Abnormalitas

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Abnormalitas

Abnormalitas adalah kondisi emosional seperti kecemasan dan depresi yang tidak sesuai dengan situasinya.[1] Abnormalitas umumnya ditentukan berdasarkan munculnya beberapa karakteristik sekaligus dan definisi terbaik untuk ini menggunakan beberapa karakteristik kejarangan statistik, pelanggaran norma, distress pribadi, ketidakmampuan atau disfungi, dan repons yang tidak diharapkan (unexpectedness).[2]

Menurut KBBI, abnormalitas merupakan ketidaksesuaian dengan keadaan yang biasa; mempunyai kelainan; tidak normal.

Sumber lain mengatakan Abnormalitas adalah perilaku yang menyimpang dari norma sosial.[3] Karena setiap masyarakat mempunyai patokan atau norma tertentu, untuk perilaku yang sesuai dengan norma maka dapat diterima, sedangkan perilaku yang menyimpang secara mencolok dari norma ini dianggap abnormal.[3] sehingga perilaku yang dianggap normal oleh suatu masyarakat mungkin dianggap tidak normal oleh masyarakat lain, jadi gagasan tentang kenormalan atau keabnormalan berbeda dari satu masyarakat lain dari waktu ke waktu dalam masyarakat yang sama.[3]

Abnormalitas yang terjadi pada kondisi emosional biasa terjadi kapan saja dalam kehidupan manusia, kadang-kadang bisa terjadi. Sebuah masalah emosional dapat menyebabkan seseorang mengalami gangguan secara mental dan fisik.[4]

Kriteria[sunting | sunting sumber]

Para ahli kesehatan mental menggunakan berbagai kriteria dalam membuat keputusan tentang apakah suatu perilaku abnormal atau tidak. Kriteria umum yang digunakan adalah:[5]

  1. Perilaku yang tidak biasa. Perilaku yang tidak biasa sering dikatakan abnormal. Hanya sedikit dari kita yang menyatakan melihat ataupun mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ada.
  2. Perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial atau melanggar norma sosial. Setiap masyarakat memiliki norma-norma (Standar) yang menentukan jenis perilaku yang dapat diterima dalam beragam tertentu. Perilaku yang dianggap normal dalam satu budaya mungkin akan dipandang sebagai abnormal dalam budaya lainnya.
  3. Persepsi atau interpretasi yang salah terhadap realitas. Sistem sensori dan kognitif yang memungkinkan seseorang untuk membentuk representasi mental yang akurat tentang lingkungan sekitar. Namun melihat sesuatu ataupun mendengar suara yant tidak ada objeknya akan disebut sebagai halusinasi, di mana dalam budaya sering dianggap sebagai tanda-tanda yang mendasari suatu gangguan.
  4. Orang-orang tersebut berada dalam stress personal yang signifikan. Kondisi stress personal yang diakibatkan oleh gangguan emosi, seperti kecemasan, ketakutan, atau depresi, dapat dianggap abnormal. Namun kecemasan dan depresi terkadang merupakan respon yang sesuai dengan situasi tertentu.[5] Gangguan emosi dapat mempengaruhi kejiwaan seseorang, sehingga seseorang yang menggunakan pikiran akan tetapi tidak bisa mengendalikan, maka bisa berakibat stress, Emosi ini menghalangi seseorang karena tindakan-tindakan yang dilakukannya tersebut pada umumnya merupakan tindakan fisik, dalam era sekrang tindakan fisik jarang untuk memecahkan suatu persoalan.[6]
  5. Perilaku mal adaptif atau self-defeating. Perilaku yang menghasilkan ketidakbahagiaan dan bukan pemenuhan diri dapat dianggap sebagai abnormal. Perilaku yang membatasi kemampuan kita untuk berfungsi dalam peran yang diharapkan atau untuk beradaptasi dengan lingkungan juga dapat disebut sebagai abnormal.
  6. Perilaku berbahaya. Perilaku yang menimbulkan bahaya bagi orang itu sendiri ataupun orang lain dapat dikatakan abnormal.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Sebelum abad pendekatan ilmiah, seluruh perwujudan kekuatan baik dan buruk yang berada di luar kendali manusia, gerhana, gempa bumi, badai, kebakaran, penyakit serius yang melumpuhkan.[2] Perilaku yang tampaknya berada di luar kendali individu diinterpretasi secara sama. Sepanjang sejarah, keyakinan akan kekuatan supranatural, setan, dan roh jahat telah sangat mendominasi.[1] Pada masa yang lebih modern, pandangan dunia yang dominan walaupun tidak berarti universal telah berganti pada keyakinan ilmu dan nalar (reason). Dalam budaya kita, perilaku abnormal telah dipandang sebagai produk dari faktor fisik dan psikososial, bukan akibat kerasukan setan.[1]

