Fisiologi dirgantara

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Aerofisiologi)


Aerofisiologi adalah ilmu tentang kesehatan tubuh ketika berada dalam penerbangan atau dalam misi penjelajahan ruang angkasa.[1]

Penjelasan Awal[sunting | sunting sumber]

Manusia berevolusi untuk hidup di darat dan semua organ tubuh dapat bekerja dan berfungsi dengan baik dalam kondisi lingkungan darat yang mengelilinginya. Akan tetapi manusia sejak zaman dahulu ingin terbang seperti burung dan akhirnya berhasil terbang dengan balon pada abad ke-18.

Sejak abad tersebut dunia penerbangan berkembang sangat pesat baik jarak tempuh, kecepatan, ketinggian dan daya angkat maupun kegiatannya. Keberhasilan ini telah dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia, namun bukannya tanpa risiko karena manusia memang tidak terbiasa tinggal di ketinggian.

Untuk menghadapi hal tersebut maka Ilmu Kesehatan harus mengembangkan diri untuk mempelajari bahaya-bahaya penerbangan bagi tubuh manusia dan cara-cara pe- nanggulangannya. Maka lahirlah Ilmu Kesehatan Penerbangan sebagai salah satu cabang Ilmu Kesehatan, yang dilandasi oleh Fisiologi Penerbangan atau Aerofisiologi.

Faktor-faktor ketinggian yang mempengaruhi faal tubuh manusia adalah menurun- nya tekanan udara, tekanan parsiil oksigen, suhu udara dan gaya berat dan lain-lain. Di samping itu manouvre penerbangan dapat mengganggu faal tubuh seperti faal sistem kardio-vaskuler, sistem pernapasan, penglihatan, keseimbangan, pendengaran dan lain- lain.

Karena itu mempelajari aspek aerofisiologi dalam penerbangan adalah penting agar kita dapat mencegah dan mengatasi pengaruh buruk penerbangan. Dengan demikian kita dapat memanfaatkan udara bagi penerbangan dengan selamat, nyaman, aman dan cepat.

Manusia diciptakan Tuhan untuk hidup di darat. Sebagai makhluk daratan manusia telah terbiasa dan menyesuaikan diri untuk hidup di lingkungan daratan atau pada , atmosfer yang paling rendah. Namun sejak zaman dahulu manusia ingin terbang seperti burung, suatu hal di luar kebiasaannya. Setelah melalui Makalah ini telah dibacakan pada: Seminar Kesehatan Penerbangan, Surakarta 30 Oktober 1993.

perjuangan tanpa kenal lelah dan gigih akhirnyapada abad ke-18 manusia dapat terbang dengan balon, diikuti dengan keberha- silan terbang dengan pesawat terbang. Bahkan sekarang manusia telah berhasil mengarungi ruang angkasa luar. Dewasa ini banyak orang-orang yang memilih profesinya dalam penerbangan, yang berbeda dengan kebiasaan hidupnya di darat. Hal ini tentu saja akan membawa konsekuensi atau risiko- background image risiko yang harus dihadapinya.

Namun merekapun menginginkan keamanan dalam menjalankan tugasnya ini, se- hingga Ilmu Kesehatan harus membuka cabangnya untuk mem- pelajari bahaya-bahaya penerbangan. Hal ini menyebabkan lahirnya Ilmu Kesehatan Penerbangan, yang dilandasi oleh Fisiologi Penerbangan atau Aerofisiologi. Ilmu Kesehatan Penerbangan atau Aviation Medicine akhir- akhir ini berkembang menjadi Ilnpu Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa atau Aerospace Medicine, karena perkembang- an teknologi penerbangan yang memungkinkan menerbangkan orang ke ruang angkasa.

