Antropologi agama

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Antropologi Agama adalah bidang ilmu dalam studi antropologi yang mempelajari manusia, budaya, dan agama dalam kaitannya dengan bagaimana manusia menafsirkan makna agama dan menjalankan kehidupan keagamaannya dalam keseharian atau disebut juga Antropologi Religi.[1] Istilah antropologi berasal dari bahasa Yunani, asal kata anthropos berarti manusia, dan logos berarti ilmu, dengan demikian secara harfiah antropologi berarti ilmu tentang manusia.[2] Pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu al-Din, religi (relegere, religare) dan agama.[3][4] Al-Din (Semit) berarti undang-undang atau hukum.[3] Kemudian dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan.[3] Sedangkan dari kata religi atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca.[3]

Antropologi Agama adalah salah satu cabang ilmu yang banyak mendapatkan perhatian para pakar ilmu sosial.[1] Cabang ilmu Antropologi Agama ini diyakini oleh banyak pakar sebagai salah satu alat studi yang akurat dalam melihat reaksi antara agama, budaya, dan lingkungan sekitar sebuah masyarakat.[1] Antropologi agama menunjuk kepada suatu penghubung yang unik atas moralitas, hasrat, dan kekuatan dengan dikendalikan dan kemerdekaan, dengan duniawi dan asketisme, dengan idealis dan kekerasan, dengan imajinasi dan penjelmaan, dengan imanensi dan transendensi yang merupakan sisi dunia manusia yang berbeda dengan makhluk lain.[1] Tradisi ilmu antropologi memahami dunia-dunia agama tidak sepenuhnya sebagai fenomena objektif dan juga tidak sepenuhnya sebagai fenomena subjektif, namun sebagai sesuatu yang berimbang dalam memediasikan ruangan sosial atau budaya dan sebagai yang terlibat dalam suatu dealiktika yang memberikan objektivitas sekaligus juga subjektivitas.[1] Perhatian ahli antropologi dalam meneliti agama ditunjukan untuk melihat keterkaitan faktor lingkungan alam, struktur sosial, struktur kekerabatan, dan lain sebagainya, terhadap timbulnya jenis agama, kepercayaan, upacara, organisasi keagamaan tertentu.[5] Kajian agama dalam sudut pandang antropologi bertujuan untuk melihat bentuk praktik keagamaan yang terjadi dalam masyarakat seperti tindakan dan perilaku pada saat melakukan ritual keagamaan.[6] Antropologi agama bersifat abstrak tetapi dapat mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku individu termasuk hubungan antara individu dengan hal yang berkaitan dengan supranatural.[7]

Menurut salah satu antropolog muslim bernama Talal Asad, ilmuwan antropolog lain mendefinisikan agama sebatas pada analogi kata-kata dan menghasilkan arti. Talal menganggap bahwa agama bersifat spatiotemporal (berhubungan dengan ruang dan waktu), yang dapat dipengaruhi oleh faktor sosial dan politik.[8]

Kajian Antropologi Agama[sunting | sunting sumber]

Agama yang dipelajari oleh antropologi adalah agama sebagai fenomena budaya, tidak agama yang diajarkan oleh Tuhan.[5] Maka yang menjadi perhatian adalah beragamanya manusia dan masyarakat.[5] Sebagai ilmu sosial, antropologi tidak membahas salah benarnya agama dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada yang sakral.[5] Harsojo mengungkapkan bahwa kajian antropologi terhadap agama dari dulu sampai sekarang meliputi empat masalah pokok, yaitu:[5]

  • Dasar-dasar fundamental dari agama dan tempatnya dalam kehidupan manusia.[5]
  • Bagaimana manusia yang hidup bermasyarakat memenuhi kebutuhan religius mereka.[5]
  • Dari mana asal usul agama.[5]
  • Bagaimana manifestasi perasaan dan kebutuhan religius manusai.[5]

Antropologi agama terbagi atas beberapa aliran, yaitu aliran fungsional, aliran struktural dan aliran historis.[9]

