shanty Setyawati, (2008), Pasang Surut Industri Perikanan Bagansiapiapi 1898-1936, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya-Universitas Indonesia, BAB I hlm.2
  14. ^ Martinus Nijhoff, (1935), Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie (ENI) VII, hlm.1362
  15. ^ Shanty Setyawati, (2008), Pasang Surut Industri Perikanan Bagansiapiapi 1898-1936, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya-Universitas Indonesia, BAB I hlm.3
  16. ^ ANRI, MVO de Reel 16, (30/8/1934), Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api
  17. ^ Shanty Setyawati, (2008), Pasang Surut Industri Perikanan Bagansiapiapi 1898-1936, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya-Universitas Indonesia, BAB I hlm.3
  18. ^ Neli Triana, (Rabu, 24 Agustus 2005), Cahaya Kunang-kunang Meredup di Bagansiapiapi, Kompas, hlm.36
  19. ^ Orin Basuki, (Kamis, 9 Oktober 2003), Ketika Ikan Pun Mulai Menjauh, Kompas, hlm.33
  20. ^ Neli Triana, (Senin, 11 Juli 2005), Ketika Bagansiapiapi Meredup, Kompas, hlm.35
  21. ^ "Galangan Kapal Terbesar di Indonesia Gulung Tikar" Detikcom, (diakses pada 19 Desember 2011)
  22. ^ Neli Triana, (Rabu 24 Agustus 2005), Cahaya Kunang-kunang Meredup di Bagansiapiapi, Kompas, hlm.36
  23. ^ P.N. van Kampen, (1909), Aanteekeningen omtrent de Visscherij van Sumatra en Riouw, Mededeelingen an het Visscherij-Station te Batavia 3, hlm.8
  24. ^ J.L.Vleming Jr., (1926), Het Chineesche Zaken-Laven in Nederlandsch-Indie, Wetevreden:Landsdrukkerij, hlm.234
  25. ^ Wawancara dengan Sudarno Mahyudin, Juli 2007, (Jumat 3 Maret 2000), Kakek Wang Si Bajak Laut Tua dan Ao Ke (Leluhur Yang Terhormat), Harian Indonesia, hlm.3
  26. ^ Shanty Setyawati, (2008), Pasang Surut Industri Perikanan Bagansiapiapi 1898-1936, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya-Universitas Indonesia, BAB II hlm.19
  27. ^ Kong Yuanzhi, (2005), Silang Budaya Tiongkok Indonesia, Bhuana Ilmu Populer, hlm.407
  28. ^ "Peta Bagansiapiapi" Google Maps, (diakses pada 20 Desember 2011)
  29. ^ "Profil Kabupaten Rokan Hilir" PON RIAU 2012, (diakses pada 20 Desember 2011)
  30. ^ "Industri Kapal Kayu Mulai Bangkit Kembali", Riau Pos, (diakses pada 12 Desember 2012)
  31. ^ "Bagansiapiapi Miliki 900 Usaha Walet", Riau Pos, (diakses pada 28 Agustus 2012)
  32. ^ "Imlek 2561, Indonesia Tanah Airku", MetroTV, (diakses pada 19 Desember 2011)
  33. ^ "Bakar Tongkang Bakal Sedot 30.000 Wisman", BISNIS.COM, (diakses pada 20 Desember 2011)
  34. ^ "Pemkab Rokan Hilir Ajak BSM Jadi Mitra " Bank Syariah Mandiri, (diakses pada 19 Desember 2011)
  35. ^ "Hasil Sensus Penduduk 2010-Provinsi Riau Badan Pusat Statistik, (diakses pada 19 Desember 2011)
  36. ^ Syahri Ramlan, (Kamis 19 Juni 2008), Hanya Tiga Jam Sampai di Negeri Jiran, Riau Pos, hlm.39
  37. ^ "Tim Pusat Telah Lakukan Survey", HalloRiau, (diakses pada 19 Desember 2011)
  38. ^ "Pemkab Kantongi Izin Pembangunan Bandara Teluk Bano ", HalloRiau, (diakses pada 23 Agustus 2012)
  39. ^ "Patung Dewi Kwan Im Hiasi Tepian Sungai Rokan", HalloRiau, (diakses pada 08 September 2012)
  40. ^ "Rohil Mulai Sejumlah Proyek Prestisius di Batu Enam", Riau Terkini, (diakses pada 08 September 2012)

Pranala luar