Demonologi awal[sunting | sunting sumber]

Dematologi merupakan sebuah doktrin bahwa wujud yang jahat, seperti setan, mungkin merasuki seseorang dan mengendalikan pikiran dan tubuhnya.[2] Sejalan dengan kepercayaan bahwa perilaku abnormal disebabkan oleh kerasukan ruh jahat, penanganannya sering kali mencakup eksorsisme, yaitu pengusiran ruh jahat dengan mantra atau siksaan ritualistik. Eksorsisme umumnya berbentuk serangkaian doa yang rinci, menciptakan suara bising, memaksa orang yang kerasukan untuk minum ramuan yang rasanya tidak enak, dan kadang kala tindakan yang lebih ekstrem seperti pemukulan atau dibuat kelaparan, agar tubuh tidak enak mengenakan untuk ditempati ruh jahat. Contoh dari Demonologi awal ini saat Kristus diriwayatkan menyembuhkan seorang pria yang jiwanya tidak bersih dengan mengeluarkan ruh jahat dari tubuhnya dan melemparkan mereka ke sekawanan babi (Markus 5:8-13).[2]

Somatogenesis[sunting | sunting sumber]

Pada Abad ke 5 Sebelum Masehi, Hippocrates dianggap sebagai bapak ilmu kedokteran modern, yang memisahkan ilmu kedokteran dari agama sihir, dan takhyul dan dia juga menolak kepercayaan Yunani yang diyakini pada manusia bahwa para dewa memberikan penyakit fisik berat dan gangguan mental sebagai hukuman dan alih-alih menegaskan bahwa penyakit semacam itu memiliki sebab alami sehingga harus ditangani seperti penyakit lain, seperti demam dan sembelit. Hippocrates merupakan pelopor pertama somatogenesis ini adalah suatu istilah yang merujuk bahwa masalah yang terjadi pada soma, atau tubuh fisik, akan mengganggu pikiran dan tindakan. Psikogenesis adalah kepercayaan bahwa suatu gangguan berawal mula dari faktor psikologis. Hippocrates mengklasifikasikan gangguan mental ke dalam tiga kategori, yaitu mania, melankolia, dan prenitis atau demam otak.[2] Hippocrates percaya bahwa fungsi otak yang normal maka kesehatan mental juga normal, bergantung pada keseimbangan yang baik antara empat humor, atau cairah tubuh, yaitu darah, cairan empedu hitam, cairan empedu kuning, dan lendir, jika tidak seimbang maka menyebabkan gangguan. Hippocrates berpendapat bahwa otak adalah organ kesadaran kehidupan dan emosi, sekaligus dia berpendapat bahwa pikiran dan perilaku yang menyimpang adalah indikasi terjadinya suatu patologi otak.[2]

Abad kegelapan dan demonologi[sunting | sunting sumber]

Setelah kematian Galen (130-200 M), orang Yunani yang hidup pada abad ke-2 yang dianggap sebagai dokter besar terakhir era klasik, menandai awal abad kegelapan bagi ilmu kedokteran Eropa bagian barat dan bagi penanganan serta peneliti perilaku abnormal. Pada saat itu runtuhlah peradaban Yunani dan Romawi, dan Gereja mulai menanamkan pengaruh, dan kepausan mendeklarasikan pemisahannya dari negara dan pada saat itu biara-biara menggantikan tugas para dokter sebagai penyembuh dan otoritas dalam gangguan mental. para biara yang merawat orang-orang gangguan mental dengan menggunakan jimat-jimat, minuman suci dan doa-doa untuk menghilangkan gangguan mental.[2]

