Telekomunikasi seluler di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Indonesia dengan jumlah penduduk yang tinggi memiliki prospek bisnis telekomunikasi seluler yang menarik. Pendapatan tahunan operator seluler di Indonesia tidak kurang dari Rp 100 triliun. Telekomunikasi seluler di Indonesia sudah mengadopsi 5G NR.

Teknologi[sunting | sunting sumber]

Telekomunikasi seluler di Indonesia mulai dikenalkan pada tahun 1985 (walaupun baru mulai beroperasi pada 1986), dan hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang pertama mengadopsi teknologi seluler versi komersial. Hingga 1993, teknologi seluler yang digunakan adalah NMT (Nordic Mobile Telephone) dari Eropa (sejak 1986), disusul oleh AMPS (Advanced Mobile Phone System) dari Amerika Serikat (sejak 1991), keduanya dengan sistem analog. Teknologi seluler yang masih bersistem analog itu sering kali disebut sebagai teknologi seluler generasi pertama (1G). Pada tahun 1995 diluncurkan teknologi E-TDMA (Extended Time Division Multiple Access) melalui operator Ratelindo yang hanya tersedia di beberapa wilayah Jakarta, Jawa Barat dan Banten.

Sementara itu di dekade yang sama, diperkenalkan teknologi GSM (Global System for Mobile Communications) yang membawa teknologi telekomunikasi seluler di Indonesia ke era generasi kedua (2G). Pada masa ini, Layanan pesan singkat (Inggris: short message service) menjadi fenomena di kalangan pengguna ponsel berkat sifatnya yang hemat dan praktis. Teknologi GPRS (General Packet Radio Service) juga mulai diperkenalkan, dengan kemampuannya melakukan transaksi paket data. Teknologi ini kerap disebut dengan generasi dua setengah (2,5G), kemudian disempurnakan oleh EDGE (Enhanced Data Rates for GSM Evolution), yang biasa disebut dengan generasi dua koma tujuh lima (2,75G). Telkomsel sempat mencoba mempelopori layanan ini, tetapi kurang berhasil memikat banyak pelanggan.[1] Pada akhir 1990-an, sebenarnya di Indonesia telah dikenal teknologi CDMA generasi kedua (2G), dengan awalnya masih berjenis CDMAOne. Kemudian, sejak 2002 muncul operator sistem CDMA yang lebih mutakhir, yaitu CDMA2000.[2]

Pada 2006 mulai muncul operator 3G pertama yaitu Telkomsel pada 15 Agustus 2006 (sebenarnya yang pertama mendapatkannya adalah PT Cyber Access Communication dan PT Natrindo Telepon Seluler pada 2003 dan 2004, namun keduanya baru mengoperasikannya pada 2007).[3] Selanjutnya, operator-operator lain juga meluncurkan jaringan ini pada 2006-2007 dan selanjutnya juga menjadi 3,5G dengan teknologi HSDPA (High-Speed Downlink Packet Access) yang mampu memungkinkan transfer data secepat 10 Mbps. Pada tahun 2011, lewat teknologi WiMAX BWA, mulai diperkenalkan sistem 4G, namun pemakaiannya baru masif setelah sistemnya menjadi LTE yang diluncurkan pada 2013 pertama kali oleh BOLT!. Setelah Bolt, operator yang sudah ada juga ramai-ramai menggelar jaringan 4G, dengan kini Smartfren merupakan yang cakupannya terluas.[4] Smartfren juga menjadi pionir akan perkembangan sistem termutakhir saat ini, yaitu 4,5G pada 20 Agustus 2015 dan selanjutnya disusul oleh operator lain seperti Indosat dan XL pada akhir 2016.[5][6][7] Saat ini, sistem 4,5G merupakan sistem terbaru yang digunakan di Indonesia dan banyak operator yang mengoperasikannya paralel dengan sistem GSM (2G/3G). Di masa depan, diperkirakan Indonesia juga bisa menikmati 5G, teknologi termutakhir jaringan seluler dalam beberapa tahun kedepan.

