Abdurrahman Mohammad Fachir

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 5 April 2013 06.53 oleh EmausBot (bicara | kontrib) (Bot: Migrasi 2 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:Q4119908)
Abdurrahman Mohammad Fachir

Abdurrahman Mohammad Fachir, disingkat A.M. Fachir, ditulis dalam bahasa Arab عبد الرحمن محمد فاخر (lahir 26 November 1957) adalah seorang diplomat. Fachir pernah menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia di Republik Arab Mesir, sejak September 2007 sampai dengan Juni 2011. Saat ini ia menjabat Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.

Nama Abdurrahman Mohammad Fachir berasal dari bahasa Arab. Abdurrahman عبد الرحمن berarti hamba Allah Yang Maha Rahman (Pengasih), Mohammad محمد berarti yang terpuji atau mendapat pujian, dan Fachir فاخر berarti yang hebat (excellent dan superior).

Dengan demikian, nama Abdurrahman Mohammad Fachir artinya hamba Allah yang terpuji dan hebat.

Pendidikan

Fachir menyelesaikan pendidikan dasarnya di Banjarmasin, lalu pada tahun 1972 ia berangkat ke Pulau Jawa untuk mengenyam pendidikan tingkat menengah di Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar dan Pondok Modern Darussalam Gontor. Tahun 1978, ia bertolak menuju ibukota guna melanjutkan kuliah di Fakultas Sastra dan Bahasa Arab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Selama kuliah di "Kampus Pembaharu" yang beralamat di Ciputat, ia pernah mengikuti pertukaran pemuda ASEAN-Jepang (Nippon Maru) 1978.

Fachir termasuk salah satu pemain band kampus. Ia dikenal sebagai seniman. Ia juga aktif berorganisasi di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia pernah menjabat Ketua LSMI (Lembaga Seni Mahasiswa Islam) ketika Azyumardi Azra menjadi Ketua Umum HMI Cabang Ciputat periode 1981-1982.

Fachir diwisuda sebagai sarjana bergelar doctorandus (Drs) pada bulan Agustus 1983, setelah dinyatakan lulus dalam ujian skripsi. Judul skripsinya adalah “Taatstsur al-Natsr al-Hadits bi al-Harakat al-Wathoniyyah fi Mishra” (Terpengaruhnya Prosa Modern oleh Gerakan Nasionalisme di Mesir), yang disusun dalam bahasa Arab.[1]

Perkawinan

Fachir bersama keluarga pada Idul Fitri 2008. Dari kiri: Ifa, Ila, Fachir, Yasmin dan Ais

Fachir menikah pada tanggal 7 Januari 1983 dengan Yasmin Sukmawira (lahir di Samarinda, 13 November 1958) dan telah dikaruniai tiga anak, yaitu:

  1. Rif'at Syauqi Rahman Fachir (Ifa), lahir bulan Oktober 1983, mantan pemain keyboard Band Maliq & D'Essentials
  2. Nabila Fauzia Rahman Fachir (Ila), lahir tahun 1988
  3. Faris Karami Rahman Fachir (Ais), lahir tahun 1994

Karier Diplomat

Pada bulan November 1983, Fachir diterima sebagai pegawai negeri sipil di Kementerian Luar Negeri. Ia memulai karier di kementerian yang saat itu dipimpin oleh Prof. Dr. Mochtar Kusuma Atmadja, SH sebagai Pjs. Kepala Seksi Dewan Keamanan PBB Direktorat Organisasi Internasional pada tahun 1985.

Tahun 1988 Fachir ditugaskan di KBRI Baghdad sampai tahun 1992, saat-saat terjadinya invasi Irak terhadap Kuwait yang kemudian menyulut Perang Teluk I. Dalam peperangan yang berkecamuk, Fachir bersama para staf KBRI Baghdad harus mengungsikan ratusan WNI, sebagian besar TKW, keluar dari Baghdad menuju Yordania. "Jarak evakuasi ada ribuan kilometer dari Baghdad. Kami pun lewat di tengah peperangan. Alhamdulillah, Allah masih melindungi kami. Deg-degan juga, dan sampai sekarang masih sering teringat kejadian itu,” kenang Fachir.[2]