Hukuman bagi para tukang sihir selama abad ke-13 dan beberapa abad setelahnya masyarakat yang sudah menderita karena kekacauan sosial dan kelaparan yang terus terjadi serta berbagai wabah penyakit akhirnya kembali ke demonologi untuk mencari penjelasan tentang berbagai bencana tersebut. Selama beberapa waktu para peneliti zaman modern percaya bahwa orang-orang yang sakit jiwa di akhir abad pertengahan dianggap sebagai tukang sihir (Zilboorg & Henry, 1941).[2] Akademisi modern pernah meyakini bahwa orang-orang yang diyakini sebagai penyihir itu sebenarnya merupakan orang-orang yang mengalami gangguan secara mental.[1] Mereka diyakini disiksa karena perilaku abnormal mereka dianggap sebagai bukti bahwa mereka bersekutu dengan iblis dan benar diyakini bahwa banyak penyihir yang dicurigai mengaku telah melakukan perilaku yang tidak mungkin, seperti terbang atau melakukan hubungan seksual dengan iblis. Di satu sisi, pengakuan semacam ini mengacu pada gangguan psikologis, seperti skizofrenia. Namun, kebanyakan dari pengakuan-pengakuan tersebut dapat diabaikan, karena pengakuan itu digali di bawah siksaan para penyelidik yang diperintahkan untuk menemukan bukti yang mendukung tuduhan terhadap para penyihir (Spanos, 1978).[1]

Perkembangan rumah sakit jiwa[sunting | sunting sumber]

Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, rumah sakit jiwa, atau penampungan untuk orang gila mulai menjamur di seluruh Eropa.[1] Rumah sakit jiwa sering kali memberikan perlindungan bagi para pengemis sebagai orang yang mengalami gangguan, dan kondisi di tempat itu biasanya mengerikan. Para penghuninya sering kali dirantai di tempat tidur mereka dan dibiarkan terbaring di tengah kotoran mereka atau berkeluyuran tanpa ada yang membantu.[1] Perawatan di rumah sakit bagi orang-orang sakit jiwa dimulai secara serius pada abad ke-15 dan ke-16. Rumah sakit lepra diubah menjadi asilum, tempat pengungsian yang disiapkan untuk penempatan dan perawatan orang sakit jiwa.[2]

Reformasi Pinel oleh Philippe Pinel (1745-1826) sehingga sering kali dianggap sebagai figur utama dalam gerakan bagi penanganan manusiawi terhadap orang sakit mental di rumah sakit jiwa.[2] Pinel adalah orang yang ditugaskan untuk membuka rantai orang-orang dipenjara di La Bictre Prancis, sebuah peristiwa yang bahkan diabadiakan dalam beberapa lukisan terkenal. Pinel dikisahkan mulai merawat para penghuni sebagai orang sakit dan bukan sebagai binatang liar.

Awal pemikiran kontemporer[sunting | sunting sumber]

Kematian Galen dan hancurnya peradaban Greco-Romawi menyebabkan terhentinya penelitian fisik dan mental untuk sementara. Tidak sampai akhir abad pertengahan fakta-fakta baru mulai terungkap, fakta-fakta ini terungkap berkat pendekatan empiris yang mulai digunakan dalam ilmu kedokteran, di mana pengetahuan diperoleh melalui observasi langsung. Satu perkembangan yang memicu kemajuan adalah ditemukannya fakta oleh ahli anatomi dan dokter berkebangsaan Fleming (antara Belanda dan Belgia) Vesalius (1514-1564) bahwa anatomi tubuh manusia yang disampaikan oleh Galen tidak benar. Galen mengasumsikan bahwa fisiologi manusia sama dengan kera-kera yang ditelitinya butuh waktu seribu tahun bagi studi otopsi tentang manusia. Kemajuan lebih jauh lagi dihasilkan dari upaya dokter berkebangsaan Inggris Thomas Sydenham (1624-1689) yang berhasil memperjuangkan pendekatan empiris dalam klasifikasi dan diagnosis yang kemudian mempengaruhi mereka yang tertarik terhadap gangguan jiwa.[2]

Metode penelitian[sunting | sunting sumber]

Gangguan Psikologi adalah aspek perilaku manusia yang menarik dan misterius, sehingga banyak orang harus memberikan penjelasan meskipun tanpa adanya dukungan yang adekuat dan juga harus disertai penjelasan yang benar agar tidak menimbulkan kesalahpahaman karena kurangnya dasar teori psikologi data ilmiah yang diberikan.[7]

Metode Ilmiah[sunting | sunting sumber]

Metode ilmiah ini menekankan pada obyektivitas, proses menguji suatu ide mengenai fenomena psikologis tanpa adanya bias sebelum menerima ide-ide ini sebagai penjelasan yang adekuat. Ketika terjadi suatu masalah harus diuji secara sistematis sebelum menerima sebagai suatu fakta, dan setelah menyusun rangkaian pengujian yang sistematis, harus membuka setiap kemungkinan bahwa dugaan awal bisa jadi salah. Potensi untuk membuang ide yang keliru adalah komponen penting dari metode ilmiah.[7]

Metode Eksperimen[sunting | sunting sumber]