Berikut ini teknologi jaringan seluler yang digunakan di Indonesia: (dicetak tebal berarti saat ini masih beroperasi)

  • 1G
    • NMT (Nordic Mobile Telephone): 1986-2006
    • AMPS (Advanced Mobile Phone System): 1991-2003
  • 2G/2,5G
    • GSM (Global System for Mobile Communication): 1994-sekarang
      • GSM 900 MHz: 1994-sekarang
      • GSM 1800 MHz (dahulu DCS-1800): 2001-sekarang
      • GPRS (General Packet Radio Service): 2001-sekarang
      • EDGE (Enhanced Data Rates for GSM Evolution): 2004-sekarang
    • CDMAOne: 1999-2003
    • D-AMPS (Digital AMPS): 1995-2003
    • CT2 (Telepoint): 1996-1999
  • 3G/3,5G
    • CDMA2000 1x: 2002-2017
    • EVDO (Evolution-Data Optimized): 2006-2017
    • UMTS (Universal Mobile Telecommunications System): 2006-2022
    • HSPA (High-Speed Packet Access): 2006-2022
  • 4G/4,5G
    • WiMAX (Worldwide Interoperability for Microwave Access): 2011-2015
    • LTE (Long-Term Evolution): 2013-sekarang
  • 5G
    • NR (New Radio): 2021-sekarang

Industri[sunting | sunting sumber]

Penyedia layanan telekomunikasi seluler yang mendominasi saat ini di Indonesia (dari atas ke bawah: Telkomsel, Indosat Ooredoo Hutchison, XL Axiata dan Smartfren).

Saat ini, ada 5 operator telekomunikasi seluler di Indonesia (dengan 4 yang mendominasi). Hampir semuanya mengoperasikan jaringan berbasis 4G LTE dan 5G, kecuali PSN yang menggunakan telepon satelit.

Selain itu, pernah ada berbagai pemain dalam industri ini yang tidak lagi beroperasi:

Sejarah[sunting | sunting sumber]

1985-1993: Perkembangan awal[sunting | sunting sumber]

Teknologi komunikasi seluler mulai diperkenalkan pertama kali di Indonesia di tahun 1985, ketika Perumtel bersama dengan PT Rajasa Hazanah Perkasa mulai menyelenggarakan layanan komunikasi seluler dengan mengusung teknologi NMT-450 (yang menggunakan frekuensi 450 MHz). Telkom mendapat 30% sedangkan Rajasa 70%. Layanan yang diluncurkan pada 1986 ini kemudian berubah menjadi NMT-470, modifikasi NMT-450 (berjalan pada frekuensi 470 MHz, khusus untuk Indonesia). Rajasa merupakan operator tunggal dari sistem NMT dengan merek Era Mobitel. Selanjutnya, di tahun 1991, teknologi AMPS (mempergunakan frekuensi 800 MHz) dengan sistem analog mulai diperkenalkan ke publik. Teknologi AMPS ditangani oleh tiga operator: PT Elektrindo Nusantara, PT Centralindo Panca Sakti, dan PT Telekomindo Primabhakti (yang pertama adalah Centralindo pada Juli 1991, disusul oleh Elektrindo dan Telekomindo selanjutnya).[13] Regulasi yang berlaku saat itu mengharuskan para penyelenggara layanan telepon dasar bermitra dengan Perumtel (umumnya dengan sistem bagi hasil).

Pada saat itu, telepon seluler yang beredar di Indonesia masih belum bisa dimasukkan ke dalam saku karena ukurannya yang besar dan berat, rata-rata 430 gram atau hampir setengah kilogram. Harganya pun masih mahal, sekitar Rp10 juta. Operasi sistem AMPS dan NMT ini, pada umumnya ditujukan bagi pengguna telepon mobil, dan cakupan layanannya terbatas bagi setiap operator.

1993-2000: Kemajuan dan penurunan[sunting | sunting sumber]

Pada Oktober 1993, PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) memulai pilot-project pengembangan teknologi generasi kedua (2G), GSM, di Indonesia. Sebelumnya, Indonesia dihadapkan pada dua pilihan: melanjutkan penggunaan teknologi AMPS (yang dikembangkan ke Digital AMPS) serta NMT, atau beralih ke GSM yang menggunakan frekuensi 900 MHz. Akhirnya, Menristek saat itu, B.J. Habibie, memutuskan untuk mulai menggunakan teknologi GSM pada sistem telekomunikasi digital Indonesia. Ide penerapannya muncul saat Habibie diundang ke Jerman pada tahun 1990 untuk melihat teknologi tersebut yang didemonstrasikan oleh Siemens di Muenchen. Bersama Setyanto Santosa, direktur PT Industri Telekomunikasi Indonesia (yang selanjutnya menjadi direktur utama Telkom), keduanya kemudian tertarik mengembangkan teknologi tersebut di Indonesia yang dirasa penerimaannya luas dan menguntungkan secara komersial.[14] Adapun Habibie dan Setyanto memilih sistem tersebut dari alternatif seperti sistem Amerika (CDMA) dan Jepang.[15][16]

