Arsitektur Tradisional Kerinci

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Masjid Agung Pondok Tinggi di Kota Sungaipenuh di sebelah kabupaten Kerinci, provinsi Jambi

Arsitektur tradisional Kerinci adalah salah satu identitas dan dapat memberikan gambaran tentang tingkat kehidupan masyarakat kerinci pada waktu itu.

Kabupaten Kerinci adalah salah satu kabupaten di Propinsi Jambi, Indonesia. Kerinci ditetapkan sebagai Kabupaten sejak awal berdirinya Propinsi Jambi dengan pusat pemerintahan di Sungai Penuh.

Pada tahun 2011, Kabupapten kerinci dimekarkan menjadi Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci.

Sejarah

Menurut Tambo Minangkabau, Tanah Kerinci [1] merupakan bagian dari rantau Minangkabau. Dalam tambo tersebut dikatakan bahwa rantau pesisir Alam Minangkabau meliputi wilayah-wilayah sepanjang pesisir barat Sumatera bagian tengah, mulai dari Sikilang Air Bangis, Tiku, Pariaman, Padang, Bandar Sepuluh, Air Haji, Inderapura, Muko-muko, dan Kerinci.

Pada abad ke-14 hingga ke-18, Kerinci merupakan bagian dari Kerajaan Inderapura, yang berpusat di Inderapura, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Setelah runtuhnya Kerajaan Inderapura, Kerinci merupakan kawasan yang memiliki kekuasaan politik tersendiri.

Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, Kerinci masuk ke dalam Karesidenan Jambi (1904-1921), kemudian berganti di bawah Karesidenan Sumatra's Westkust (1921-1942). Pada masa itu, Kerinci dijadikan wilayah setingkat onderafdeeling yang dinamakan Onderafdeeling Kerinci-Indrapura. Setelah kemerdekaan, status administratifnya dijadikan luhak dan dinamakan Luhak Kerinci-Indrapura. Sedangkan Kerinci sendiri, diberi status daerah administratif setingkat kewedanaan.

Bahasa Kerinci termasuk salah satu anak cabang Bahasa Austronesia, yang dekat dengan Bahasa Minangkabau. Beberapa ahli bahkan menyebut Bahasa Kerinci sebagai bagian dari Bahasa Minangkabau. Ada lebih dari 30 dialek bahasa yang berbeda di tiap-tiap desa di daerah Kerinci.

Arsitektur

Arsitektur tradisional Kerinci merupakan salah satu identitas dan dapat memberikan gambaran tentang tingkat kehidupan masyarakat kerinci pada waktu itu. Pada arsitektur tradisional Kerinci, terkandung secara terpadu wujud ideal, wujud sosial, dan wujud material dari suatu kebudayaan.

Contoh bangunan tradisional Kerinci adalah rumah panjang atau yang disebut juga "umoh panja" atau "umoh larik" atau "umoh laheik", yang merupakan bangunan panjang berbentuk panggung yang terdiri dari beberapa deretan rumah petak yang saling sambung menyambung yang berfungsi sebagai rumah tinggal.

Bangunan ini disebut larik karena susunannya yang berlarik atau berderet-deret. Larik ini dihuni oleh beberapa keluarga yang disebut “tumbi” atau “perut” yang terdiri dari satu keturunan, yang dalam bahasa daerahnya disebut Kalbu. Setiap kalbu dipimpin oleh seorang ninik mamak.

Tipologi

Tipologi rumah panjang atau larik adalah empat persegi panjang dan berbentuk panggung, tidak ada ketentuan khusus mengenai ukurannya karena tergantung dari banyaknya keluarga yang menghuninya. Setiap keluarga atau tumbi mendiami satu petak, yang terdiri dari bapak, ibu dan anak yang belum menikah. Ukuran tiap petak bangunan pada umumnya panjang 5 depa dan lebarnya depa (8 meter x 6 meter.

Pola Rumah larik berjejer memanjang dari arah Timur ke Barat sambung menyambung antara satu rumah dengan rumah di sebelahnya hingga membentuk sebuah larik. Rumah Larik Limo Luhah merupakan salah satu kawasan Rumah Larik yang terdapat dalam wilayah adat Depati Nan Bertujuh Sungai Penuh selain kawasan Rumah Larik Pondok Tinggi dan Dusun Baru.

Rumah ini menerapkan konsep sumbu vertikal (nilai ketuhanan) dan sumbu horisontal (nilai kemanusiaan). Sumbu vertikal terlihat dari pembagian ruang menjadi tiga bagian, yaitu bagian bawah sebagai kandang ternak, bagian tengah untuk tempat manusia tinggal, dan bagian atas untuk menyimpan benda-benda pusaka.

