Agama Mesir Kuno

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Agama Mesir Kuno adalah bentuk kepercayaan dan ritual politeisme nan kompleks yang melekat pada masyarakat Mesir Kuno. Agama ini berpusat pada interaksi orang-orang Mesir dengan dewa-dewi yang mereka yakini muncul dan mengendalikan kekuatan alam. Ritual-ritual seperti doa dan pemberian persembahan merupakan upaya agar mendapat pertolongan dari para dewa. Praktik keagamaan formal tertumpu pada firaun, sang penguasa Mesir yang dipercaya memiliki kekuatan suci karena kedudukannya. Para firaun berperan sebagai perantara rakyatnya dengan para dewa serta berkewajiban untuk menjunjung mereka melalui ritual-ritual dan persembahan agar keseimbangan di alam semesta tetap terjaga. Negeri tersebut juga mendedikasikan sumber daya yang sangat besar terutama untuk kegiatan-kegiatan ritual dan pembangunan kuil-kuil.

Seseorang dapat berinteraksi dengan para dewa demi kepentingan pribadi, meminta pertolongan melalui doa atau meminta mereka untuk bertindak melalui ritual sihir. Praktik-praktik ini meski ada bedanya, tetapi tetap berkaitan dengan ritual dan adat-adat formal. Tradisi keagamaan populer kemudian berkembang pesat dalam perjalanan sejarah Mesir seiring memudarnya status firaun. Aspek penting lainnya adalah kepercayaan yang terkait alam baka dan upacara pemakaman. Bangsa Mesir melakukan upaya khusus untuk memastikan kekekalan jiwa mereka setelah kematian, mereka mempersiapkan makam-makam, perkakas pemakaman, dan persembahan-persembahan dalam rangka melestarikan tubuh dan jiwa orang yang telah meninggal.

Agama ini bermula sejak zaman prasejarah Mesir dan berlangsung selama lebih dari 3.000 tahun. Seluk beluk keyakinan agama ini telah berubah seiring waktu sejalan dengan ketidaktetapan sifat keluhuran para dewa, serta pergeseran hubungan rumit mereka. Pada berbagai kesempatan, dewa-dewa tertentu kedudukannya dianggap lebih unggul dari yang lain, termasuk dewa matahari Ra, dewa pencipta Amun, dan ibu dewi Isis. Untuk periode yang singkat, dalam teologi yang diundangkan oleh Firaun Akhenaten, dewa tunggal yang disebut Aten menggantikan dewa-dewa tradisional. Agama dan mitologi Mesir Kuno banyak menyisakan tulisan-tulisan dan monumen-monumen, beserta pengaruh luasnya terhadap kebudayaan kuno maupun modern.

Teologi

Kepercayaan dan ritual yang sekarang disebut sebagai "Agama Mesir Kuno" adalah bagian tak terpisahkan dalam setiap aspek kebudayaan Mesir. Bahasa mereka tidak memiliki satu pun istilah yang sepadan dengan konsep agama Eropa modern. Agama Mesir Kuno bukanlah tradisi monolitik, tetapi terdiri dari serangkaian keyakinan dan praktik yang luas dan beragam, terhubung oleh fokus bersama mereka pada interaksi dunia manusia dan dunia dewa. Karakteristik para dewa yang menghuni alam suci melekat pada pemahaman orang-orang Mesir mengenai sifat-sifat dunia tempat mereka tinggal.[1]

Dewa Osiris, Anubis, dan Horus, dari kiri ke kanan

Dewa-Dewi

Bangsa Mesir Kuno meyakini kekuatan para dewa di semua gerak dan prinsip-prinsip alam. Mereka percaya bahwa para dewa tidak hanya mengendalikan fenomena alam, tetapi juga ada dalam unsur-unsur alam itu sendiri.[2] Kekuatan luhur ini termasuk elemen-elemen, karakteristik hewan, atau kekuatan-kekuatan abstrak. Mereka percaya pada panteon dewa-dewa yang berperan serta dalam semua aspek alam semesta dan komunitas manusia. Praktik-praktik religius yang mereka lakukan merupakan upaya untuk menjaga dan menenangkan fenomena-fenomena tersebut dan mengubahnya demi kepentingan manusia.[3] Sistem politeistik ini sangat kompleks karena dewa-dewa diyakini muncul dalam manifestasi yang berbeda-beda, dan beberapa di antaranya memiliki peran mitologis. Beragam kekuatan alam seperti matahari, dikaitkan pada banyak dewa. Panteon yang beragam mulai dari dewa dengan peran yang vital di alam semesta hingga dewa-dewa kecil atau "demon" dengan peran yang sangat terbatas atau terlokalkan.[4] Ini juga termasuk dewa-dewa yang diadopsi dari kebudayaan asing, dan adakalanya dari manusia: firaun yang telah meninggal dianggap suci, dan terkadang jelata yang dihormati seperti Imhotep juga didewakan.[5]

Penggambaran para dewa dalam karya seni bangsa Mesir bukanlah dimaksudkan sebagai representasi harfiah mengenai bentuk rupa para dewa seandainya mereka dapat dilihat, karena sifat sejati para dewa diyakini penuh rahasia. Sebaliknya, penggambaran ini memberikan bentuk agar dewa-dewa yang abstrak dapat dikenali dengan membandingkannya dengan simbol-simbol alam yang menunjukkan peran mereka.[6] Misalnya, dewa kematian Anubis digambarkan sebagai jakal, makhluk dengan kebiasaan mengais yang dianggap dapat merusak kelestarian jenazah. Kulit hitamnya menyimbolkan warna daging yang dimumikan dan tanah hitam subur yang dianggap orang-orang Mesir sebagai lambang kebangkitan. Ikonografi ini tidak baku dan dapat berubah-ubah, karena beberapa dewa dapat digambarkan dalam berbagai bentuk.[7]

Banyak dewa-dewa yang dikaitkan dengan suatu wilayah tertentu di Mesir, dan pemujaan terhadap mereka di wilayah tersebut paling diutamakan. Namun, asosiasi ini berubah seiring waktu, dan bukan berarti dewa yang terkait dengan suatu tempat memang berasal dari sana. Misalnya, dewa Monthu adalah pelindung asli kota Thebes. Namun, selama periode Kerajaan Pertengahan, perannya digantikan oleh Amun, yang mungkin telah muncul di tempat lain. Popularitas dan kepentingan dewa-dewa individu berfluktuasi dengan cara yang sama.[8]

Amun-Ra kamutef, mengenakan hiasan kepala Amun dan cakram matahari yang mewakili Ra

Asosiasi antar dewa

Bangsa Mesir menyadari fakta bahwa fenomena alam yang berbeda saling terkait satu sama lain, sehingga mereka juga mengaitkannya dengan dewa-dewa.[3] Para dewa Mesir memiliki hubungan timbal balik yang rumit, yang sebagiannya menggambarkan interaksi kekuatan yang mereka wakili. Bangsa Mesir biasa mengelompokkan dewa-dewa dalam menggambarkan hubungan-hubungan ini. Beberapa kelompok dewa yang keluhurannya tidak pasti diperhubungkan atas kesamaan peranan mereka. Ini biasanya termasuk dewa-dewa kecil yang sedikit memiliki identitas individual. Kombinasi lain menghubungkan dewa-dewa berdasarkan makna simbolik angka-angka dalam mitologi Mesir; misalnya, pasangan dewa biasanya mewakili dualitas fenomena yang berlawanan. Salah satu kombinasi yang lebih umum adalah tritunggal kekerabatan yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang disembah bersamaan. Beberapa kelompok memiliki kepentingan yang lebih luas. Misalnya Enneás, yaitu kelompok yang terdiri dari sembilan dewa dalam sistem teologis yang tercakup dalam ranah mitologis penciptaan, kerajaan, dan alam baka.[9]

Hubungan antara para dewa juga dapat diekspresikan dalam proses sinkretisme, yaitu dua dewa atau lebih dipadukan membentuk satu dewa gabungan. Proses ini merupakan pengakuan akan kehadiran satu dewa "di dalam" yang lainnya jika dewa kedua memiliki peran yang termasuk peran dewa pertama. Hubungan-hubungan di antara para dewa ini berubah-ubah, serta tidak mewakili perpaduan dua dewa menjadi satu secara permanen. Oleh karena itu, beberapa dewa bisa membangun banyak hubungan sinkretis.[10] Kadang kala sinkretisme ini memadukan dewa-dewa dengan karakteristik yang sangat mirip. Di lain waktu ia berpadu dengan dewa yang memiliki sifat sangat berlainan, seperti ketika Amun, dewa kekuatan tersembunyi, digabung dengan Ra, sang dewa matahari, melahirkan Amun-Ra, yang memadukan kekuatan di balik segala hal dengan kekuatan terbesar dan paling tampak di alam.[11]

Kecenderungan monoteisme

Banyak dewa diberikan julukan yang tampaknya menunjukkan bahwa mereka lebih hebat daripada dewa lainnya, menggambarkan semacam penunggalan di luar banyaknya kekuatan-kekuatan alam. Hal ini berlaku khususnya bagi beberapa dewa yang pada berbagai waktu dalam lintasan sejarah, menjadi sangat penting bagi agama Mesir. Termasuk pelindung kerajaan Horus, dewa matahari Ra, dan ibu dewi Isis.[12] Selama Kerajaan Baru (sekitar 1550–1070 SM), Amun memegang kedudukan ini. Teologi pada zaman tersebut menguraikan secara rinci khususnya mengenai kehadiran Amun dalam mengendalikan segala hal, sehingga ia dianggap lebih unggul daripada dewa lainnya, yaitu sebagai perwujudan kekuatan dewa yang mencakup segalanya.[13]