Pada waktu itu dibangun 3 BTS (Base Transceiver Station), satu buah di Batam dan dua di Bintan. Pada 31 Desember 1993, pilot-project tersebut selesai dibangun infrastrukturnya, dan sistem GSM-nya resmi diujicoba untuk yang pertama kali pada 2 Juli 1994 oleh Habibie.[17] Daerah Batam dipilih sebagai lokasi dengan beberapa alasan: Batam adalah daerah yang banyak diminati oleh berbagai kalangan, termasuk warga Singapura. Jarak yang cukup dekat membuat sinyal seluler dari negara itu bisa ditangkap pula di Batam. Alhasil, warga Singapura yang berada di Batam bisa berkomunikasi dengan murah meriah, lintas negara tapi seperti menggunakan telepon lokal. Jadi pilot-project ini juga dimaksudkan untuk menutup sinyal dari Singapura sekaligus memberikan layanan komunikasi pada masyarakat Batam.

Menyusul keberhasilan proyek tersebut, operator GSM pertama di Indonesia kemudian diberi izin pemerintah lewat Keputusan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi No. PM108/2/MPPT-93 untuk beroperasi, dengan nama Satelindo (PT Satelit Palapa Indonesia). Adapun Satelindo awalnya dimiliki oleh PT Telkom Indonesia (30%), PT Indosat (10%), dan PT Bimagraha Telekomindo (60%)[18] dan cakupan layanannya meliputi Jakarta dan sekitarnya. Tidak lama kemudian, operator GSM kedua di Indonesia didirikan, yaitu Telkomsel (PT Telekomunikasi Seluler) pada 26 Mei 1995 yang daerah operasionalnya dimulai dari Medan, Surabaya, Bandung, dan Denpasar dengan produk Kartu Halo. Tercatat dalam waktu setahun (29 Desember 1996), Telkomsel sudah menjangkau provinsi ke-27, Maluku. Selanjutnya, mulai beroperasi juga PT Excelcomindo Pratama (Excelcom, sekarang XL Axiata) sebagai operator GSM ketiga pada akhir tahun 1996. Untuk membantu pengembangan teknologi GSM pada saat itu, tiga operatornya sama-sama mengundang partner dari investor asing. Satelindo menggandeng Deutsche Telekom pada 3 April 1995 dengan 25% kepemilikan,[19] Telkomsel menggandeng KPN dengan 17,2% kepemilikan pada 1996,[20] sedangkan pada tahun sebelumnya (Oktober 1995) Excelcomindo sudah menggandeng NYNEX dan Mitsui dengan masing-masing 23% dan 4% saham.[21]

Pada periode inilah, jumlah pengguna telepon seluler mulai menunjukkan pertumbuhan yang baik, yang didorong oleh beberapa faktor seperti ukuran perangkat yang makin kecil dan ringan sehingga mudah dibawa dan mulai munculnya operator GSM yang menawarkan kelebihan dibanding teknologi sebelumnya (AMPS dan NMT), seperti kartu SIM yang memungkinkan pelanggan untuk berganti perangkat tanpa mengganti nomor. Kebijakan pemerintah, seperti pembebasan bea masuk telepon genggam, ikut menekan harga menjadi lebih terjangkau. Belum lagi upaya deregulasi industri telekomunikasi demi mendorong investor swasta dengan mengubah regulasi perusahaan telekomunikasi yang awalnya harus berupa sistem bagi hasil dan bangun-guna-serah (BOT) menjadi diizinkan dalam bentuk perusahaan patungan bersama Telkom.[22]

Sebenarnya, tidak hanya teknologi GSM, ada teknologi komunikasi nirkabel lainnya yang berusaha diterapkan di Indonesia saat itu, yaitu CT2, TDMA dan PHS. Penggunaan teknologi GMH 2000/ETDMA diperkenalkan oleh Ratelindo. Layanan yang diberikan oleh Ratelindo berupa layanan fixed-cellular network operator, yaitu telepon rumah nirkabel. Teknologi CT2 diperkenalkan oleh PT Telepoint Nusantara pada 12 November 1996, dengan modal awal 1.000 base station.[23] PHS berusaha diperkenalkan oleh PT Indoprima Mikroselindo (Primasel) pada 1996, dengan wilayah layanan awal di Jawa Timur (walaupun akhirnya tidak pernah dioperasikan).[24] Baik PHS maupun CT2 merupakan teknologi telepon nirkabel, walaupun tidak sama/kompatibel dengan jenis GSM.

Selain itu, teknologi analog yaitu AMPS dan NMT tercatat juga masih memiliki "peminat" di era 1990-an, dengan kini juga tidak lagi untuk telepon mobil melainkan juga telepon seluler. Operasionalnya tidak lagi berbentuk bagi hasil, melainkan kini berupa perusahaan patungan bersama Telkom.