Sedangkan sumbu horisontal dapat dilihat dari pembagian ruang dalam rumah yang tidak bersekat dan saling menyatu antara satu rumah dengan rumah di sebelahnya, hal ini mengandung nilai kemanusiaan yang tinggi.

Pekarangan rumah pada umumnya dimanfaatkan untuk kegiatan menjemur hasil pertanian seperti padi, kopi, dan kayu manis.

Umoh laheik, dibangun sambung-menyambung satu dengan yang lainnya sehingga menyerupai gerbong kereta yang sangat panjang, sepanjang larik atau lorong desa, dibangun di sisi kiri dan kanan sepanjang jalan.

Konsep Landscape

Konsep landscape, Rumah larik dapat dibagi berdasarkan konsep ruang makro, meso, dan mikro. Ruang makro terdiri dari ruang hutan, ruang pertanian, dan ruang pemukiman.

Hutan yang berada di daerah perbukitan dengan kemiringan yang cukup curam tidak diizinkan untuk dimanfaatkan oleh manusia karena berfungsi sebagai daerah resapan dan sumber air bagi pertanian dan pemukiman.

Ruang pertanian terdiri dari ladang (tanah kering) dan sawah (tanah basah) terdapat di kaki–kaki bukit yang berfungsi sebagai lahan untuk bercocok tanam bagi masyarakat dan sebagai lahan cadangan untuk mendirikan pemukiman baru.

Sawah atau tanah basah merupakan tanah adat yang berstatus hak milik pribadi sesuai dengan pembagian yang telah diatur oleh Ninik Mamak.

Ruang pemukiman berada dalam area yang disebut tanah “parit sudut empat” yang merupakan batas pemukiman tradisional masyarakat adat dengan pemukiman di luarnya.

Status tanah dan rumah dalam parit sudut empat ini berstatus hak milik kaum yaitu milik anak batino dan tidak boleh diperjual belikan.

Konstruksi

Pada umumnya Konstruksi bangunan tanpa menggunakan fondasi permanen, hanya tumpukan batu alam tempat tiang ditenggerkan, juga tanpa menggunakan paku, hanya mengandalkan pasak dan ikatan tambang ijuk.

Atap

Penutup bangunan atau atap pada masa awalnya bukan seng atau genteng seperti masa sekarang, melainkan hanya jalinan ijuk.

Dinding

Dindingnya dulu adalah pelupuh (bambu yang disamak) atau kelukup (sejenis kulit kayu) dan lantainya papan yang di-tarah dengan beliung. Material-material itu tidaklah memberatkan rumah.

Umoh laheik ini merupakan tempat tinggal tumbi (keluarga besar), dengan sistem sikat atau sekat-sekat seperti rumah bedeng. Setiap keluarga menempati satu “sikat” yang terdiri dari kamar, ruang depan, ruang belakang, selasar, dan dapur.

Setiap sikat memiliki dua pintu dan dua jendela, yakni bagian depan dan belakang. Material pintu adalah papan tebal di tarah beliung. Antara sekat sikat terdapat pintu kecil sebagai penghubung.

Jendela

Jendela yang disebut “singap” sekaligus merupakan ventilasi angin dibuat tidak terlalu lebar, tanpa penutup seperti layaknya rumah modern saat sekarang, hanya dibatasi jeruji berukir.

Sementara bagian bawah yang disebut “umin” sering hanya sebagai gudang tempat menyimpan perkakas pertanian, seperti imbeh, jangki, dan jala, atau terkadang juga menjadi kandang ternak seperti ayam, bebek, kelinci, kambing, dan domba. Tak jarang juga dibiarkan kosong melompong menjadi arena tempat bermain anak-anak.

Plafond

Di bagian atas loteng terdapat bumbungan yang disebut “parra”. Atap di dekat parra itu biasanya dibuat lagi singap kecil yang bisa buka-tutup, yang disebut “hintu ahai” atau pintu hari atau pintu matahari. Di situlah keluarga bersangkutan sering menyimpan “sko” (benda-benda pusaka) keluarga.

Di luar rumah, tepatnya di depan pintu, biasanya terdapat beranda panggung kecil yang disebut “pelasa”, yang langsung terhubung dengan jenjang atau tangga. Di situ pemilik rumah sering berangin-angin sepulang kerja. Bahkan, tak jarang para tamu pria sering dijamu duduk di atas bangku sambil minum "sebuk kawo" atau kopi dan mengisap rokok lintingan daun enau.

Bagian halaman depan rumah sering dipenuhi oleh tumpukan batu sungai sebagai teras sehingga rumah terkesan tidak berpekarangan. Pekarangan rumah keluarga tersebut sebenarnya berada di halaman belakang yang biasanya sangat luas dan panjang.

Pranala luar

--HRharizalrhomi (bicara) 13 Oktober 2012 12.28 (UTC)