Akibat pernyataan teologis seperti ini, banyak ahli Mesir masa lalu, seperti Siegfried Morenz [de], percaya bahwa di bawah tradisi politeistik agama Mesir terjadi peningkatan keyakinan akan keesaan dewa, mengarah pada monoteisme. Contoh dalam sastra Mesir, yang menyebutkan "dewa" tanpa merujuk pada dewa tertentu tampaknya memberikan tendensi pada pandangan ini. Namun, pada tahun 1971 Erik Hornung [en] menunjukkan bahwa ciri-ciri yang kiranya dimiliki mahluk agung dapat dikaitkan dengan banyak dewa yang berbeda, bahkan pada periode ketika dewa-dewa lain yang unggul. Dia berpendapat bahwa rujukan kepada "dewa" yang tidak ditentukan dimaksudkan untuk merujuk secara fleksibel ke dewa manapun. Karena itu ia berpendapat bahwa, meski beberapa individu mungkin secara henoteis memilih satu dewa untuk disembah, agama Mesir secara keseluruhan tidak memiliki gagasan tentang keberadaan suci di luar banyaknya dewa. Namun perdebatan tidaklah berakhir di sana; Jan Assmann [en] dan James P. Allen [en] sejak itu menegaskan bahwa orang Mesir pada tingkat tertentu mengakui kekuatan suci tunggal. Menurut pandangan Allen, gagasan mengenai monoteistik muncul berdampingan secara inklusif dengan tradisi politeistik. Ada kemungkinan bahwa hanya para teolog Mesir yang sepenuhnya mengakui kesatuan mendasar ini, tetapi juga mungkin rakyat Mesir biasa mengidentifikasi kekuatan tunggal dengan satu dewa pada situasi tertentu.[14]

Atenisme

Selama periode Kerajaan Baru, Akhenaten menghapuskan pemujaan resmi pada dewa-dewa lain demi menyembah cakram-matahari Aten. Hal ini sering dianggap sebagai contoh pertama monoteisme sejati dalam sejarah, meskipun rincian teologi Atenis masih belum jelas dan anggapan bahwa itu monoteistik masih diperdebatkan. Mengecualikan semua selain satu dewa untuk disembah merupakan peralihan yang radikal dalam tradisi Mesir dan sebagian menganggap Akhenaten lebih sebagai praktisi monolatri daripada monoteisme,[15] karena dia tidak secara aktif menyangkal keberadaan dewa-dewa lain; dia hanya menahan diri untuk menyembah dewa apa pun kecuali Aten. Di bawah kekuasaan penerus Akhenaten, Mesir kembali ke agama tradisionalnya, dan Akhenaten sendiri bahkan dikecam sebagai orang ingkar.[16]

Konsep penting lainnya

Dewa udara Shu, dibantu oleh dewa-dewa lain, memegang Nut, sang Langit, sedangkan Geb, sang Bumi, berbaring di bawah.

Kosmologi

Konsepsi Mesir mengenai alam semesta berpusat pada Ma'at, sebuah kata yang mencakup beberapa konsep, termasuk "kebenaran", "keadilan", dan "keteraturan". Ini merupakan tatanan semesta yang kekal dan abadi, baik di alam semesta maupun dalam masyarakat manusia. Ma'at sudah ada sejak penciptaan dunia, dan tanpanya dunia akan kehilangan kohesinya. Dalam kepercayaan Mesir, Ma'at terus-menerus terancam oleh kekuatan kekacauan, sehingga semua masyarakat diharuskan untuk mempertahankannya. Pada tingkat manusia, ini berarti semua anggota masyarakat harus bekerja sama dan hidup berdampingan; pada tingkat kosmik berarti bahwa semua kekuatan alam — para dewa — harus terus menjalankan tugasnya dalam keseimbangan.[17] Golongan yang terakhir inilah yang menjadi pokok pangkal agama Mesir. Bangsa Mesir berusaha menjaga Ma'at di alam semesta dengan menopang para dewa melalui persembahan dan dengan melakukan ritual untuk mencegah kekacauan serta mengabadikan siklus alam.[18]

Bagian terpenting dari pandangan Mesir mengenai kosmos adalah konsep waktu, yang sangat berkaitan dengan pemeliharaan Ma'at. Sepanjang waktu linear, suatu pola siklus berulang, saat Ma'at diperbarui oleh peristiwa periodik yang menggemakan ciptaan asli. Di antara peristiwa-peristiwa ini adalah banjir tahunan Nil dan suksesi dari satu raja ke raja lainnya, tetapi yang paling penting adalah perjalanan harian dewa matahari Ra.[19]

Ketika memikirkan bentuk kosmos, bangsa Mesir melihat bumi sebagai hamparan tanah yang datar dan dipersonifikasikan oleh dewa Geb, sedangkan yang melengkung adalah dewi langit Nut. Keduanya dipisahkan oleh Shu, dewa udara. Di bawah bumi terbentang dunia bawah dan bawah langit yang paralel, dan di luar langit terdapat hamparan tak terbatas Nu, khaos yang sudah ada sebelum penciptaan.[20] Bangsa Mesir juga percaya pada sebuah tempat yang disebut Duat, wilayah misterius yang terkait dengan kematian dan kelahiran kembali, yang mungkin terletak di dunia bawah atau di langit. Setiap hari, Ra melakukan perjalanan melintasi bumi di sisi bawah langit, dan pada malam hari ia melewati Duat untuk dilahirkan kembali saat fajar.[21]

Dalam kepercayaan Mesir, kosmos ini dihuni oleh tiga jenis makhluk hidup. Salah satunya adalah para dewa; yang lain adalah roh-roh manusia yang telah meninggal, yang ada di alam suci dan juga memiliki beberapa kemampuan para dewa. Manusia yang hidup adalah kategori ketiga, dan yang paling penting di antara mereka adalah firaun, yang menjembatani alam manusia dengan para dewa.[22]

Patung kolosal Firaun Ramesses II

Firaun agung

Para ahli Mesir telah lama memperdebatkan sejauh mana firaun dianggap sebagai dewa. Tampaknya sangat mungkin bahwa orang Mesir memandang otoritas kerajaan itu sebagai kekuatan agung. Oleh karena itu, meskipun orang Mesir mengakui bahwa firaun adalah manusia dan tunduk pada kelemahan manusia, mereka secara bersamaan memandangnya sebagai dewa, karena kuasa suci kerajaan menjelma dalam dirinya. Karena itu ia bertindak sebagai perantara antara rakyat Mesir dengan para dewa.[23] Dia adalah kunci untuk menegakkan Ma'at, baik dengan menjaga keadilan dan harmoni dalam masyarakat serta dengan menopang para dewa melalui kuil-kuil dan persembahan. Untuk alasan ini, ia mengawasi semua kegiatan keagamaan di negerinya.[24] Namun, pengaruh dan prestise kehidupan nyata firaun bisa berbeda dari yang digambarkan dalam tulisan-tulisan dan penggambaran resmi; dimana pada akhir periode Kerajaan Baru, kepentingan peranan firaun terkait keagamaan menurun drastis.[25]

Raja juga dikaitkan dengan banyak dewa tertentu. Dia diidentifikasi langsung dengan Horus, yang mewakili kerajaan itu sendiri, dan dia dianggap sebagai putra dewa Ra, yang memerintah dan mengatur alam dan sebagai firaun yang memerintah serta mengatur masyarakat. Pada periode Kerajaan Baru ia juga dikaitkan dengan Amun, kekuatan tertinggi dalam kosmos.[26] Setelah kematiannya, sang raja sepenuhnya didewakan. Dalam keadaan ini, ia langsung diidentifikasi dengan Ra, dan juga dikaitkan dengan Osiris, dewa kematian dan kelahiran kembali serta ayah mitologis Horus.[27] Banyak kuil pemakaman yang dibangun didedikasikan khusus untuk pemujaan firaun sebagai dewa.[28]

Burung ba, salah satu aspek dari konsep jiwa dalam Mesir kuno.

Alam baka

Kehidupan setelah kematian merupakan bagian terpenting dalam kepercayaan bangsa Mesir kuno. Kepercayaan bangsa Mesir kuno akan adanya kehidupan setelah kematian disimbolkan dalam bentuk salib firaun yang disebut "kunci kehidupan" (ankh). Kunci kehidupan ini merupakan simbol kehidupan yang kekal, simbol paling suci yang terdapat di makam-makam dan dinding-dinding kuil.[29] Bangsa Mesir memiliki keyakinan yang rumit tentang kematian dan alam baka. Mereka percaya bahwa manusia memiliki ka, atau daya kehidupan, yang meninggalkan jasad pada titik kematian. Semasa hidup, ka menerima rezekinya dari makanan dan minuman, sehingga diyakini untuk menjaga keabadiannya setelah kematian, ka harus terus mendapatkan persembahan makanan, yang esensi spiritualnya masih bisa dikonsumsi. Setiap orang juga memiliki ba, serangkaian karakteristik spiritual yang unik bagi setiap individu (mirip dengan gagasan 'kepribadian').[30] Tidak seperti ka, ba tetap melekat pada jasad setelah kematian. Upacara pemakaman Mesir dimaksudkan untuk melepaskan ba dari jasadnya sehingga bisa bergerak bebas, dan bergabung kembali dengan ka sehingga bisa hidup kembali sebagai akh. Namun, penting juga bahwa jasad mendiang untuk dilestarikan, karena orang Mesir percaya bahwa ba akan kembali ke jasadnya setiap malam untuk menerima kehidupan baru, sebelum kemudian muncul di pagi hari sebagai akh.[31]