Sepulang dari negeri Saddam Hussein, Fachir lalu diperbantukan pada Badan Pelaksana Ketua Gerakan Non Blok (GNB) saat Indonesia memimpin GNB (1992-1995) dan kemudian menempati pos di Perutusan Tetap RI untuk PBB di New York sebagai Penanggung jawab Satuan Tugas GNB pada tahun 1995-1999. Fachir kemudian ditunjuk sebagai Kepala Subdit Politik dan Keamanan, Direktorat Organisasi Internasional Kementerian Luar Negeri, sekaligus menjabat sebagai Sekretaris Panitia Kerja Tetap Antar Departemen pada tahun 1999-2002 . Setelah itu, ia dipercaya sebagai Kepala Biro Naskah dan Penerjemahan Sekretariat Negara sekaligus sebagai Penerjemah Resmi Presiden Megawati Soekarnoputri tahun 2002-2004.[3]

Tahun 2004 Fachir diangkat menjadi Wakil Kepala Perwakilan di Malaysia, dan menjadi Kuasa Usaha Ad Interim semenjak berakhirnya masa jabatan Duta Besar Rusdiharjo, pada Februari 2007. Meskipun hanya kurang satu tahun menjabat Kuasa Usaha Ad Interim di Malaysia, ia telah banyak melakukan perubahan. Antara lain, pengurusan paspor tidak bisa lagi melalui agen. Yang bersangkutan harus mengurus langsung. Peran Satgas Perlindungan dan Pelayanan WNI di KBRI Kuala Lumpur juga sangat dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Begitu banyak kasus yang berhasil ditangani, walaupun masih ada yang sedikit tercecer.[4]

Duta Besar di Mesir

Berkas:Duta besar fachir.jpg
Presiden SBY menyampaikan selamat kepada Fachir usai dilantik menjadi duta besar

Fachir dilantik sebagai duta besar di Mesir pada tanggal 5 September 2007 bersama dengan enam duta besar lainnya, seperti Marty Natalegawa untuk posisi duta besar di PBB.[5] Ia tiba di negeri Piramida tanggal 30 Oktober 2007 dan tercatat sebagai duta besar ke-18 menggantikan Prof. Dr. Bachtiar Aly, MA yang habis masa tugasnya 30 November 2005.

Bidang Pendidikan

“Ini duta besar baru dan ini baru duta besar,” demikian puji Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin kepada Duta Besar Fachir atas keberhasilannya menyelenggarakan lokakarya bertemakan “Dukungan Terhadap Peningkatan Prestasi Mahasiswa Indonesia di Mesir”. Fachir dipuji di hadapan Menteri Agama Maftuch Basyuni, Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno, Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, Presidium ICMI Marwah Daud Ibrahim dan lebih dari 1.500 mahasiswa yang memadati Azhar Conference Centre (ACC), tempat diselenggarakannya lokakarya, 12-13 April 2008.

“Mahasiswa kita itu 'kan aset bangsa. Sementara yang namanya Al-Azhar itu warisan keilmuannya luar biasa. Namun mengapa banyak mahasiswa Indonesia di Mesir yang mengalami hambatan dalam belajar, sehingga lebih dari separoh terlambat menyelesaikan studinya dan tidak dapat mengoptimalkan kebesaran Al-Azhar,” jelas Fachir mengenai alasan diselenggarakannya lokakarya.[6]

Berkat lokakarya tersebut, kini tingkat keberhasilan studi mahasiswa Indonesia di Mesir telah meningkat secara menggembirakan. Pada awal kedatangan Fachir tahun 2007, 59 % dari sekitar 6.000 mahasiswa gagal dalam studinya. Angka tersebut membaik pada tahun 2008 dengan 67 % mahasiswa berhasil dalam studinya. Angka terakhir pada tahun 2010 menunjukkan 75 % berhasil dalam pembelajarannya di Mesir.[7]

Syeikh Al-Azhar Ahmed Tayeb saat menerima kunjungan pamitan Fachir, sempat berkelakar bahwa jika 75 % kelulusan mahasiswa Indonesia dapat dicapai selama kepemimpinan Fachir yang hanya 3,5 tahun, maka jika Fachir bertugas selama 5 tahun Insyaallah kelulusan bisa mencapai 100 %.[8]