Sejarah Aerofisiologi[sunting | sunting sumber]

Pada abad ke 13 dua saudara Montgolfier berhasil membuat balon yang dapat terbang dengan membawa muatan. Balon yang pertama ini diterbangkan di Versaille, Prancis, tanggal 19 Sep- tember 1963 dengan muatan ayam, bebek dan kambing dan dapat mencapai ketinggian 1.500 kaki. Sebulan kemudian diadakan penerbangan balon lagi yang membawa penumpang manusia, yaitu Pilatre de Rozier, seorang apoteker, dan Marquis di Arlan- des. Percobaan ini berhasil dengan selamat. Pada tanggal 23 November 1784, seorang dokter Amerika John Jeffries tertarik akan penerbangan dan ingin mengetahui susunan dan sifat atmosfer bagian atas. Ia melakukan penerbang- an dengan balon, dengan membawa termometer, hydrometer, barometer dan elektrometer, sampai ketinggian 9.250 kaki. Da- lam penerbangan ini ia mencatat adanya perubahan suhu di ke- tinggian dari + 51 °F menjadi 28,5 °F,, sedangkan tekanan udara menurun dari 30 inci Hg menjadi 21,25 inci Hg. Pada tahun 1862, Claisher dan Coxwell terbang dengan balon sampai setinggi 29.000 kaki dengan tujuan yang sama. Di samping itu mereka melakukan observasi pada dirinya sendiri. untuk mengetahui perubahan-perubahan apa yang akan terjadi pada ketinggian. Selama terbang, Clasher mengalami gejala- gejala aneh pada tubuhnya, yaitu tajam penglihatan dan pen- dengaran menurun, kedua belah anggota badan menjadi lumpuh dan akhirnya jatuh pingsan. Coxwell juga mengalami kejadian yang serupa, hanya sebelum pingsan berusaha menarik tali peng- ikat katup balon guna menurunkan balonnya. Usaha ini hampir gaga!, karena kedua tangannya tidak dapat digerakkan lagi, se- hingga dia menarik tali tadi dengan menggigitnya. Dari peng- alaman kedua orang ini dapat diambil kesimpulan bahwa terbang tinggi dapat membahayakan jiwa manusia. Paul Bert, seorang ahli ilmu faal Prancis, sangat tertarik dengan kejadian tadi dan pada tahun 1874 mengadakan per- cobaan dengan menggunakan kabin bertekanan rendah untuk melihat perubahan apa yang dapat terjadi pada ketinggian atau tempat yang tekanan udaranya kecil. Dari salah satu basil per- cobaan-percobaannya didapatkan adanya hipoksia atau keku- rangan oksigen pada ketinggian yang dapat diatasi dengan pem- berian oksigen pada penerbangan. Hasil penelitian Paul Bert ini dipraktikkan oleh Sivel dan Groce Spinelli, yang terbang sampai 18.000 kaki dengan menggunakan kantong oksigen tanpa meng- alami gangguan. Pada tahun 1875, Sivel dan Groce-Spinelli melakukan pe- nerbangan lagi bersama Tissander, yang juga menggunakan kan- tong oksigen dengan kadar 72%. Penerbangan mereka ini men- capai ketinggian 28.000 kaki dan berakhir dengan kematian Sivel dan Groce-Spinelli karena hipoksia sedang Tissander hanya pingsan saja. Tissander membuat catatan yang sangat lengkap tentang perubahan-perubahan yang terjadi dalam penerbangan ini. Dari catatan ini dapat disimpulkan bahwa ada gejala euphoria sebelum hipoksia dan oksigen tidak mencukupi untuk pener- bangan tinggi. Dengan munculnya pesawat terbang, bertambahlah kesu- karan dan bahaya penerbangan yang dapat mengancam jiwa penerbang. Pada waktu pesawat udara masih sederhana, yang tinggi terbangnya belum besar dan kecepatannya masih rendah, telah banyak kecelakaan-kecelakaan yang terjadi; sebagian besar ternyata disebabkan oleh kurang mampunya tubuh penerbang menghadapi perubahan-perubahan atau bahaya-bahaya yang timbul pada penerbangan. Hal ini terbukti pada penelitian-pene- litian yang dilakukan pada perang dunia pertama; kira-kira 90% kecelakaan udara disebabkan karena penerbang tidak atau ku- rang tahan uji terhadap bahaya penerbangan. Sejak Perang Dunia ke I selesai Ilmu Kesehatan Penerbang- an mendapat tempat yang layak dalam dunia kesehatan, sehingga perkembangannya makin pesat. Sedang pada akhir-akhir ini dengan kemajuan teknologi penerbangan, Ilmu, Kesehatan Pe- nerbangan berkembang dan bahkan sekarang telah menjadi Ilmu Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa.