Pada masa-masa awal, firaun yang meninggal, diyakini naik ke langit dan tinggal di antara bintang-bintang.[32] Selama Kerajaan Lama (sekitar 2686-2181 SM) ia lebih erat dikaitkan dengan kelahiran dewa matahari Ra dan dengan penguasa dunia bawah Osiris karena dewa-dewa tersebut dianggap lebih penting.[33]

Penghakiman

Dalam kepercayaan alam baka yang berkembang sejak periode Kerajaan Baru, jiwa seseorang harus menghindari berbagai marabahaya adikodrati di Duat sebelum menjalani persidangan terakhir; dikenal juga sebagai fase "Penimbangan Jantung", yang dilakukan oleh Osiris dan 42 Hakim Ma'at. Dalam persidangan ini, para dewa menimbang perbuatan-perbuatan mendiang semasa hidup (dilambangkan oleh jantung) dengan bulu yang mewakili dewi Ma'at, untuk menentukan apakah ia telah berbuat sesuai dengan Ma'at. Jika mendiang lebih berat timbangan kebaikannya dan dinilai layak, maka ka dan ba-nya disatukan menjadi Akh, dan dia akan hidup dengan penuh keindahan dan kebahagiaan.[34] Apabila timbangan kejahatannya lebih berat, dia akan dikirim ke suatu tempat dimana ia akan disiksa dalam keabadian oleh sebuah makhluk yang disebut dengan "pemakan kematian".[35] Beberapa keyakinan muncul mengenai takdir Akh. Seringkali orang yang mati dikatakan tinggal di alam Osiris, negeri yang subur dan menyenangkan di dunia bawah.[36] Penampakan matahari dari alam baka, tempat roh mendiang bepergian dengan Ra dalam perjalanan sehari-harinya, terutama masih dikaitkan dengan keluarga raja, tetapi juga bisa meluas untuk orang lain. Selama Kerajaan Pertengahan dan Baru, ada gagasan yang lazim bahwa akh dapat juga melakukan perjalanan di dunia orang hidup, dan untuk beberapa alasan, secara ajaib, akh juga dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa di sana.[37]

Sastra

Meskipun bangsa Mesir tidak memiliki kitab keagamaan yang terpadu, mereka menghasilkan banyak literatur keagamaan dalam berbagai jenis. Naskah yang beragam tersebut memberikan pemahaman yang sangat luas, namun masih belum menjelaskan secara lengkap tentang praktik dan keyakinan agama Mesir.[38]

Ra (tengah) melakukan perjalanan melalui dunia bawah dalam barque-nya, ditemani oleh dewa-dewa lain.[39]

Mitologi

Mitos-mitos Mesir adalah kisah-kisah metaforis yang dimaksudkan untuk menggambarkan dan menjelaskan tingkah laku dan peran para dewa di alam. Rincian peristiwa yang mereka ceritakan bisa berubah untuk menyampaikan perspektif simbolis yang berbeda pada peristiwa-peristiwa misterius yang mereka gambarkan, sehingga tercipta banyak mitos dalam versi yang berbeda dan saling bertentangan.[40] Narasi mitos jarang ditulis secara penuh, dan isi naskahnya lebih sering hanya mengandung episode dari atau kiasan ke mitos yang lebih besar.[41] Oleh karena itu, pengetahuan tentang mitologi Mesir sebagian besar berasal dari himne (nyanyian) yang memerinci peran dewa tertentu, dari naskah ritual dan magis yang menggambarkan tindakan yang berkaitan dengan peristiwa mistis, dan dari teks pemakaman yang menyebutkan peran dewa-dewa di alam baka. Beberapa informasi juga didapat dari kiasan dalam teks sekuler.[38] Akhirnya, orang-orang Yunani dan Romawi seperti Plutarch mencatat beberapa mitos yang masih ada di akhir sejarah Mesir.[42]

Di antara mitos-mitos Mesir yang penting adalah mitos penciptaan. Menurut kisah-kisah ini, dunia muncul sebagai ruang kering di lautan primordial khaos. Karena matahari sangat penting untuk kehidupan di bumi, kebangkitan pertama Ra menandai momen kemunculan ini. Berbagai bentuk mitos menggambarkan proses penciptaan dalam berbagai cara: transformasi dewa primordial Atum menjadi elemen-elemen yang membentuk dunia, sebagai pidato berdaya cipta dari dewa intelektual Ptah, dan sebagai perbuatan kekuatan tersembunyi Amun.[43] Terlepas dari variasi ini, penciptaan mewakili pembentukan awal ma`at dan pola untuk siklus waktu berikutnya.[44]

Yang paling penting dari semua mitos Mesir adalah mitos Osiris dan Isis.[45] Mitos ini menceritakan tentang dewa penguasa Osiris, yang dibunuh oleh saudaranya, Set, dewa yang sering dikaitkan dengan kekacauan.[46] Saudari dan istri Osiris, Isis, membangkitkannya sehingga dia bisa mengandung seorang putra, Horus. Osiris kemudian memasuki dunia bawah dan menjadi penguasa orang mati. Setelah dewasa, Horus bertempur dan mengalahkan Set untuk menjadi raja.[47] Hubungan Set dengan kekacauan, dan identifikasi Osiris dan Horus sebagai penguasa yang sah, memberikan alasan untuk suksesi firaun dan menggambarkan para firaun sebagai penegak ketertiban. Pada saat yang sama, kematian dan kelahiran kembali Osiris terkait dengan siklus pertanian Mesir, yang tanamannya tumbuh di tengah genangan Nil, dan memberikan sebuah contoh untuk kebangkitan jiwa manusia setelah kematian.[48]

Motif mitos penting lainnya adalah perjalanan Ra melalui Duat setiap malam. Dalam perjalanan ini, Ra bertemu dengan Osiris, yang sekali lagi bertindak sebagai agen regenerasi, sehingga hidupnya diperbarui. Dia juga bertarung setiap malam dengan Apep, dewa kejahatan yang mewakili kekacauan. Kekalahan Apep dan pertemuan dengan Osiris memastikan terbitnya matahari keesokan paginya, peristiwa yang mewakili kelahiran kembali dan kemenangan ketertiban atas kekacauan.[49]

Teks ritual dan magis

Prosedur ritual keagamaan sering ditulis pada papirus, yang digunakan sebagai instruksi bagi mereka yang melakukan ritual. Naskah-naskah ritual ini disimpan terutama di perpustakaan-perpustakaan kuil. Kuil-kuil itu sendiri juga ditulisi dengan teks naskah tersebut, biasanya disertai dengan ilustrasi. Berbeda dengan ritual papirus, inskripsi ini tidak dimaksudkan sebagai instruksi, tetapi dimaksudkan untuk mengabadikan ritual secara simbolis, bahkan ketika dalam kenyataannya, orang-orang telah berhenti untuk melakukannya.[50] Teks-teks magis juga menggambarkan ritual, walaupun ritual ini adalah bagian dari mantra yang digunakan untuk tujuan tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun untuk tujuan keduniawian, banyak dari teks-teks ini juga berasal dari perpustakaan kuil dan kemudian disebarluaskan untuk masyarakat umum.[51]

Nyanyian dan doa

Bangsa Mesir menghasilkan banyak doa dan nyanyian pujian yang ditulis dalam bentuk puisi. Nyanyian dan doa mengikuti struktur yang sama namun dibedakan menurut tujuan pembuatannya. Nyanyian pujian ditulis untuk memuji dewa-dewa tertentu.[52] Seperti teks ritual, mereka ditulis di papirus dan di dinding kuil, dan mungkin dibacakan sebagai bagian dari ritual tempat mereka berada dalam prasasti kuil.[53] Sebagian besar terstruktur sesuai dengan satu set formula sastra, yang dirancang untuk menjelaskan sifat, aspek, dan fungsi mitologi dari dewa tertentu.[52] Mereka cenderung menyatakan teologi pokok secara lebih eksplisit daripada tulisan agama Mesir lainnya, yang kemudian menjadi sangat penting di Kerajaan Baru, karena pada periode tersebut wacana teologis sangat aktif digunakan.[54] Doa mengikuti pola umum yang sama seperti nyanyian pujian, tetapi membahasakan dewa yang relevan dengan cara yang lebih pribadi, meminta berkat, bantuan, atau pengampunan atas kesalahan. Doa jarang dilakukan sebelum Kerajaan Baru, yang menunjukkan bahwa pada periode sebelumnya, interaksi pribadi langsung dengan dewa dipercaya sebagai sesuatu yang mustahil, atau setidaknya kurang diekspresikan secara tertulis. Mereka dikenal terutama dari inskripsi pada patung dan stela yang tersisa di situs-situs suci sebagai persembahan nazar.[55]

Bagian dari Kitab Kematian oleh juru tulis Hunefer, yang menggambarkan Penimbangan Jantung.