Pendekatan Antropologi Agama[sunting | sunting sumber]

Pendekatan yang digunakan oleh para ahli antropolog dalam meneliti wacana keagamaan adalah adalah pendekatan kebudayaan, yaitu melihat agama sebagai inti kebudayaan.[10] Kajian antropolog yang bernama Geertz (1963) mengenai agama abangan, santri, dan priyai adalah kajian mengenai variasi-variasi keyakinan agama dalam kehidupan (kebudayaan) masyarakat Jawa sesuai dengan konteks lingkungan hidup dan kebudayaan masing-masing bukannya kajian mengenai teologi agama.[10] Berbeda dengan pendekatan antropolog, sebagai ilmu sosial pendekatan yang dipakai antropologi agama untuk menjawab masalah yang menjadi perhatiannya adalah pendekatan ilmiah.[5] Pendekatan ilmiah yang dikembangkan dari pendekatan ilmu alam bertolak dari kenyataan yang mengandung masalah.[5] Masalah itu diantaranya apa sebab suatu kenyataan jadi demikian, apa faktor-faktor yang menjadikannya demikian.[5] Sadar bahwa manusia adalah mahluk budaya, punya kehendak, keinginan, imajinasi, perasaan, gagasan, kajian yang dikembangkan antropologi tidak seperti pendekatan ilmu alam.[5] Pendekatan yang digunkan lebih humanitik, berusaha memahami gejala dari prilaku tersebut yang nota bene punya gagasan, inisiatif, keyakinan, bisa terpengaruh oleh lingkungan dan mempengaruhi lingkungan.[5] Oleh karena itu, pendekatan antropologi tidak menjawab bagaimana beragama menurut kitab suci, tetapi bagaimana seharusnya beragama menurut penganutnya.[5] Terdapat dua konsep yang dapat menjelaskan kepercayaan terhadap Tuhan, yaitu konsep agama dan konsep religi. Konsep religi lebih sering diterapkan masyarakat karena lebih mengarah kepada kebudayaan itu sendiri.[11]

Teori Tentang Agama[sunting | sunting sumber]

Teori Rasionalistik[sunting | sunting sumber]

Teori ini diterapkan pada kajian agama mulai abad ke-19.[5] Secara umum yang dimaksud dengan teori rasionalistik adalah keyakinan ilmuwan bahwa manusia prasejarah menjelasakan kepercayaan mereka hampir dekat dengan cara ilmiah, tetapi mereka sampai kepada kesimpulan salah karena kekurangan pengetahuan dan pengalaman mereka.[5] Kecendrungan teori ini tampak karena dipengaruhi oleh cara berpikir orang Barat, khusunya para ahli antropologinya.[5]

Teori Linguistik (Bahasa)[sunting | sunting sumber]

Kajian terhadap agama secara ilmiah dimulai sesudah kajian terhadap bahasa mulai berkembang.[5] Jacob Grimm dan Wilhem Grimm yang memulai penggabungan kajian mitos dengan bahasa.[5] Mereka mnegumpulkan sebagian besar lagenda, cerita rakyat, khurafa-khurafa, dan pepatah di seantero Eropa.[5] Menurut teori ini keagamaan itu adalah carita rakyat modern yang semula adalah mitos massa lalu yang telah ditambah, dikurangi, atau dikorup.[5]

Teori Fenomenologis[sunting | sunting sumber]

Teori fenomenologis adalah kajian terhadap sesuatu menurut yang dimaksud sendiri oleh objek yang dikaji.[5] Suatu masyarakat yang menjadi objek penelitian dengan pendekatan fenomenologis berarti berusaha memahami maksdu simbol, kepercayaan, atau ritual menurut yang mereka pahami sendiri.[5]

Teori berorientasi kepada Upacara Religi[sunting | sunting sumber]

Robertson Smith (1846-1894), seorang ahli teologi, sastra Semit, dan ilmu pasti, mengingatkan bahwa disamping sistem kepercayaan dan doktrin, agama punya sistem upacara yang relatif tetap pada banyak agama, yaitu upacara keagamaan.[5] Jadi agama muncul dari upacara atau ritual.[5]