Pengaruh Ketinggian Pada Faal Tubuh[sunting | sunting sumber]

Ada empat perubahan sifat atmosfer pada ketinggian yang dapat merugikan faal tubuh khususnya dan kesehatan pada umumnya, yaitu:

  • Perubahan atau mengecilnya tekanan parsiil oksigen di

udara. Hal ini dapat mengganggu faal tubuh dan menyebabkan hipoksia.

  • Perubahan atau mengecilnya tekanan atmosfer. Hal ini

dapat menyebabkan sindrom dysbarism.

  • Berubahnya suhu atmosfer.
  • Meningkatnya radiasi, baik dari matahari (solar radiation)

maupun dari kosmos lain (cosmic radiation). Dari keempat perubahan ini yang akan dibahas adalah masalah hipoksia dan dysbarism. Masalah pengaruh perubahan suhu hanya dibahas secara umum karena akan lebih banyak dibahas pada masalah survival dan masalah bail out. Sedang masalah radiasi tidak dibahas di sini, karena pengaruhnya pada penerbangan biasa kurang berarti dan hanya penting dibicarakan bila kita membahas masalah penerbangan ruang angkasa.

Jenis Penyakit Yang Ditimbulkan

Hipoksia[sunting | sunting sumber]

Hipoksia adalah keadaan tubuh kekurangan oksigen untuk menjamin keperluan hidupnya. Dengan menipisnya udara pada ketinggian, maka tekanan parsiil oksigen dalam udara menurun atau mengecil. Mengecilnya tekanan parsiil oksigen dalam udara pernapasan akan berakibat terjadinya hipoksia. Sifat-sifat hipoksia:

Tidak terasa datangnya, sehingga orang awam tidak tahu bahwa bahaya hipoksia ini telah menyerangnya.

Tidak memberikan rasa sakit pada seseorang, bahkan sering memberikan rasa gembira (euphoria) pada permulaan serangan- nya, kemudian timbul gejala-gejala lain yang lebih berat sampai pingsan dan bila dibiarkan dapat menyebabkan kematian. Macam hipoksia Menurut sebabnya hipoksia ini dibagi menjadi 4 macam, yaitu:

Hypoxic-Hypoxia[sunting | sunting sumber]

yaitu hipoksia yang terjadi karena me- nurunnya tekanan parsiil oksigen dalam paru-paru atau karena terlalu tebalnya dinding paru-paru. Hypoxic-Hypoxia inilah yang sering dijumpai pada penerbangan, karena seperti makin tinggi terbang makin rendah tekanan barometernya sehingga tekanan parsiil oksigennyapun akan makin kecil.

Anaemic-Hypoxia[sunting | sunting sumber]

yaitu hipoksia yang disebabkan karena berkurangnya hemoglobin dalam darah baik kanena jumlah da- rahnya sendiri yang kurang (perdarahan) maupun karena kadar Hb dalam darah menurun (anemia).

Stagnant-Hypoxia[sunting | sunting sumber]

yaitu hipoksia yang terjadi karena adanya bendungan sistem peredaran darah sehingga aliran darah tidak lancar, maka jumlah oksigen yang diangkut dari paru-paru me- nuju sel persatuan waktu menjadi kurang. Stagnant hipoksia ini sering terjadi pada penderita penyakit jantung.