Teks pemakaman

Di antara tulisan-tulisan Mesir yang paling signifikan dan ekstensif dilestarikan adalah teks pemakaman yang dirancang untuk memastikan bahwa jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal mencapai alam baka yang nyaman.[56] Yang paling awal adalah "Teks Piramida" (Pyramid Texts), yakni berupa koleksi ratusan mantra yang diukir di dinding piramida kerajaan selama periode Kerajaan Lama, yang dimaksudkan untuk memberikan firaun sarana untuk bergabung dengan para dewa di alam baka secara magis.[57] Mantra-mantra tersebut muncul dalam susunan dan kombinasi yang berbeda, dan beberapa di antaranya terlihat di semua piramida.[58]

Pada akhir Kerajaan Lama, bagian baru mantra-mantra pemakaman yang termasuk materi Teks Piramida, mulai muncul di makam-makam, terutama tertulis pada peti mati. Koleksi tulisan ini dikenal sebagai "Teks Peti Mati" (Coffin Texts), dan tidak disediakan untuk keluarga raja, tetapi tertulis di makam pejabat non-kerajaan.[59] Di zaman Kerajaan Baru, beberapa teks pemakaman yang baru muncul, yang paling terkenal adalah "Kitab Kematian" (Book of the Dead). Berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya, kitab ini memuat ilustrasi atau sketsa-sketsa yang komprehensif.[60] Kitab tersebut disalin pada papirus dan dijual kepada orang biasa untuk ditempatkan di makam mereka.[61]

Teks Peti Mati memuat bagian-bagian dengan deskripsi rinci mengenai dunia bawah dan instruksi tentang cara mengatasi bahayanya. Di Kerajaan Baru, materi ini memunculkan beberapa "kitab alam baka", seperti "Kitab Gerbang", "Kitab Gua-Gua", dan "Amduat".[62] Tidak seperti koleksi mantra-mantra lepas, kitab-kitab alam baka ini adalah penggambaran yang terstruktur atas bagian ketika Ra melewati Duat, dan disertai analogi, perjalanan jiwa orang yang meninggal melalui alam kematian. Penggunaannya pada awalnya terbatas pada makam-makam firaun, tetapi pada Periode Menengah Ketiga mereka digunakan lebih luas.[63]

Saat Mesir menjadi lebih modern, praktik kunonya digantikan dengan teknik ilmiah yang baru dan efisien. Beberapa kemajuan ilmiah ini terkait dengan pengembangan mumifikasi. Dengan meningkatkan praktik mumifikasi tingkat lanjut mereka, bangsa Mesir mampu mencapai tingkat kesempurnaan baru perihal kehidupan setelah kematian.

Praktik

Tiang pertama dan barisan tiang Kuil Isis di Philae.

Kuil

Kuil-kuil telah ada sejak permulaan sejarah Mesir, dan pada puncak peradaban mereka, kuil-kuil berdiri di sebagian besar kota-kota di Mesir. Kuil-kuil ini termasuk kuil pemakaman yang melayani roh-roh firaun dan kuil yang didedikasikan untuk sang dewa pelindung, meskipun perbedaannya samar karena antara keilahian dan kedudukan raja terjalin begitu erat.[44] Kuil-kuil tersebut terutama tidak dimaksudkan sebagai tempat untuk pemujaan oleh masyarakat umum, dan rakyat jelata memiliki seperangkat praktik keagamaan yang kompleks tersendiri. Sebaliknya, kuil-kuil yang dikelola negara berfungsi sebagai rumah bagi para dewa, tempat gambaran fisik yang berfungsi sebagai perantara mereka dirawat dan diberi persembahan. Hal ini diyakini perlu untuk menyokong para dewa, sehingga mereka pada gilirannya dapat menyokong alam semesta itu sendiri.[64]. Dengan demikian kuil-kuil menjadi pusat masyarakat Mesir, dan sumber daya yang besar pun dikhususkan untuk pemeliharaannya, termasuk sumbangan dari monarki dan lahan-lahan luas mereka. Para firaun sering memperluas kuil sebagai bagian dari kewajiban mereka untuk menghormati para dewa, sehingga banyak ditemui kuil yang berdiri dengan ukuran sangat besar.[65] Meski demikian tidak semua dewa memiliki kuil yang didedikasikan untuk mereka, karena banyak dewa dalam teologi resmi hanya menerima sedikit ibadah, dan banyaknya dewa-dewa rumah tangga menjadi fokus pemujaan populer dibanding ritual kuil.[66]

Kuil-kuil paling awal Mesir memiliki struktur kecil dan tidak permanen, tetapi selama Kerajaan Lama dan Pertengahan, desainnya berkembang menjadi lebih rumit, dan lebih banyak dibangun dari batu. Pada zaman Kerajaan Baru, rencana atau dasar tata letak kuil dilahirkan, berevolusi dari elemen-elemen yang sama dari kuil-kuil Kerajaan Lama dan Pertengahan. Dengan berbagai variasi, rencana ini digunakan untuk sebagian besar kuil yang dibangun sejak saat itu, dan sebagian besar dari mereka bertahan hingga kini. Dalam rencana standar ini, kuil dibangun di sepanjang pusat prosesi, melewati serangkaian ruang dan balai menuju tempat suci yang menyimpan patung dewa kuil. Akses ke bagian paling suci dari kuil-kuil ini terbatas pada firaun dan pendeta-pendeta tingkat tertinggi. Perjalanan dari pintu masuk kuil ke tempat suci dianggap sebagai sebuah perjalanan dari dunia manusia ke alam suci, sebuah titik yang ditekankan oleh simbolisme mitologis kompleks yang hadir dalam arsitektur kuil.[67] Jauh di luar bangunan kuil adalah dinding terluar. Di ruang antara keduanya, terhampar bangunan-bangunan tambahan, termasuk ruang kerja dan tempat penyimpanan untuk memasok kebutuhan kuil. Terdapat pula perpustakaan tempat tulisan suci kuil dan catatan duniawi disimpan, yang mana berfungsi juga sebagai pusat pembelajaran pada berbagai subyek.[68]

Penmaat digambarkan dalam posisinya sebagai pendeta Amun, membakar dupa dan memperlihatkan kepala yang dicukur, menunjukkan kesucian pendeta.

Secara teoritis adalah tugas firaun untuk melaksanakan ritual di kuil, karena ia adalah perwakilan resmi Mesir untuk para dewa. Kenyataannya, tugas ritual hampir selalu dilakukan oleh para pendeta. Selama Kerajaan Lama dan Pertengahan, tidak ada kelas pendeta yang terpisah; sebaliknya, banyak pejabat pemerintah yang bertugas dalam kapasitas ini selama beberapa bulan di luar tahun sebelum kembali ke tugas-tugas sekuler mereka. Hanya di Kerajaan Baru yang melakukannya adalah kependetaan profesional, meskipun sebagian besar pendeta tingkat rendah masih bekerja paruh waktu. Semua masih dipekerjakan oleh negara, dan firaun yang memutuskan dalam penunjukan mereka.[69] Namun, akibat kekayaan kuil-kuil yang kian bertambah, pengaruh kependetaan makin meningkat, hingga menyamai firaun itu sendiri. Dalam fragmentasi politik Periode Menengah Ketiga (sekitar 1070–664 SM), para pendeta tinggi Amun di Karnak bahkan menjadi penguasa Mesir Hulu.[70] Para pegawai kuil juga termasuk banyak selain para pendeta, seperti para pemusik dan pelantun dalam upacara-upacara di kuil. Di luar kuil ada pengrajin dan pekerja lain yang membantu memenuhi kebutuhan kuil, serta petani yang bekerja di perkebunannya. Semua dibayar dengan bagian dari pendapatan kuil. Karena itu, kuil-kuil besar merupakan pusat kegiatan ekonomi yang sangat penting, karena terkadang bahkan mempekerjakan hingga ribuan orang.[71]

Ritual dan festival resmi

Praktik keagamaan negara mencakup ritual kuil dalam pemujaan dewa dan upacara yang berkaitan dengan kerajaan suci. Di antara yang terakhir adalah upacara penobatan firaun dan festival sed, ritual pembaruan kekuatan firaun yang dilaksanakan secara berkala selama masa pemerintahannya.[72] Ada banyak ritual kuil, termasuk ritual yang terjadi di seluruh negeri, dan ritual terbatas pada satu kuil atau kuil-kuil dewa tunggal. Beberapa dilakukan setiap hari, sementara yang lain dilakukan setiap tahun atau pada kesempatan langka.[73] Ritual kuil yang paling umum adalah upacara persembahan pagi, dilakukan setiap hari di kuil-kuil di seluruh Mesir. Di dalamnya, seorang pendeta tingkat tinggi, atau kadang-kadang firaun, mencuci, meminyaki, dan menghiasi patung dewa dengan saksama sebelum menyajikannya dengan persembahan. Setelah itu, ketika dewa telah mengkonsumsi esensi spiritual dari persembahan, barang-barang tersebut diambil untuk dibagikan di kalangan para pendeta.[72]

Ritual kuil atau festival yang jarang terjadi, masih dilakukan setiap tahun. Perayaan-perayaan ini biasanya berupa kegiatan selain persembahan biasa kepada para dewa, seperti peragaan kembali mitos-mitos tertentu atau penghancuran kekuatan-kekuatan jahat secara simbolis.[74]. Sebagian besar peristiwa ini kemungkinan hanya dirayakan oleh para pendeta dan hanya dilakukan di dalam kuil.[73] Namun, festival kuil yang paling penting, seperti Festival Opet dirayakan di Karnak, biasanya berupa prosesi membawa patung dewa keluar dari tempat suci untuk mengunjungi situs penting lainnya, seperti kuil dewa terkait. Masyarakat biasanya berkumpul untuk menyaksikan prosesi tersebut dan kadang-kadang mendapat bagian persembahan pada kesempatan-kesempatan seperti ini.[75]

Apis merupakan seekor lembu jantan yang dipelihara oleh pendeta di dalam kuil di Memphis.[76]

Hewan suci

Di banyak situs-situs suci, orang Mesir memuja hewan yang mereka yakini sebagai perwujudan dewa tertentu. Hewan-hewan ini dipilih berdasarkan tanda-tanda suci tertentu yang diyakini menunjukkan kesesuaian mereka atas peran tersebut. Beberapa hewan suci ini mempertahankan status tersebut selama sisa hidupnya, seperti lembu Apis yang dipuja di Memphis sebagai manifestasi dewa Ptah.[77] Apabila seekor lembu mati (apis), orang-orang Mesir berkabung selama 70 hari. Bangkainya dibubuhi dengan rempah-rempah, kemudian dimakamkan dengan segala kehormatan.[76] Hewan lain juga dihormati untuk jangka waktu yang lebih singkat. Pemujaan-pemujaan ini menjadi lebih populer di kemudian hari, dan kuil-kuil mulai memelihara hewan-hewan untuk memilih manifestasi dewa baru.[77] Sebuah praktik terpisah dikembangkan saat Dinasti ke Dua Puluh Enam, dimana mulai dilakukan mumifikasi pada setiap anggota spesies hewan tertentu sebagai persembahan kepada dewa yang diwakili oleh spesies tersebut. Jutaan kucing, burung, dan makhluk lainnya yang dimumifikasi, dikubur di kuil-kuil untuk menghormati para dewa Mesir.[78] Para penyembah membayar pendeta dewa tertentu untuk mendapatkan dan membuat mumi hewan yang diasosiasikan dengan dewa tersebut, dan mumi tersebut diletakkan di pemakaman dekat pusat penyucian dewa.