Asal Usul Agama[sunting | sunting sumber]

Penelusuran terhadap asal usul agama secara universal tidak akan mungkin dicapai karena karakteristil ajaran dan umat beragama sangat banyak dan sangat berbeda satu sama lain.[5] Mendasarkan pendapat tentang asal usul agama kepada data keagamaan masyrakat primitif sungguh tidak resprentatif, bahkan salah kaprah karena agama-agama besar dunia sangat berbeda dengan agama masyarakat primitif.[5] Kemudian penelusuran secara ilmiah terhadap kepercayaan beragama, menuntut bukti yang rasional empirik, dan berikutnya menuntut kesimpulan yang rasional empirik.[5] Mengatakan agama dari Tuhan tentu tidak empirik.[5] Karena itu, Emile Durkheim mengatakan bahwa asal usul agama adalah masyarakat itu sendiri.[5] M.T Preusz, seorang etnografer Jerman yang ahli tentang suku Indian di Meksiko, berpendapat bahwa wujud religi tertua merupakan tindakan-tindakan manusia untuk mewujudkan keperluan hidupnya yang tidak dapat dicapai dengan akal dan kemampuan biasa.[5] Dia menegaskan bahwa pusat dari tiap sistem religi adalah ritus dan upacara.[5] Melalui tindakan terhadap kekuatan gaib yang berperan dalam kehidupan, manusai mengira dapat memenuhi kebutuhan dan tujuan hidupnya.[5] R.R. Marett berpendapat bahwa kepercayaan beragama berasal dari kepercayaan akan adanya kekuatan gaib luar biasa yang menjadi penyebab dari gejala-gejala yang tidak dapat dilakukan manusia biasa.[5]

Selain itu, asal usul agama tidak lah sesuai dengan apa yang ada dalam keyakinan dan pikiran umat beragama, karena menurut mereka agama adalah ajaran Tuhan.[5] Walaupun kemudian disampaikan dan dioleh atau diijtihadkan oleh pemuka agama, asal bahan yang dioleh dan diijtihadkan itu tetap dari wahyu Tuhan.[5] Agama pada umumnya mempunyai ajaran-ajaran yang diyakini turun kepada manusia melaui wahyu, dalam arti bahwa ajaran-ajaran itu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, karena itu bersifat mutlak benar dan tidak berubah-ubah oleh perkembangan zaman.[12]

Salah satu antropolog bernama Koentjaraningrat membedakan antara agama dan religi. Istilah agama digunakan untuk menggambarkan agama-agama besar saja dan istilah religi digunakan untuk masyarakat primitif yang skala keagamaan masih kecil.[13]

Dari sudut pandang sosioantropologi, agama disebut sebagai bentuk hubungan dengan hal diluar nalar dan tidak dapat dicapai manusia. Agama disebut juga berkaitan dengan sistem kepercayaan dan ritual yang dilakukan oleh sekelompok orang atau masyarakat. Agama dianggap sebagai sumber dari semua kebudayaan dan merupakan candu bagi manusia itu sendiri.[14]

Agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat karena bersifat universal. Walaupun terjadi perubahan sosial dilingkungan masyarakat tertentu tetapi hal tersebut tidak akan mengurangi ataupun menghilangkan eksistensi agama.[15]

Praktek agama di Indonesia sangat beragam tergantung kebudayaan yang dianut oleh masyarakat. Kemungkinan adanya campuran adat lokal dalam ajaran agama sudah tidak dapat dihindarkan atau dipisahkan lagi.[16]

Karya-karya[sunting | sunting sumber]