Tujuan dari penelitian psikologi adalah mengembangkan pemahaman mengenai bagaimana dan mengapa orang memiliki perbedaan dalam tingkah laku. Dimensi yang berbeda-beda yang menyertai orang, benda, atau peristiwa dinamakan variabel. Metode eksperimen adalah salah satu pendekatan untuk menemukan perbedaan variabel psikologi di antara orang-orang. Metode ini melibatkan kondisi yang diubah atau diganti ketika partisipan diamati dan mengobservasi efek dari manipulasi ini terhadap perilaku partisipan. Metode ini menentukan sebab-akibat antara dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel tergantung.[7]

Metode Kolerasi[sunting | sunting sumber]

Metode korelasi adalah metode yang mengasosiasikan atau menghubungkan dua variabel. Hubungan yang digambarkan dalam metode ini yaitu pada bagian sebelumnya antara depresi dan jumlah teman yang dimiliki, contohnya seseorang yang memiliki gangguan cenderung berpikir negatif tentang dirinya sendiri dan juga memiliki harga diri yang rendah. Cara mudah untuk mengukur teori korelasi ini adalah dengan mengukur tingkat depresi dan harga diri pada orang yang bersangkutan dan melihat apakah nilai yang muncul berkorelasi atau berhubungan satu dengan yang lain, namun perlu diingat bahwa korelasi antar dua variabel tidak berarti bahwa satu variabel adalah penyebab munculnya variabel lain akan tetapi, korelasi yang muncul hanya menggambarkan bahwa kedua variabel memiliki hubungan satu sama lain dalam pola tertentu.[7]

Metode Survei[sunting | sunting sumber]

Metode Survei adalah suatu sarana penelitian informasi dari sekelompok orang (sampel penelitian) yang dinilai mewakili suatu populasi tertentu. Dalam psikologi abnormal, survei-survei yang paling relevan adalah survei yang berfokus pada kesehatan mental dari suatu populasi dan survei yang melaporkan frekuensi dari berbagai macam gangguan psikologi. Aspek-aspek perilaku manusia yang lain juga menjadi perhatian, seperti frekuensi penggunaan obat, pengalaman seksual dan kekerasan pada anak, serta penggunaan layanan kesehatan anak. Hasil dari metode survei ini dibagi mejadi dua kategori, yaitu kemunculan dan prevalensi. Kemunculan suatu gangguan adalah frekuensi munculnya kasus-kasus baru pada satu periode tertentu sedangkan prevalensi suatu gangguan adalah jumlah orang yang mengalami gangguan tersebut pada suatu periode tertentu atau selama rentang waktu tertentu.[7]

Metode Studi Kasus[sunting | sunting sumber]

Metode studi kasus memperbolehkan peneliti untuk menggambarkan suatu kasus tunggal secara mendetail. Contohnya, seorang terapis yang merawat seorang klien transeksual akan menggambarkan sejarah perkembangan dari klien tersebut, fungsi-fungsi psikologis, dan respons terhadap intervensi-intervensi yang diberikan. Para klinis dan peneliti lain yang membaca kasus ini akan memiliki kesempatan untuk mempelajari suatu fenomena yang jarang terjadi yang mungkin belum pernah mereka temui sebelumnya. Selain itu, studi kasus dapat sangat berguna untuk membantu orang lain mengembangkan hipotesis, baik mengenai gangguan psikologis atau perawatan.[7]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g Jeffrey SN, Spencer AA, Beverly G (2002). Psikologi Abnormal (edisi ke-5). Jakarta: Erlangga. hlm. 5. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k Gerald C. Davsion, John M. Neale, Ann M. Kring (2012). Psikologi Abnormal. Edisi 9. Depok: RajaGrafindo Persada. hlm. 5. 
  3. ^ a b c Rita L. Atkinson, Richard C. Atiknson, Ernest R. Hilgard (1983). Pengantar Psikologi Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga. hlm. 242. 
  4. ^ Jaen B. Rosenbaum (2012). Psikiartri Praktis. Bandung: Nuansa. hlm. 39. 
  5. ^ a b Jeffrey S. Nevid, Spencer A. Rathus, Beverly Greene (2002). Psikologi Abnormal. Edisi 5 Jilid 1. Jakarta: Erlangga. hlm. 5. 
  6. ^ Walter MC. Quade dan Ann Aikman (1991). Stress Apakah Stress itu? bagaimanakah stress mempengaruhi kesehatan kita? bagaimana mengatasi stress?. Jakarta: Erlangga. hlm. 92. 
  7. ^ a b c d e f Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Edisi6

Lihat pula[sunting | sunting sumber]