Peramal

Bangsa Mesir menggunakan jasa peramal (Orakel) untuk meminta para dewa agar memberikan pengetahuan atau bimbingan. Peramal Mesir dikenal terutama dari Kerajaan Baru dan sesudahnya. Masyarakat dari berbagai kelas, termasuk raja, mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada peramal, dan terutama di akhir Kerajaan Baru jawaban mereka dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa hukum atau menginformasikan keputusan kerajaan.[79] Cara paling umum untuk berkonsultasi dengan peramal adalah mengajukan pertanyaan ke patung dewa ketika sedang dibawa dalam prosesi festival, dan menafsirkan jawaban dari gerakan barque. Metode lain termasuk menafsirkan perilaku hewan suci, lukisan, atau patung-patung. Cara memahami kehendak dewa tersebut, memberikan pengaruh besar bagi para pendeta yang berbicara dan menafsirkan pesan-pesan dewa.[80]

Agama populer

Jika pemujaan resmi kerajaan dimaksudkan untuk menjaga stabilitas dunia bangsa Mesir, masyarakat awam memiliki praktik keagamaan tersendiri yang berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari mereka.[81] Agama populer ini meninggalkan sedikit bukti dibanding pemujaan resmi, sehingga tidak dapat dipastikan sejauh mana hal itu mencerminkan praktik masyarakat secara keseluruhan karena bukti-bukti ini sebagian besar dihasilkan oleh bagian penduduk Mesir yang kaya saja.[82]

Praktik keagamaan populer termasuk upacara dalam menandai transisi penting dalam kehidupan. Ini termasuk kelahiran, sebab bahaya yang dapat terjadi dalam prosesnya, serta upacara penamaan, karena nama dianggap sebagai bagian penting dari identitas seseorang. Yang paling penting dari upacara-upacara ini adalah upacara seputar kematian, yang mana tujuannya untuk memastikan kelangsungan jiwa seseorang setelah kematian.[83] Praktik keagamaan lainnya antara lain seperti upaya dalam memahami kehendak para dewa atau mencari pengetahuan mereka. Praktik-praktik tersebut termasuk penafsiran mimpi yang dianggap sebagai pesan dari alam suci, dan konsultasi peramalan. Masyarakat juga berupaya dalam mempengaruhi tingkah laku para dewa untuk kepentingan mereka sendiri melalui ritual magis (sihir).[84]

Penduduk Mesir juga berdoa kepada dewa dan memberi persembahan secara pribadi. Bukti ketaatan pribadi semacam ini jarang terjadi sebelum Kerajaan Baru. Hal ini merupakan akibat dari pembatasan budaya dalam penggambaran aktivitas keagamaan oleh non kerajaan. Ketaatan pribadi menjadi lebih menonjol di akhir Kerajaan Baru, ketika para dewa dipercaya memiliki andil secara langsung dalam kehidupan seseorang; seperti menghukum orang-orang yang melakukan kesalahan dan menyelamatkan orang yang taat dari marabahaya.[55] Kuil-kuil resmi adalah tempat-tempat penting untuk berdoa dan persembahan pribadi, meskipun kegiatan utama mereka tertutup bagi orang awam. Orang Mesir biasa menyumbangkan barang-barang untuk dipersembahkan di kuil dewa dan benda-benda yang bertuliskan doa untuk ditempatkan di ruang pengadilan kuil. Seringkali mereka berdoa secara pribadi di depan arca kuil atau di kuil yang disiapkan untuk penggunaan tersebut.[82] Namun, selain kuil, penduduk juga menggunakan kapel lokal yang terpisah; dengan ukuran yang lebih kecil tetapi lebih mudah diakses daripada kuil-kuil resmi. Kapel-kapel ini sangat banyak, dan mungkin dikelola oleh anggota masyarakat.[85] Rumah tangga juga biasa memiliki kuil kecil sendiri untuk dipersembahkan kepada dewa atau keluarga yang sudah meninggal.[86]

Para dewa yang dipuja dalam situasi semacam ini agak berbeda dari mereka yang berada di pusat pemujaan negara. Banyak dewa populer yang penting, seperti dewi kesuburan Taweret dan pelindung rumah tangga Bes, yang tidak memiliki kuil sendiri. Namun, banyak dewa lainnya termasuk Amun dan Osiris, yang sangat penting dalam agama populer maupun resmi.[87] Beberapa individu mungkin mengkhususkan diri pada satu dewa. Seringkali mereka menyukai dewa yang berafiliasi dengan wilayah mereka sendiri, atau dengan peran mereka dalam kehidupan. Dewa Ptah, misalnya, sangat penting di pusat pemujaannya di Memphis. Namun, sebagai dewa pelindung pengrajin, ia menerima pemujaan di seluruh negeri dalam perannya tersebut.[88]

Sihir

Kata "sihir" (magic) dapat digunakan untuk menerjemahkan istilah Mesir heka, yang maknanya seperti James P. Allen katakan, "kemampuan untuk membuat sesuatu terjadi dengan cara tidak langsung".[89] Heka diyakini sebagai fenomena alam, kekuatan yang digunakan untuk menciptakan alam semesta serta digunakan para dewa untuk bekerja sesuai kemauan mereka. Manusia juga bisa menggunakannya, dan praktik-praktik magis terkait erat dengan agama. Bahkan ritual biasa yang dilakukan di kuil juga dianggap sebagai sihir.[90] Teknik magis juga sering digunakan secara personal untuk tujuan pribadi. Meskipun hal ini bisa berbahaya bagi orang lain, namun tidak ada bentuk sihir yang diduga mengandung bahaya di dalamnya. Sebaliknya, sihir dianggap sebagai jalan bagi manusia untuk mencegah atau mengatasi peristiwa-peristiwa negatif.[91]

Jimat dalam bentuk Mata Horus, simbol magis yang umum

Sihir erat kaitannya dengan kependetaan. Karena di perpustakaan kuil terdapat banyak teks magis, pengetahuan magis yang luar biasa diberikan kepada lektor pendeta yang mempelajari teks-teks tersebut. Para pendeta ini biasa bekerja di luar kuil mereka, menyewakan jasa magis untuk orang awam. Profesi lain juga biasa menggunakan sihir sebagai bagian dari pekerjaan mereka, termasuk dokter, pawang kalajengking, dan pembuat jimat magis. Kemungkinan besar bahwa kaum tani juga menggunakan sihir sederhana demi tujuan mereka. Namun, karena pengetahuan magis ini diwariskan secara lisan, keberadaan bukti tentang hal ini terbatas.[92]

Bahasa terkait erat dengan heka sedemikian rupa, sehingga Thoth, dewa penulisan, kadang-kadang dikatakan sebagai pencipta heka.[93] Oleh karena itu, sihir sering melibatkan mantra tertulis atau lisan, meskipun biasanya disertai juga dengan aktivitas-aktivitas ritual. Seringkali ritual ini menggunakan kekuatan dewa yang sesuai untuk melakukan aksi yang diinginkan, memanfaatkan kekuatan heka untuk memaksa mereka bertindak. Kadang-kadang ritual ini mengharuskan para praktisi atau subjek ritual untuk berperan sebagai karakter dalam mitologi, sehingga mendorong dewa untuk bertindak terhadap orang tersebut seperti yang ada dalam mitos. Ritual juga menggunakan "sihir simpatik", menggunakan objek yang diyakini memiliki kemiripan yang sangat signifikan dengan subjek ritual. Bangsa Mesir juga biasa menggunakan benda-benda yang diyakini mengandung heka-nya sendiri, seperti jimat pelindung magis yang banyak dipakai oleh rakyat Mesir biasa.[94]

Praktik pemakaman

Karena dianggap perlu demi keabadian jiwa, pelestarian jenazah adalah bagian sentral dari praktik-praktik pemakaman Mesir. Awalnya bangsa Mesir mengubur jasad orang yang meninggal di gurun pasir, dengan kondisinya yang gersang mampu memumikan jasad tersebut secara alami. Namun, pada Periode Dinasti Awal, mereka mulai menggunakan makam demi perlindungan, sehingga jasad terisolasi dari pengaruh kekeringan pasir dan bergantung pada pembusukan alami. Maka bangsa Mesir mengembangkan praktik pembalseman yang cukup rumit, yaitu jasad seseorang secara artifisial dikeringkan dan dibungkus kemudian diletakkan dalam peti mati.[95] Kualitas proses pembalsemaan beragam tergantung biaya. Bagi yang tidak mampu mendanai pembalseman, mereka masih melakukan penguburan di gurun.[96]