  • Theories of Primitive Religion (Avans-Pritchard, 1965)
  • The Culture of the Sacred: Exploring the Antrhoplogy of religion (Illinois: Waveland, 2004)
  • Anthropology of Religion: A Handbook (London: Preager,1997)
  • The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (Max Weber)
  • Islam and Capitalism (London: Allen Lane, 1974)
  • Seven Theories of Religion (New York & Oxford: Oxford University Press, 1996)
  • Witchacraft Among the Azande (Avans-Pritchard, 1937)
  • Nuer Religion (Avans-Pritchard, 1956)
  • The religion of Java ( Geertz, 1960)
  • Religion, Culture, and Environment (Fiona Bowie. 2000)
  • The Elementary of Religion Life (Emile Durkheim. 1912)
  • A Handbook of Methods in Cultural Anthropologi (R. Narol & R. Cohen, 1970)[2]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e Drs. Yusron Razak, M.A. & Ervan Nurtawab, M.A. Antropologi Agama. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dan UIN Jakarta Press, 2007) hal 1-20.>
  2. ^ a b Prof. Dr. Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. 2013.>
  3. ^ a b c d Prof. Dr. H. Jalaluddin. Psikologi Agama. (Jakarta: PT Rajagrafindo Perasada. 2007).
  4. ^ Drs. Bambang Syamsul Arifin M.Si. Psikologi Agama. (Bandung: Pustaka Setia, 2008) ISBN 979-730-746-8.
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak Bustanuddin Agus. Agama Dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006) hal. 16>
  6. ^ Rosidah 2011, hlm. 24.
  7. ^ Rudyansjah 2012, hlm. 63.
  8. ^ Wendry 2016, hlm. 180.
  9. ^ Chaer 2014, hlm. 7.
  10. ^ a b Drs. U. Maman dkk. Metodelogi Penelitian Agama: Teori dan Praktik. (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006)hal.94.
  11. ^ Nasruddin 2013, hlm. 54-55.
  12. ^ Sudjangi (Penyunting) Agama dan Masyarakat Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Masyarakat, 1991/1992.>
  13. ^ Tokko 2018, hlm. 448.
  14. ^ Marzali 2016, hlm. 59.
  15. ^ Marlina, Pasaribu dan Simanjuntak 2020, hlm. 4.
  16. ^ Zainal 2018, hlm. 1.

Daftar Pustaka[sunting | sunting sumber]

  1. Chaer, M. T. (2014). "Pendekatan antropologi dalam studi agama". At-Tahdzib: Jurnal Studi Islam dan Muamalah. 2 (2): 1–17. ISSN 2503-1929. 
  2. Marlina, M. E., Pasaribu, P.,, & Simanjuntak, D. H. (2020). Antropologi Agama. Yayasan Kita Menulis. hlm. 1–68. 
  3. Marzali, A. (2016). "Agama dan kebudayaan". Umbara: Indonesian Journal of Anthropology. 1 (1): 57–75. doi:10.24198/umbara.v1i1.9604. 
  4. Nasruddin, N. (2013). "Teori munculnya religi (Tinjaun antropologis terhadap unsur kepercayaan dalam masyarakat)". Jurnal Adabiyah. 13 (1): 54–65. ISSN 2548-7744. 
  5. Rosidah, F. U. (2011). "Pendekatan antropologi dalam studi agama". Religio: Jurnal Studi Agama-Agama. 1 (1): 23–32. ISSN 2503-3778. 
  6. Rudyansjah, T. (2012). Antropologi Agama: Wacana-Wacana Mutakhir dalam Kajian Religi dan Budaya. Jakarta: UI Press. hlm. 1–174. ISBN 978-979-456-495-0. 
  7. Tokko, A. B. (2018). "Pemaknaan agama dalam perspektif antropologi-sosiologi". Al-Qalam. 15 (24): 447–460. doi:10.31969/alq.v15i2.553. 
  8. Wendry, N. (2016). "Menimbang agama dalam kategori antropologi: Telaah terhadap pemikiran Talal Asad". Kontemplasi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin. 4 (1): 179–194. doi:10.21274/kontem.2016.4.1.179-194. 
  9. Zainal, A. (2018). Menjaga Adat, Menguatkan Agama Katoba dan Identitas Muslim Muna. Yogyakarta: Deepublish. hlm. 1–260. ISBN 978-602-453-981-8. 

ga m0dal