Selain berhasil meningkatkan angka kelulusan mahasiswa, Fachir telah menggagas berdirinya asrama untuk mahasiswa. Tentu ini merupakan peninggalan yang baik yang akan selalu dikenang oleh mahasiswa generasi selanjutnya. Ia telah menghimpun dana sebesar 14 miliar yang berasal dari Pemerintah Indonesia baik pusat maupun propinsi, dan telah diserahkan ke pihak Al-Azhar. Diharapkan keberadaan asrama itu mampu mendukung kesuksesan studi mahasiswa Indonesia di Mesir.[9]

Masih di bidang pendidikan, Fachir juga meninggalkan kenang-kenangan kepada Al-Azhar berupa sistem pendataan mahasiswa Indonesia yang diberi nama SIMADU “Sistem Informasi Terpadu” dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa arab. Sistem ini bisa digunakan oleh Al-Azhar untuk mengecek data mahasiswa Indonesia di Mesir.[10]

Bidang Politik

Duta Besar Fachir menyerahkan Credentials kepada Presiden Hosni Mubarak

Hubungan Indonesia dan Mesir di bidang politik selama Fachir menjadi duta besar, tampak mesra dan harmonis. Di berbagai kesempatan, Fachir yang fasih berbahasa Arab dan Inggris selalu mengatakan bahwa Mesir adalah saudara dan sahabat Indonesia, karena Mesir adalah negara pertama di dunia yang mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia.

Di samping karena pengakuan Mesir itu, faktor lain yang memicu keakraban Indonesia dan Mesir adalah Gerakan Non Blok yang didirikan oleh Presiden Soekarno dan Presiden Gamal Abdel Nasser bersama Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru dan Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito. Oleh karena itu, ketika terjadi krisis politik di Mesir Januari-Februari 2011, Indonesia tidak berada dalam posisi melakukan intervensi, kecuali mendorong agar ada solusi yang tepat dan bijak sesuai dengan kepentingan atau manfaat bangsa Mesir sendiri.[11]

Begitu Presiden Mubarak mengundurkan diri, Indonesia berada di samping Mesir untuk membangun negara demokasi. Indonesia pernah diminta Mesir untuk berbagi pengalaman dalam melewati masa transisi demokrasi, karena Indonesia dipandang memiliki pengalaman sukses. Pada tanggal 5-6 Juni 2011, Prof Dr. Ing. B.J. Habibie, (Presiden Indonesia 1998-1999) dan Prof. Dr. Amien Rais (Ketua MPR 1999-2004) diundang ke Kairo untuk berbicara pada Forum Internasional bertajuk "Pathways on Democratic Transitions - International Experiences and Lessons Learned”, yang disponsori United Nations National Development.[12]

Bidang Perdagangan

Selama Fachir menjadi duta besar di Mesir, kerja sama perdagangan Indonesia dan Mesir mengalami peningkatan yang pesat. Pada tahun 2006, angka perdagangan kedua negara masih tercatat pada kisaran US$ 500 juta. Angka tersebut naik menjadi dua kali lipatnya hanya dalam tempo dua tahun, yaitu pada 2008 menjadi US$ 1 miliar, menjadikan Mesir sebagai pasar non-tradisional terbesar Indonesia. Pada tahun 2010 ketika perdagangan kedua negara terpengaruh krisis ekonomi global, angka perdagangan masih berada pada posisi US$ 1 miliar, di mana 80% merupakan surplus bagi Indonesia.[13]

Investasi Indonesia di Mesir akan terus berlanjut karena pasar Mesir merupakan pasar penarik investasi terpenting mengingat banyaknya potensi dan kesempatan. Investasi Indonesia di Mesir terfokuskan di 3 sektor utama: yaitu industri tenun, gelas dan produksi pangan. Saat ini, Indonesia memiliki tiga perusahaan yang beroperasi di Mesir dengan nilai investasi tidak kurang dari US$ 250 juta.[14]

Bidang Sosial Budaya

Di bidang sosial budaya, Pusat Kebudayaan dan Informasi Indonesia (PUSKIN) berhasil meningkatkan jumlah peserta kursus bahasa Indonesia bagi warga Mesir, dari tahun ke tahun. Fachir melihat peran penting warga Mesir yang bisa berbahasa Indonesia dalam merevitaliasai hubungan Indonesia dan Mesir, khususnya dari kalangan pemuda yang akan menjadi penentu masa depan Mesir. Semakin luasnya penguasaan bahasa Indonesia di kalangan pemuda Mesir akan sangat menunjang aktualisasi potensi kerja sama Indonesia dan Mesir yang bersifat komplementer.[15]