Upacara Opening of the Mouth yang dilakukan sebelum pemakaman

Setelah proses mumifikasi selesai, mumi diangkut dari rumahnya menuju makam untuk prosesi pemakaman yang dihadiri teman dan kerabatnya, bersama dengan para pendeta. Sebelum pemakaman, para pendeta ini melakukan beberapa ritual, termasuk "Upacara Pembukaan Mulut" (Opening of the Mouth) yang dimaksudkan untuk mengembalikan indra mendiang dan memberinya kemampuan untuk menerima persembahan. Kemudian mumi tersebut akan dikubur dan makamnya disegel.[97] Setelah itu, para kerabat atau pendeta memberi persembahan makanan kepada mendiang di kapel kamar jenazah secara berkala. Seiring waktu, keluarga akan mengabaikan persembahan untuk kerabat yang sudah lama meninggal, sehingga kebanyakan pemujaan tersebut hanya berlangsung satu atau dua generasi saja.[98] Namun, jika pemujaan masih berlangsung, orang yang hidup terkadang menulis surat yang isinya meminta bantuan pada kerabat yang meninggal, dengan keyakinan bahwa orang yang meninggal dapat mempengaruhi dunia orang hidup seperti yang dilakukan para dewa.[99]

Makam orang Mesir pertama disebut mastaba, berupa struktur bata persegi panjang sebagai tempat para raja dan bangsawan dimakamkan. Masing-masing berisi ruang pemakaman bawah tanah dan kapel terpisah di atas tanah untuk ritual pemakaman. Di Kerajaan Lama, mastaba berkembang menjadi piramida, yang melambangkan gundukan purba mitos Mesir. Piramida dibangun untuk para bangsawan, disertai dengan kuil-kuil besar di pusatnya. Firaun Kerajaan Pertengahan terus membangun piramida, sehingga popularitas mastaba berangsur memudar. Semakin banyak rakyat biasa dengan sarana yang memadai dikuburkan di pemakaman batu yang dilengkapi kapel-kapel di dekatnya, suatu pendekatan yang ampuh untuk menangkal perampokan makam. Pada awal Kerajaan Baru, bahkan para firaun dikuburkan di makam jenis ini, dan terus berlangsung hingga kemerosotan agama itu sendiri.[100]

Makam bisa berisi berbagai macam barang lainnya, termasuk patung mendiang untuk dijadikan sebagai pengganti jasad seandainya rusak.[101] Karena diyakini bahwa mendiang harus melakukan pekerjaan di alam baka, seperti dalam kehidupan di dunia, pemakaman sering kali memuat model-model kecil manusia yang melakukan pekerjaan di tempat mendiang.[102] Makam orang-orang kaya juga bisa berisi perabotan, pakaian, dan benda sehari-hari lainnya yang dimaksudkan untuk digunakan di alam baka, bersama dengan jimat dan barang-barang lain sebagai perlindungan magis terhadap marabahaya di dunia arwah.[103] Perlindungan lebih lanjut diberikan oleh teks-teks pemakaman. Dinding makam juga memuat karya seni, termasuk lukisan makanan orang yang telah meninggal yang secara magis diyakini memungkinkan mendiang menerima rezeki bahkan setelah persembahannya berhenti dilakukan.[104]

Sejarah

Narmer, seorang penguasa pra-dinasti, ditemani oleh orang-orang yang membawa panji-panji berbagai dewa lokal

Periode Pradinasti dan Dinasti Awal

Agama Mesir diperkirakan berawal sejak masa prasejarah, berdasarkan bukti yang hanya berasal dari catatan arkeologi langka dan ambigu. Pemakaman yang teliti selama Periode Pradinasti menyiratkan bahwa orang-orang pada masa ini percaya pada beberapa bentuk kehidupan setelah kematian. Pada saat yang sama, hewan-hewan dikuburkan secara ritual, sebuah praktik yang mungkin mencerminkan perkembangan dewa zoomorphism (penggambaran dewa dalam bentuk hewan) seperti yang ditemukan dalam agama sesudahnya.[105] Terdapat bukti yang samar mengenai dewa-dewa dalam wujud manusia, dan jenis dewa ini mungkin kemunculannya lebih lambat dibanding dalam wujud hewan. Setiap daerah di Mesir awalnya memiliki dewa pelindungnya sendiri, tetapi karena komunitas-komunitas kecil ini saling menaklukkan atau menyerap satu sama lain, dewa dari wilayah yang kalah dimasukkan ke dalam mitologi dewa lain atau diserap keseluruhannya. Hal ini menghasilkan panteon yang kompleks, yaitu beberapa dewa tetap penting hanya secara lokal, sedangkan yang lain mengembangkan makna yang lebih universal.[106] Seiring perubahan waktu dan pergeseran kerajaan seperti kerajaan pertengahan, kerajaan baru, dan kerajaan lama, biasanya agama yang mengikutinya tetap di dalam batas-batas wilayah tersebut.

Periode Dinasti Awal dimulai dengan penyatuan Mesir sekitar 3000 SM. Peristiwa ini mengubah agama Mesir, karena beberapa dewa menjadi kepentingan nasional dan pemujaan firaun yang agung menjadi fokus utama kegiatan keagamaan.[107] Horus diidentifikasi sebagai raja, dan pusat pemujaannya di ibukota Mesir Hulu, Nekhen. Nekhen adalah salah satu situs keagamaan paling penting pada masa itu. Pusat penting lainnya adalah Abydos, tempat para penguasa awal membangun kompleks pemakaman yang cukup megah.[108]

Kerajaan Lama dan Pertengahan

Selama Kerajaan Lama, para pendeta dewa-dewa besar berusaha untuk mengatur panteon nasional yang rumit menjadi kelompok-kelompok yang terkait dengan mitologi mereka serta peribadatan di kuil, seperti Ennead dari Heliopolis yang menghubungkan dewa-dewa penting seperti Atum, Ra, Osiris, dan Set dalam satu mitos penciptaan.[109] Sementara itu, piramida, disertai dengan kompleks kuil kamar jenazah yang besar, menggantikan mastaba sebagai makam firaun. Berbeda dengan ukuran kompleks piramida yang besar, kuil-kuil untuk dewa tetap relatif kecil, menunjukkan bahwa agama resmi pada periode ini lebih menekankan pemujaan raja agung daripada pemujaan dewa-dewa secara langsung. Ritual penguburan dan arsitektur periode ini sangat mempengaruhi kuil-kuil dan ritual rumit yang digunakan dalam pemujaan para dewa pada periode berikutnya.[110]

Kompleks piramida di Djedkare Isesi

Di awal Kerajaan Lama, Ra semakin berpengaruh, dan pusat pemujaannya di Heliopolis menjadi situs agama paling penting di negara ini.[111] Pada Dinasti Kelima, Ra adalah dewa yang paling menonjol di Mesir. Terbangunnya kaitan yang erat antara Ra dengan kerajaan dan alam baka, menjadikan hal ini bertahan selama sisa sejarah Mesir.[112] Pada masa yang sama, Osiris menjadi dewa alam baka yang penting. Teks Piramida pertama kali ditulis pada masa ini, mencerminkan keunggulan konsep matahari dan Osirian tentang alam baka, meskipun mereka juga mengandung sisa-sisa tradisi yang jauh lebih tua.[113] Teks-teks tersebut merupakan sumber yang sangat penting untuk memahami teologi Mesir kuno.[114]

Pada abad ke-22 SM, Kerajaan Lama runtuh dalam kekacauan Periode Menengah Pertama, dengan konsekuensi penting bagi agama Mesir. Para pejabat Kerajaan Lama sudah mulai mengadopsi upacara pemakaman yang awalnya didedikasikan untuk para bangsawan.[115] Tetapi kini, adanya hambatan yang longgar di antara kelas-kelas sosial, bermakna bahwa praktik-praktik ini serta keyakinan-keyakinan yang menyertainya secara bertahap diperluas ke semua penduduk Mesir, yakni sebuah proses yang disebut "demokratisasi alam baka".[116] Pandangan Osirian tentang alam baka memiliki daya tarik terbesar bagi rakyat jelata, sehingga Osiris menjadi salah satu dewa yang paling penting.[117]

Akhirnya para penguasa dari Thebes bersatu kembali dengan bangsa Mesir di Kerajaan Pertengahan (sekitar 2055–1650 SM). Firaun Thebes ini awalnya mempromosikan dewa pelindung Monthu untuk kepentingan nasional, tetapi selama Kerajaan Pertengahan, ia dikalahkan oleh meningkatnya popularitas Amun.[118] Di negara Mesir yang baru ini, ketaatan pribadi tumbuh lebih penting dan dinyatakan lebih bebas dalam sastra, sebuah tren yang kemudian berlanjut di Kerajaan Baru.[119]

Kerajaan Baru

Kerajaan Pertengahan runtuh pada Periode Menengah Kedua (sekitar 1650–1550 SM), tetapi negeri tersebut kembali dipersatukan oleh penguasa Thebes, yang menjadi firaun pertama Kerajaan Baru. Di bawah rezim baru ini, Amun menjadi dewa negara tertinggi. Dia disinkretisasi dengan Ra, pelindung raja yang sudah lama berdiri, dan kuilnya di Karnak menjadi pusat agama Mesir yang paling penting. Ketinggian status Amun sebagian disebabkan karena pentingnya wilayah Thebes, juga karena kependetaan yang semakin profesional. Diskusi teologis mereka yang maju, menghasilkan uraian rinci tentang kekuatan universal Amun.[120]

Hubungan yang meningkat dengan orang luar pada periode ini, menyebabkan adopsi dari banyak dewa Timur Dekat ke dalam jajaran dewa-dewa mereka. Pada saat yang sama, orang-orang Nubia yang ditaklukkan menyerap kepercayaan agama Mesir, dan khususnya mengadopsi Amun sebagai dewa mereka.[121]