Histotoxic-Hypoxia[sunting | sunting sumber]

yaitu hipoksia yang terjadi karena ada- nya bahan racun dalam tubuh sehingga mengganggu kelancaran pemapasan dalam. background image

Gejala-gejala hipoksia[sunting | sunting sumber]

Gejala yang timbul pada hipoksia sangat individual, sedang berat ringannya gejala tergantung pada lamanya berada di daerah itu, cepatnya mencapai ketinggian tersebut, kondisi badan orang yang menderitanya dan lain sebagainya. Gejala-gejala ini dapat dikelompokkan dalam dua golongan, yaitu:

  • Gejala-gejala Objektif, meliputi:

Air hunger, yaitu rasa ingin menarik napas panjang terus- menerus

Frekuensi nadi dan pernapasan naik

Gangguan pada cara berpikir dan berkonsentrasi

Gangguan dalam melakukan gerakan koordinatif misalnya memasukkan paku ke dalam lubang yang sempit

Cyanosis, yaitu warna kulit, kuku dan bibir menjadi biru

Lemas

Kejang-kejang h) Pingsan dan sebagainya.

  • Gejala-gejala Subyektif, meliputi:

Malas

Ngantuk

Euphoria yaitu rasa gembira tanpa sebab dan kadang-ka- dang timbul rasa sok jagoan. Rasa ini yang harus mendapat per- hatian yang besar pada awak pesawat, karena euphoria ini banyak membawa korban akibat tidak adanya keseimbangan lagi antara kemampuan yang mulai mundur dan kemauan yang meningkat. Pembagian hipoksia berdasarkan ketinggian Gejala-gejala hipoksia yang timbul ditentukan oleh ke- tinggian tempat orang tersebut berada. Ketinggian ini dapat dibagi menjadi 4 golongan yaitu:

  • The Indifferent Stage, yaitu ketinggian dari sea level sampai

ketinggian 10.000 kaki. Biasanya yang terganggu oleh hipoksia di daerah ini hanya penglihatan malam dengan daya adaptasi gelap terganggu. Pada umumnya gangguan ini sudah mulai nyata pada ketinggian di atas 5.000 kaki; oleh karena itu pada latihan terbang malam para awak pesawat diharuskan memakai oksigen sejak di darat.

  • Compensatory Stage, yaitu ketinggian dari 10.000 sampai

15.000 kaki. Pada daerah ini sistem peredaran darah dan pernapasan telah mengadakan perubahan dengan menaikkan frekuensi nadi dan pernapasan, menaikkan tekanan darah sistolik dan cardiac out- put untuk mengatasi hipoksia yang terjadi. Pada daerah ini sistem saraf telah terganggu, oleh karena itu tiap awak pesawat yang terbang di daerah ini harus menggunakan oksigen.

  • Disturbance Stage, yaitu ketinggian dari 15.000 kaki sampai

20.000 kaki. Pada daerah ini usaha tubuh untuk mengatasi hipoksia sangat terbatas waktunya, jadi pada daerah ini orang tidak akan dapat lama tanpa bantuan oksigen. Biasanya tanda-tanda serang- an hipoksia ini tidak terasa hanya kadang-kadang saja timbul rasa malas, ngantuk, euphoria dan sebagainya, sehingga tahu-tahu orang tersebut menjadi pingsan. Gejala-gejala objektif antara lain pandangan menjadi me- nyempit (tunnel vision), kepandaian menurun, judgement ter- ganggu. Oleh karena itu pada daerah ini merupakan keharusan mutlak seluruh awak pesawat maupun penumpang untuk meng- gunakan oksigen.

  • Critical Stage, yaitu daerah dari ketinggian 20.000 kaki

sampai 23.000 kaki. Pada daerah ini dalam waktu 3 ­ 5 menit saja orang sudah tidak dapat menggunakan lagi pikiran dan judgement lain tanpa bantuan oksigen. Time of Useful Consciousness (TUC) Adalah waktu yang masih dapat digunakan bila kita men- derita serangan hipoksia pada tiap ketinggian; di luar waktu itu kita akan kehilangan kesadaran. Waktu itu berbeda-beda pada tiap ketinggian, makin tinggi waktu itu makin pendek. TUC ini juga dipengaruhi oleh kondisi badan dan kerentanan seseorang terhadap hipoksia. TUC ini perlu diperhatikan oleh para awak pesawat agar mereka dapat mengetahui berapa waktu yang ter- sedia baginya bila mendapat serangan hipoksia pada ketinggian tersebut. Sebagai contoh: TUC pada ketinggian 22.000 kaki =10 menit, 25.000 kaki = 5 menit, 28.000 kaki = 2,5­3 menit, 30.000 kaki = 1,5 menit, 35.000 kaki = 0,5 ­ 1 menit, 40.000 kaki = 15 detik dan 65.000 kaki = 9 detik.