Siswa-siswi PUSKIN yang berlatar belakang beragam profesi, seperti pengacara, usahawan, agen perjalanan, mahasiswa dan lain-lain dengan kemampuan bahasa Indonesianya dapat didayagunakan oleh pemangku kepentingan di Mesir dan di Indonesia untuk menopang upaya revitalisasi hubungan bilateral kedua negara, di bidang ekonomi dan perdagangan, sosial-bidaya serta berbagai bidang lainnya.[16]

Selain bidang-bidang tersebut di atas, Fachir berhasil menerbitkan buku Potret Hubungan Indonesia-Mesir yang sangat fenomenal dalam bahasa Indonesia dan Arab. Buku itu memotret hubungan Indonesia-Mesir sejak dahulu kala sebelum kemerdekaan sampai tahun 2009. Buku versi bahasa Indonesia diberi kata pengantar Menteri Luar Negeri (saat itu) Hassan Wirajuda, dan versi bahasa Arab diberi kata pengantar Menteri Luar Negeri Mesir Ahmed Aboul Gheit. Secara simbolis, buku versi bahasa Arab tersebut diluncurkan pada peringatan 63 hubungan diplomatik yang dikemas dalam perayaan “Malam Indonesia-Mesir” di tempat pertunjukan termegah di Mesir, Cairo Opera House, tanggal 11 Juni 2010, yang dihadiri lebih dari 1.000 friends of Indonesia yang terdiri dari unsur pemerintahan, akademisi, budayawan dan berbagai kalangan lainnya. Hadir juga, Menteri Kebudayaan Mesir Farouk Hosny dan Menteri Pendidikan Tinggi Mesir Hany Hilal mewakili Pemerintah Mesir, Ketua Lembaga Persahabatan Mesir-Indonesia Said Imarah, Ketua Egyptian-Indonesian Business Council, Mohamed Baraka serta wakil keluarga mantan Sekretaris Jenderal Liga Arab, Azzam Pasha yang berperan dalam upaya perolehan pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Mesir dan negara-negara Timur Tengah.[17]

Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik

Fachir dilantik oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa sebagai Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi pada 25 Oktober 2011. Ia menggantikan Andri Hadi yang sekarang menempati tugas baru sebagai duta besar di Singapura.[18] Ia bertugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang informasi dan diplomasi publik, yang membawahi 4 (empat) direktorat, yaitu Direktorat Informasi dan Media, Direktorat Diplomasi Publik, Direktorat Keamanan Diplomatik dan Direktorat Kerjasama Teknik.

Catatan Kaki

  1. ^ Abdurrahman Mohammad Fachir, “Taatstsur al-Natsr al-Hadits bi al-Harakat al-Wathoniyyah fi Mishra” (Cairo: Maktabat al-Adab, 2011)
  2. ^ Banjarmasin Post, 21 Oktober 2007
  3. ^ Banjarmasin Post, 21 Oktober 2007
  4. ^ merdeka.com, 26 Oktober 2007, diakses pada 17 Januari 2012
  5. ^ presidensby.info, diakses pada 17 Januari 2012
  6. ^ Republika, 2 Mei 2008
  7. ^ indonesiacairo.org, 30 April 2011, diakses pada 17 Januari 2012
  8. ^ indonesiacairo.org, 9 Juni 2011, diakses pada 17 Januari 2012
  9. ^ indonesiacairo.org, 9 Juni 2011, diakses pada 17 Januari 2012
  10. ^ indonesiacairo.org, 9 Juni 2011, diakses pada 17 Januari 2012
  11. ^ presidensby.info, 30 Januari 2011, diakses pada 17 Januari 2012
  12. ^ indonesiacairo.org, 7 Juni 2011, diakses pada 17 Januari 2012
  13. ^ indonesiacairo.org, 30 April 2011, diakses pada 17 Januari 2012
  14. ^ indonesiacairo.org, 20 Maret 2011, diakses pada 17 Januari 2012
  15. ^ indonesiacairo.org, 25 Februari 2011, diakses pada 17 Januari 2012
  16. ^ indonesiacairo.org, 25 Februari 2011, diakses pada 17 Januari 2012
  17. ^ deplu.go.id, 14 Juni 2011, diakses pada 17 Januari 2012
  18. ^ deplu.go.id, 25 Oktober 2011, diakses pada 17 Januari 2012