Akhenaten dan keluarganya menyembah Aten

Tatanan religius Kerajaan Baru terpecah ketika Akhenaten menyetujui, dan menggantikan Amun dengan Aten sebagai dewa negara. Akhirnya ia menghapuskan ibadah resmi untuk sebagian besar dewa lainnya, serta memindahkan ibu kota Mesir ke kota baru di Amarna. Bagian sejarah Mesir ini kemudian disebut Periode Amarna. Dengan demikian, Akhenaten mengklaim status yang belum pernah terjadi sebelumnya: hanya dia yang bisa memuja Aten, dan rakyatnya menujukan ibadah mereka kepadanya. Sistem Atenistis tidak memiliki mitologi dan keyakinan alam baka yang berkembang dengan baik, dan Aten tampak jauh dan impersonal, sehingga rezim baru tersebut tidak menarik bagi rakyat biasa.[122] Dengan demikian, banyak yang terus menyembah dewa-dewa tradisional secara pribadi. Namun, penarikan dukungan negara terhadap dewa-dewa lain sangat mengganggu masyarakat Mesir.[123] Para penerus Akhenaten kemudian memulihkan sistem agama tradisional, dan akhirnya mereka membongkar semua monumen Atenistis.[124]

Sebelum Periode Amarna, agama populer cenderung mengarah ke hubungan yang lebih pribadi antara jamaah dan dewa-dewa mereka. Perubahan Akhenaten telah membalikkan tren ini, tetapi setelah agama tradisional dipulihkan, ada reaksi balik. Masyarakat mulai percaya bahwa para dewa jauh lebih banyak terlibat secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Amun, dewa tertinggi, dianggap sebagai wasit terakhir dari takdir manusia, penguasa sejati Mesir. Firaun juga lebih bersifat manusiawi dan keagungannya memudar. Pentingnya peramal sebagai instrumen pengambilan keputusan semakin meningkat, begitu pula kekayaan dan pengaruh para penutur nubuat, kependetaan. Tren ini merusak struktur tradisional masyarakat dan berkontribusi pada runtuhnya Kerajaan Baru.[125]

Periode berikutnya

Pada milenium ke-1 SM, Mesir menjadi lebih lemah daripada di masa sebelumnya, dan dalam beberapa periode bangsa asing mengambil alih negeri tersebut serta mencaplok posisi firaun. Pentingnya status firaun terus memudar, dan penekanan pada ketaatan populer terus meningkat. Pemujaan hewan yang merupakan bentuk ibadah khas Mesir semakin populer di periode ini, sebagai respon terhadap ketidakpastian dan pengaruh asing di masa tersebut.[126] Isis lebih populer sebagai dewi perlindungan, sihir, dan keselamatan pribadi, dan menjadi dewi paling penting di Mesir.[127]

Serapis

Pada abad ke-4 SM, Mesir menjadi kerajaan Helenistik di bawah Dinasti Ptolemaik (305–30 SM), yang mengambil alih peran firaun, dalam mempertahankan agama tradisional dan membangun atau memperbarui kuil-kuil. Golongan penguasa kerajaan Yunani mengidentifikasi dewa-dewa Mesir dengan milik mereka sendiri.[128] Dari sinkretisme lintas budaya ini muncul Serapis, dewa yang menggabungkan Osiris dan Apis dengan karakteristik dewa Yunani, yang menjadi sangat populer di kalangan penduduk Yunani. Namun demikian, kebanyakan dua sistem kepercayaan tersebut tetap terpisah, dan dewa-dewa Mesir tetap di Mesir.[129]

Kepercayaan era Ptolemeus sedikit berubah setelah Mesir menjadi provinsi Kekaisaran Romawi pada 30 SM, dengan raja-raja Ptolemeus digantikan oleh kaisar-kaisar nun jauh.[128] Pemujaan Isis bahkan menarik bagi orang-orang Yunani dan Romawi di luar Mesir, dan dalam bentuk Helenisasi menyebar ke seluruh kekaisaran.[130] Di Mesir sendiri, ketika kekaisaran mulai melemah, kuil-kuil resmi runtuh dan porak poranda. Tanpa adanya pengaruh yang terpusat, praktik keagamaan menjadi terpecah-pecah dan terlokalisasi. Sementara itu, agama Kristen tersebar di seluruh Mesir, dan pada abad ketiga dan keempat Masehi, dekrit kaisar Kristen dan gerakan ikonoklasme penduduk Kristen lokal mengikis kepercayaan tradisional. Walaupun mampu bertahan di kalangan penduduk untuk beberapa lama, agama Mesir perlahan-lahan memudar.[131]

Altar untuk Thoth dari pengikut Kemetik.

Peninggalan

Agama Mesir menciptakan kuil-kuil dan makam-makam yang menjadi memorial Mesir kuno paling abadi, tetapi juga mempengaruhi kebudayaan lain. Pada zaman firaun, banyak simbol-simbol seperti sfinks dan Matahari Bersayap yang diadopsi oleh budaya lain di seluruh Mediterania dan Timur Dekat, juga beberapa dewa-dewa mereka, seperti Bes. Beberapa koneksi ini sulit dilacak. Konsep Elysium Yunani mungkin berasal dari pandangan Mesir tentang alam baka.[132] Pada akhir zaman dahulu, konsep Neraka agama Kristen kemungkinan besar dipengaruhi oleh beberapa tamsil dalam Duat. Cerita Injil mengenai Yesus dan Maria mungkin telah dipengaruhi oleh Isis dan Osiris.[133] Keyakinan Mesir juga mempengaruhi atau memunculkan beberapa sistem kepercayaan esoterik yang dikembangkan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, yang menganggap Mesir sebagai sumber kebijaksanaan mistik. Hermetisisme, misalnya, berasal dari tradisi pengetahuan sihir rahasia yang terkait dengan Thoth.[134]

Zaman modern

Jejak keyakinan kuno tetap ada dalam tradisi rakyat Mesir hingga zaman modern, tetapi pengaruhnya pada masyarakat modern meningkat dengan invasi Prancis di Mesir pada tahun 1798 serta penglihatan mereka pada monumen-monumen dan gambaran-gambaran. Sebagai akibatnya, orang Barat mulai mempelajari kepercayaan Mesir secara langsung, dan motif agama Mesir diadopsi dalam kesenian Barat.[135] Agama Mesir sejak itu memiliki pengaruh dalam kebudayaan populer. Karena minat yang terus berlanjut pada kepercayaan Mesir, pada akhir abad ke-20, beberapa kelompok agama baru yang berada di bawah label Kemetisme lahir berdasarkan rekonstruksi yang berbeda dari agama Mesir kuno.[136]