Pengobatan hipoksia[sunting | sunting sumber]

Pengobatan hipoksia yang paling baik adalah pemberian oksigen secepat mungkin sebelum terlambat, karena bila terlam- bat dapat mengakibatkan kelainan (cacat) sampai ke kematian. Pada penerbangan bila terjadi hipoksia harus segera menggunakan masker oksigen atau segera turun pada ketinggian yang aman yaitu di bawah 10,000 kaki. Pencegahan hipoksia Pencegahan hipoksia dapat dilakukan dengan beberapa cara mulai dari penggunaan oksigen yang sesuai dengan ketinggian tempat kita berada, pernapasan dengan tekanan dan penggunaan pressure suit, pengawasan yang baik terhadap persediaan oksi- gen pada penerbangan, pengukuran pressurized cabin, meng- ikuti ketentuan-ketentuan dalam penerbangan dan sebagainya. Cara lain untuk pencegahan yaitu latihan mengenal datangnya bahaya hipoksia agar dapat selalu siap menghadapi bahaya tersebut.

Dysbarism[sunting | sunting sumber]

Menurut Adler yang dimaksud dengan dysbarism adalah semua kelainan yang terjadi akibat berubahnya tekanan sekitar tubuh, kecuali hipoksia. Banyak istilah yang telah digunakan orang untuk memberi nama sindrom ini seperti penyakit dekom- presi, aeroembolisme, aeroemphysema dan sebagainya. Tetapi istilah dysbarism lebih tepat karena istilah-istilah tidak men- cakup keseluruhan pengertian atau seluruh kejadian. Di samping hipoksia masalah dysbarism juga termasuk masalah yang penting dalam ilmu faal penerbangan. Dysbarism ini telah sejak abad ke XVII dibicarakan orang dan sampai se- karangpun masih ramai didiskusikan karena etiologinya atau patofisiologinya belum dapat dijelaskan secara sempuma. Ba- nyak teori yang timbul tetapi selalu saja ada kelemahannya. Pembagian dysbarism background image Dysbarism dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

Sebagai akibat pengembangan gas-gas dalam rongga tubuh. Golongan ini sering juga disebut: pengaruh mekanis pengem- bangan gas-gas dalam rongga tubuh atau pengaruh mekanis akibat perubahan tekanan sekitar tubuh.

Sebagai akibat penguapan gas-gas yang terlarut dalam tu- buh. Kelompok ini kadang-kadang jul;a disebut penyakit dekom- presi, sehingga kadang-kadang mengaburkan pengertian penya- kit dekompresi yang digunakan orang untuk istilah pengganti dysbarism. Pengaruh Mekanis Gas-gas dalam Rongga Tubuh Berubahnya tekanan udara di luar tubuh akan mengganggu keseimbangan tekanan antara rongga tubuh yang mengandung gas dengan udara di luar. Hal ini akan berakibat timbulnya rasa sakit sampai terjadinya kerusakan organ-organ tertentu. Rongga tubuh yang mengandung gas adalah: 1. Traktus Castro Intestinalis Gas-gas terutama berkumpul dalam lambung dan usus besar. Sumber gas-gas tersebut sebagian besar adalah dani udara yang ikdt tertelan pada waktu makan dan sebagian kecil timbul dari proses pencernaan, peragian atau pembusukan (dekomposisi oleh bakteri). Gas-gas tersebut terdiri dani O 2 , CO 2 , metan, H 2 S dan N 2 (bagian terbesar). Apabila ketinggian dicapai dengan perlahan, maka perbe- daan antara tekanan udara di luar dan di dalam tidak begitu besar sehingga pressure equalisation yaitu mekanisme penyamanan tekanan berjalan dengan lancar dengan jalan kentut atau melalui mulut. Gejala-gejala yang dirasakan adalah ringan yaitu rasa tidak enak (discomfort) pada perut. Sebaliknya apabila ketinggi- an dicapai dengan cepat atau terdapat halangan dalam saluran pencernaan maka pressure equalisation tidak berjalan dengan lancan, sehingga gas-gas sukar keluar dan timbul rasa discomfort yang lebih berat. Pada ketinggian di atas 25.000 kaki timbul rasa sakit perut yang hebat; sakit perut ini secara reflektoris dapat menyebabkan turunnya tekanan darah secara drastis, sehingga jatuh pingsan. Tindakan preventif agar tidak banyak terkumpul gas dalam saluran pencernaan, meliputi:

Dilarang minum bir, air soda dan minuman lain yang me- ngandung gas CO 2 sebelum terbang.

Makanan yang dilarang sebelum terbang adalah bawang merah, bawang putih, kubis, kacang-kacangan, ketimun, se- mangka dan chewing gum.

Tidak dibenarkan makan dengan tidak teratur, tergesa-gesa dan sambil bekerja. Tindakan regresif bila gejala sudah timbul, adalah:

Ketinggian segera dikurangi sampai gejala-gejala ini hilang.

Diusahakan untuk mengeluarkan udara dani mulut atau kentut

Banyak mengadakan gerakan.

  • Telinga

Bertambahnya ketinggian akan menyebabkan tekanan dalam telinga tengah menjadi lebih besar dari tekanan di luar tubuh, sehingga akan terjadi aliran udara dani telinga tengah ke luar tubuh melalui tuba Eustachii. Bila bertambahnya ketinggian ter- jadi dengan cepat, maka usaha mengadakan keseimbangan tidak cukup waktu; hal ini akan menyebabkan rasa sakit pada telinga tengah karena teregangnya selaput gendang, bahkan dapat me- robekkan selaput gendang. Kelainan ini disebut aerotitis atau barotitis. Kejadian serupa dapat terjadi juga pada waktu keting- gian berkurang, bahkan lebih sering terjadi karena pada waktu turun tekanan di telinga tengah menjadi lebih kecil dari tekanan di luar sehingga udara akan mengalir masuk telinga tengah, sedang muara tuba eustachii di tenggorokan biasanya sering tertutup sehingga menyukarkan aliran udara. Bila ada radang di tenggorokan lubang tuba Eustachii makin sempit sehingga lebih menyulitkan aliran udana melalui tempat itu; hal ini berarti kemungkinan terjadinya banotitis menjadi lebih besar. Di samping itu pada waktu turun udara yang masuk ke telinga tengah akan melalui daerah radang di tenggorokan, se- hingga kemungkinan infeksi di telinga tengah sukar dihindarkan. Tindakan preventif terhadap kelainan ini adalah:

Mengurangi kecepatan naik maupun kecepatan turun, agar tidak terlalu besar selisih tekanan antana udana luan dengan telinga tengah.

Menelan ludah pada waktu pesawat udana naik agar tuba Eustachii terbuka dan mengadakan gerakan Valsava pada waktu pesawat turun. Gerakan Valsava adalah menutup mulut dan hidung kemudian meniup dengan kuat.

Melarang terbang para awak pesawat yang sedang sakit saluran pernapasan bagian atas.

Penggunaan pesawat udana dengan pressurized cabin. Tindakan represif pada kelainan ini adalah:

  • Bila terjadinya pada waktu naik, dilakukan:

Berhenti naik dan datar pada ketinggian tersebut sambil menelan ludah berulang-ulang sampai hilang gejalanya.

Bila dengan usaha tadi tidak berhasil, maka pesawat ditu- runkan kembali dengan cepat sampai hilangnya rasa sakit tadi.

  • Bila terjadi pada waktu turun, dilakukan:

Berhenti turun dan datar sambil melakukan Valsava ber- ulang sampai gejalanya hilang.

Bila usaha di atas tidak berhasil, pesawat dinaikkan kembali sampai rasa sakit hilang, kemudian datar lagi untuk sementara. Bila rasa sakit sudah hilang sama sekali, maka pesawat diturun- kan perlahan-lahan sekali sambil melakukan gerakan Valsava . terus menerus.