Catatan kaki

  1. ^ Assmann (2001), hlm. 1–5, 80.
  2. ^ Assmann (2001), hlm. 63–64, 82.
  3. ^ a b Allen (2000), hlm. 43–44.
  4. ^ Wilkinson (2003), hlm. 30, 32, 89.
  5. ^ Silverman, David P (1991), Divinity and Deities in Ancient Egypt , dalam Shafer (1991), hlm. 55–58.
  6. ^ David (2002), hlm. 53.
  7. ^ Wilkinson (2003), hlm. 28, 187–89.
  8. ^ Teeter, Emily (2001), Cults: Divine Cults , dalam Redford (2001), hlm. 340–44, vol. I
  9. ^ Wilkinson (2003), hlm. 74–79.
  10. ^ Dunand & Zivie-Coche (2005), hlm. 27–28.
  11. ^ Wilkinson (2003), hlm. 33–35.
  12. ^ Wilkinson (2003), hlm. 36, 67.
  13. ^ Assmann (2001), hlm. 189–92, 241–42.
  14. ^ Wilkinson (2003), hlmn. 36–39; Assmann (2001), hlmn. 10–11.
  15. ^ Montserrat (2000), hlm. 36ff; Najovits (2003), hlmn. 131,44.
  16. ^ Dunand & Zivie-Coche (2005), hlm. 35; Allen (2000), hlm. 198.
  17. ^ Allen (2000), hlm. 115–17.
  18. ^ Assmann (2001), hlmn. 4–5; Shafer (1997), hlmn. 2–4.
  19. ^ Assmann (2001), hlmn. 68–79; Allen (2000), hlmn. 104, 127.
  20. ^ Shafer (1991), hlmn. 117–21; Dunand & Zivie-Coche (2005), hlmn. 45–46.
  21. ^ Allen, James P, The Cosmology of the Pyramid Texts , dalam Simpson (1989), hlm. 20–26
  22. ^ Allen (2000), hlm. 31.
  23. ^ Wilkinson (2003), hlm. 54–56.
  24. ^ Assmann (2001), hlm. 5–6.
  25. ^ Wilkinson (2003), hlm. 55; Shaw (2000), hlmn. 311–12.
  26. ^ David (2002), hlm. 69, 95, 184.
  27. ^ Wilkinson (2003), hlm. 60–63.
  28. ^ Shafer (1997), hlm. 2–4.
  29. ^ Nurlidiawati (2015), hlm. 91-92.
  30. ^ Allen (2000), hlm. 79–80.
  31. ^ Allen (2000), hlm. 94–95.
  32. ^ Taylor (2001), hlm. 25.
  33. ^ David (2002), hlm. 90, 94–95.
  34. ^ Fleming & Lothian (1997), hlm. 104; Nurlidiawati (2015), hlm. 91.
  35. ^ Nurlidiawati (2015), hlm. 91.
  36. ^ David (2002), hlm. 160–61.
  37. ^ Assmann (2005), hlm. 209–10, 398–402.
  38. ^ a b Traunecker (2001), hlm. 1–5.
  39. ^ Wilkinson (2003), hlm. 222–223.
  40. ^ Tobin, Vincent Arieh (2001), Myths: An Overview , dalam Redford (2001), hlm. 464–68, vol. II
  41. ^ Pinch (1995), hlm. 18.
  42. ^ Fleming & Lothian (1997), hlm. 26.
  43. ^ Allen (2000), hlm. 143–45, 171–73, 182.
  44. ^ a b Shafer (1997), hlm. 2-4.
  45. ^ Assmann (2001), hlm. 124.
  46. ^ Fleming & Lothian (1997), hlm. 76, 78.
  47. ^ Quirke & Spencer (1992), hlm. 67.
  48. ^ Fleming & Lothian (1997), hlm. 84, 107–108.
  49. ^ Fleming & Lothian (1997), hlm. 33, 38–39.
  50. ^ Dunand & Zivie-Coche (2005), hlm. 93–99.
  51. ^ Pinch (1995), hlm. 63.
  52. ^ a b Foster, John L., Lyric , dalam Redford (2001), hlm. 312–17, vol. II.
  53. ^ Dunand & Zivie-Coche (2005), hlm. 94.
  54. ^ Assmann (2001), hlm. 166.
  55. ^ a b Ockinga, Boyo, Piety , dalam Redford (2001), hlm. 44–46, vol. III.
  56. ^ Allen (2000), hlm. 315.
  57. ^ Hornung (1999), hlm. 1–5.
  58. ^ David (2002), hlm. 93.
  59. ^ Taylor (2001), hlm. 194–95.
  60. ^ Hornung (1999), hlm. xvii, 14.
  61. ^ Quirke & Spencer (1992), hlm. 98.
  62. ^ Allen (2000), hlm. 316–17.
  63. ^ Hornung (1999), hlm. 26–27, 30.
  64. ^ Wilkinson (2003), hlm. 42–44.
  65. ^ Wilkinson (2000), hlm. 8–9, 50.
  66. ^ Wilkinson (2000), hlm. 82.
  67. ^ Dunand & Zivie-Coche (2005), hlm. 72–82, 86–89.
  68. ^ Wilkinson (2000), hlm. 72–75.
  69. ^ Shafer (1997), hlm. 9.
  70. ^ Wilkinson (2000), hlm. 9, 25–26.
  71. ^ Wilkinson (2000), hlm. 92–93.
  72. ^ a b Thompson, Stephen E., Cults: Overview , dalam Redford (2001), hlm. 326–332
  73. ^ a b Wilkinson (2000), hlm. 95.
  74. ^ Dunand & Zivie-Coche (2005), hlmn. 93–95; Shafer (1997), hlm. 25.
  75. ^ Shafer (1997), hlm. 27–28.
  76. ^ a b Nurlidiawati (2015), hlm. 90.
  77. ^ a b Dunand & Zivie-Coche (2005), hlm. 21, 83.
  78. ^ Quirke & Spencer (1992), hlmn. 78, 92–94; Owen (2004).
  79. ^ Kruchten, Jean-Marie, Oracles , dalam Redford (2001), hlm. 609–611
  80. ^ Frankfurter (1998), hlm. 145–152.
  81. ^ Sadek (1988), hlm. 1–2.
  82. ^ a b Wilkinson (2003), hlm. 46.
  83. ^ Dunand & Zivie-Coche (2005), hlm. 128–131.
  84. ^ Baines, dalam Shafer (1991), hlm. 164–171
  85. ^ Lesko, Barbara S., Cults: Private Cults , dalam Redford (2001), hlm. 336–339
  86. ^ Sadek (1988), hlm. 76–78.
  87. ^ David (2002), hlm. 273, 276–277.
  88. ^ Traunecker (2001), hlm. 98.
  89. ^ Allen (2000), hlm. 156–157.
  90. ^ Pinch 1995, hlm. 9–17.
  91. ^ Baines, dalam Shafer (1991), hlm. 165.
  92. ^ Pinch (1995), hlm. 51–63.
  93. ^ Pinch (1995), hlm. 16, 28.
  94. ^ Pinch (1995), hlm. 73–78.
  95. ^ Quirke & Spencer (1992), hlm. 86–90.
  96. ^ David 2002, hlm. 300–1.
  97. ^ Taylor (2001), hlm. 187–93.
  98. ^ Taylor (2001), hlm. 95.
  99. ^ David (2002), hlm. 282.
  100. ^ Taylor (2001), hlm. 141–55.
  101. ^ Fleming & Lothian (1997), hlm. 100–1.
  102. ^ Taylor (2001), hlm. 99–103.
  103. ^ Taylor (2001), hlm. 107–10, 200–13.
  104. ^ Quirke & Spencer (1992), hlm. 97–98, 112.
  105. ^ Wilkinson (2003), hlm. 12–15.
  106. ^ Wilkinson (2003), hlm. 31; David (2002), hlmn. 50–52.
  107. ^ Wilkinson (2003), hlm. 15.
  108. ^ Wilkinson (2000), hlm. 17–19.
  109. ^ David (2002), hlm. 51, 81–85.
  110. ^ Dunand & Zivie-Coche (2005), hlm. 78–79.
  111. ^ Malek, Jaromir, The Old Kingdom , dalam Shaw (2000), hlm. 92–93, 108–9.
  112. ^ David (2002), hlm. 90–91, 112.
  113. ^ Malek, Jaromir, The Old Kingdom , dalam Shaw (2000), hlm. 113.
  114. ^ David (2002), hlm. 92.
  115. ^ Assmann (2005), hlm. 389–91.
  116. ^ Seidlmayer, Stephen, The First Intermediate Period , dalam Shaw 2000, hlm. 124.
  117. ^ David (2002), hlm. 154–56.
  118. ^ David (2002), hlm. 154.
  119. ^ Callender, Gae, The Middle Kingdom , dalam Shaw (2000), hlm. 180–81.
  120. ^ David (2002); Assmann (2001).
  121. ^ David (2002), hlm. 276, 304.
  122. ^ David (2002), hlm. 215–18, 238.
  123. ^ Van Dijk, The Amarna Period and the Later New Kingdom (c.1352-1069BC) , dalam Shaw (2000), hlm. 287, 311
  124. ^ David (2002), hlm. 238–39.
  125. ^ Van Dijk, The Amarna Period and the Later New Kingdom (c.1352-1069BC) , dalam Shaw (2000), hlm. 289, 310–12; Simpson (1989), hlm. 72–79
  126. ^ David (2002), hlm. 312–17.
  127. ^ Wilkinson (2003), hlm. 51, 146–49.
  128. ^ a b Peacock, David, The Roman Period , dalam Shaw (2000), hlm. 437–38
  129. ^ David (2002), hlm. 325–28.
  130. ^ David (2002), hlm. 326.
  131. ^ Frankfurter (1998), hlm. 23–30.
  132. ^ Assmann (2001), hlm. 392.
  133. ^ Strong & Strong (2008), hlm. 5.
  134. ^ Hornung (2001), hlm. 1, 9–11, 73–75.
  135. ^ Hornung (2001), hlm. 75; Fleming & Lothian (1997), hlmn. 133–36.
  136. ^ Melton (2009), hlm. 841, 847, 851, 855.

Daftar pustaka

Bacaan lanjut

  • Clarysse, Willy; Schoors, Antoon; Willems, Harco; Quaegebeur, Jan (1998), Egyptian Religion: The Last Thousand Years: Studies Dedicated to the Memory of Jan Quaegebeur, Peeters, ISBN 90-429-0669-3 .
  • Harris, Geraldine; Sibbick, John; O'Connor, David (1992), Gods and Pharaohs from Egyptian Mythology, Bedrick, ISBN 0-87226-907-8 .
  • Hart, George (1997), Egyptian Myths, Legendary Past, University of Texas Press, ISBN 0-292-72076-9 .
  • Hill, Marsha (2007). Gifts for the gods: images from Egyptian temples. New York: The Metropolitan Museum of Art. ISBN 9781588392312. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-11-19. Diakses tanggal 2018-07-14. 
  • Bilolo, Mubabinge (2004) [Kinshasa-Munich 1987], Les cosmo-théologies philosophiques d'Héliopolis et d'Hermopolis. Essai de thématisation et de systématisation, Academy of African Thought (dalam bahasa French), 2, Munich-Paris, sec I .
  • ——— (2003) [Kinshasa-Munich, 1986], Les cosmo-théologies philosophiques de l’Égypte Antique. Problématique, prémisses herméneutiques et problèmes majeurs, Academy of African Thought (dalam bahasa French), 1, Munich-Paris, sec I .
  • ——— (2003) [Kinshasa-Munich 1995], Métaphysique Pharaonique IIIème millénaire av. J.-C., Academy of African Thought (dalam bahasa French), 4, Munich-Paris: C.A. Diop-Center for Egyptological Studies-INADEP, sec I .
  • ——— (2004) [Kinshasa-Munich 1988], Le Créateur et la Création dans la pensée memphite et amarnienne. Approche synoptique du Document Philosophique de Memphis et du Grand Hymne Théologique d'Echnaton, Academy of African Thought (dalam bahasa French), 2, Munich-Paris, sec I .
  • Pinch, Geraldine (2004), Egyptian Mythology: A Guide to the Gods, Goddesses, and Traditions of ancient Egypt, Oxford University Press, ISBN 0-19-517024-5 .
  • Schulz, R; Seidel, M (1998), Egypt: The World of the Pharaohs, Cologne: Könemann, ISBN 3-89508-913-3 .

Pranala luar