Post Flight Ear Block[sunting | sunting sumber]

Ada kejadian seperti barotitis tadi pada waktu selesai ter- bang tinggi saat penerbangnya sedang tidur pada malam harinya. Banotitis demikian disebut post flight ear block dan terjadi kanena penerbang tersebut menggunakan oksigen terus selamapenerbangan sampai ke bumi, sehingga udana yang masuk ke telinga tengah kaya akan oksigen. Oksigen ini akan diserap oleh selaput pelapis telinga tengah dan tuba Eustachii tertutup sehingga tekanan udara luan menimbulkan rasa sakit.

Sinus Paranasalia[sunting | sunting sumber]

Muara sinus paranasalis ke rongga hidung pada umumnya sempit. Sehingga bila kecepatan naik atau turun sangat besar, maka untuk penyesuaian tekanan antara rongga sinus dan udara background image luar tidak cukup waktu, sehingga akan timbul rasa sakit di sinus yang disebut aerosinusitis. Karena sifat sinus paranasalis yang selalu terbuka, maka aerosinusitis ini dapat terjadi pada waktu naik maupun turun dengan prosentase yang sama. Pada keadaan radang saluran pernapasan bagian atas, kemungkinan terjadinya aerosinusitis makin besar. Aerosinusitis ini lebih jarang bila dibandingkandengan aerotitis, karena bentuk saluran penghubung dengan udara luar.

Gigi[sunting | sunting sumber]

Pada gigi yang sehat dan normal tidak ada rongga dalam gigi, tetapi pada gigi yang rusak kemungkinan terjadi kantong udara dalam gigi besar sekali. Dengan mekanisme seperti pada proses aerotitis dan aerosinusitis di atas, pada kantong udara di gigi yang rusak ini dapat pula timbul rasa sakit. Rasa sakit ini disebut aerodontalgia. Patofisiologi aerodontalgia ini masih belum jelas. Pengaruh Penguapan Gas yang Larut dalam Tubuh Dengan berkurangnya tekanan atmosfer bila ketinggian bertambah, gas-gas yang tadinya larut dalam sel dan jaringan tubuh akan keluar sebagian dari larutannya dan timbul sebagai gelembung-gelembung gas sampai tercapainya keseimbangan baru. Mekanismenya adalah sesuai dengan Hukum Henry. Pada kehidupan sehari-hari peristiwa ini dapat dilihat pada waktu kita membuka tutup botol yang bersisi limun, air soda atau bir yaitu timbul gelembung-gelembung gas. Gelembung-gelembung gas yang timbul dalam tubuh manusia bila tekanan atmosfer berkurang sebagian besar terdiri dari gas N 2

  • Gejala-gejala pada penerbang baru timbul pada ketinggian 25.000 kaki. Semakin cepat ketinggian bertambah,

semakin cepat pula timbul gejala. Pada ketinggian di bawah 25.000 kaki gas N 2 masih sempat dikeluarkan oleh tubuh melalui paru-paru. Gas tersebut diangkut ke paru-paru oleh darah dari scl-sel maupun jaringan tubuh. Timbulnya gelembung-gelem- bung ini berhenti bila sudah terdapat keseimbangan antara te- kanan udara di dalam dan tekanan udara di luar. Hal ini dapat di- mengerti dengan mengingat Hukum Henry dan Hukum Graham. Gelembung-gelembung ini memberikan gejala karena urat-urat saraf di dekatnya tertekan olehnya, di samping itu tertekan pula pembuluh-pembuluh darah kecil di sekitarnya. Menurut sifat dan lokasinya, gejala-gejala ini terdiri atas:

Bends Bends adalah rasa nyeri yang dalam dan terdapat di sendi serta dirasakan terus-menerus, dan umumnya makin lama makin bertambah berat. Akibatnya penerbang atau awak pesawat tak dapat sama sekali bergerak karena nyerinya. Sendi yang terkena umumnya adalah sendi yang besar seperti sendi bahu, sendi lutut, di samping itu juga sendi yang lebih kecil seperti sendi tangan, pergelangan tangan dan pergelangan kaki, tetapi lebih jarang.

Chokes Chokes adalah rasa sakit di bawah tulang dada yang disertai dengan batuk kering yang terjadi pada penerbangan tinggi, akibat penguapan gas nitrogen yang membentuk gelembung di daerah paru-paru. Chokes lebih jarang terjadi bila dibandingkan dengan bends, tetapi bahayanya jauh lebih besar, karena dapat menganqam jiwa penerbang.

Gejala-gejala pada kulit Gejala-gejala pada kulit adalah perasaan seperti ditusuk- tusuk dengan jarum, gatal-gatal, rasa panas dan dingin, timbul bercak kemerah-merahan dan gelembung-gelembung pada kulit. Gejala-gejala ini tidak memberikan gangguan yang berat, tetapi merupakan tanda bahaya atau tanda permulaan akan datangnya bahaya dysbarism yang lebih berat.

Kelainan pada sistem saraf Jarang sekali terjadi dan bila timbul mempunyai gambaran dengan variasi yang besar yang kadang-kadang saja memberikan komplikasi yang berat. Yang sering diketemukan adalah ke- lainan penglihatan dan sakit kepala yang tidak jelas lokasinya. Dapat pula timbul kelumpuhan sebagian (parsiil), kelainan peng- inderaan, dan sebagainya. PENGARUH PERCEPATAN DAN KECEPATAN PADA PENERBANGAN TERHADAP TUBUH Umum Benda di udara apabila dilepaskan akan jatuh bebas karena pengaruh gaya tank bumi. Demikian pula dengan tiap benda yang berada dalam keadaan diam di permukaan bumi ini, akan jatuh bebas ke arah pusat bumi apabila tidak ada tanah tempat benda tersebut bersandar. Kekuatan yang bekerja pada massa benda kita kenal sebagai berat benda. Berat flap benda dalam keadaan diam dipengaruhi oleh gaya tarik bumi sebesar 1 g. Percepatan atau akselerasi karena gaya tarik ini adalah sebesar 10 m/detik. Apabila sebuah benda dari keadaan diam lalu bergerak, maka karena adanya percepatan yang bekerja pada benda ter- sebut, akan terjadi gaya lain pada benda tadi yang arahnya ber- lawanan dengan arah percepatan penggeraknya. Hal ini di- sebabkan karena kelembaman benda tersebut seperti hukum inertia dari Newton. Misalnya kita di dalam mobil yang tidak bergerak kemudian sekonyong-konyong mobil tersebut dilari- kan dengan cepat, maka akan terasa badan kita terlempar ke sandaran belakang. Sebaliknya bila kita berada pada mobil yang bergerak cepat mendadak berhenti, maka badan kita akan ter- lempar ke depan. Macam Akselerasi Dalam penerbangan dijumpai macam-macam akselerasi yang terbagi atas:

Akselerasi Liniair Akselerasi liniair terjadi apabila ada perubahan kecepatan sedang arah tetap, misalnya terdapat pada take off, catapult take off, rocket take off, mengubah kecepatan dalam straight and level flying, crash landing, ditching, shock waktu parasut membuka atau pada saat landing.

Akselerasi Radiair (Sentripetal) Akselerasi radiair terjadi apabila ada perubahan arah pada gerak pesawat sedang kecepatan tetap, misalnya pada waktu turun, loop dan dive.

Akselerasi Angulair Akselerasi angulair apabila ada perubahan kecepatan dan background image arah pesawat sekaligus, misalnya pada roll dan spin. Gaya Akibat akselerasi timbul gaya yang sama besar akan tetapi berlawanan arahnya (reactive force) yang dikenal sebagai gaya G. Gaya G ini dinyatakan dengan satuan G. Besar tiap-tiap gaya G yang bekerja pada awak pesawat diukur dengan gaya tarik bumi. Pengaruh gaya G pada tubuh dibagi berdasarkan arahnya terhadap tubuh, karena toleransi tubuh terhadap gaya G ini.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Ngatijo, Kamus Pengetahuan Umum dan Teknologi, hal.1, ISBN 979-9409-59-4

Daftar Pustaka[sunting | sunting sumber]