  • Pada 1995, operator tunggal NMT di Indonesia, yaitu PT Rajasa Hazanah Perkasa mentransformasikan proyek bagi hasilnya menjadi perusahaan patungan bernama PT Mobile Selular Indonesia (Mobisel). Jumlah penggunanya ada 24.200, dan tersebar di Jakarta dan Jawa Barat. Kemudian, Mobisel mermperluas operasionalnya hingga ke pulau Sumatra (seperti Lampung).[25]
  • Operator AMPS pertama yang mengubah proyek bagi hasilnya menjadi perusahaan patungan yaitu adalah PT Elektrindo Nusantara pada awal 1995. Perusahaannya bernama PT Komunikasi Selular Indonesia (Komselindo), dengan wilayah operasional di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Jabodetabek, Sumatera Utara serta Aceh.[26]
  • Operator AMPS kedua, yaitu PT Centralindo Panca Sakti mengubah proyek bagi hasilnya menjadi perusahan patungan bernama PT Metro Selular Nusantara (Metrosel) pada akhir 1995. Wilayah operasionalnya ada di Jawa Tengah, Jawa Timur, Irian Jaya dan Maluku.[27][28]
  • Operator AMPS terakhir (dan terkecil) yaitu PT Telekomindo Primabhakti melakukan transformasi bentuk usahanya pada tahun 1996, dengan kini dibawah PT Telekomindo Selular Raya (Telesera). Wilayah layanannya ada di Bali, Kalimantan dan Sumatera Selatan.[29] Telesera merupakan satu-satunya operator analog yang bukan perusahaan patungan dan tetap mempertahankan skema bagi hasil bersama Telkom.[30][31]

Pada periode 1997-1999, Indonesia mengalami guncangan hebat akibat krisis moneter. Walaupun sempat menurun (dari akhir 1997 sebesar 1 juta menjadi 162.000 pada September 1998),[22] minat masyarakat kemudian berhasil naik kembali untuk menikmati layanan telepon seluler, meskipun masih tercatat rendah (saat itu hanya 4 telepon seluler per 1.000 penduduk, jauh dibanding misalnya Singapura yang terdapat 110 telepon seluler/1.000 penduduk).[22] Untuk memenuhi keinginan konsumen, maka beredarlah jenis kartu prabayar untuk pertama kalinya pada era ini. Di tahun 1998, Telkomsel memperkenalkan produk prabayar pertama yang diberi nama Simpati, sebagai alternatif layanan pascabayar Kartu Halo. Lalu Excelcom meluncurkan Pro-XL sebagai jawaban atas tantangan dari para kompetitornya (dan pelengkap layanan pascabayar GSM-XL), dengan layanan unggulan roaming pada tahun 1998. Pada tahun tersebut, Satelindo tak mau ketinggalan dengan meluncurkan produk Mentari, dengan keunggulan perhitungan tarif per detik. Produk Mentari yang diluncurkan Satelindo pun mampu dengan cepat meraih 10.000 pelanggan. Padahal, harga kartu perdana saat itu termasuk tinggi, mencapai di atas Rp 100 ribu dan terus naik pada tahun berikutnya. Hingga akhir 1999, jumlah pelanggan seluler di Indonesia telah mencapai 3,6 juta pelanggan, yang sebagian besar merupakan pelanggan layanan prabayar.

Mengantisipasi keinginan konsumen, pemerintah juga berusaha memperbanyak operator seluler, menggunakan jenis Personal Communications Service/Network (PCS/N). PCS menggunakan dua sistem yaitu GSM (atau bisa disebut juga DCS)-1800 dan PHS. Lisensi layanan PCS/N berbasis GSM 1800 pertama kali diberikan pada awal 1997 kepada PT Selnet Nasional Indonesia (dengan merek Selnas, dimiliki Sudwikatmono dan Mamiek Soeharto lewat PT Cellnet Nusantara) dan PT Indomedia Telephone Cellular National (dengan merek Indophone, milik Bob Hasan dan Titiek Soeharto lewat PT Nusamba Indopacific Telekomunikasi). Belakangan, PT Indopacific Central Media Communications (dengan merek Indocomm, milik Bob Hasan dan Grup Salim) juga sempat mendapatkan izin untuk layanan CDMA.[32][33][34] Masing-masing operator berkongsi dengan Telkom (35% di Indophone dan 10% di Selnas) dan ada yang sudah mengujicoba sistem ini di Jakarta (Selnas), namun kemudian ketiganya dibatalkan pemerintah setelah kejatuhan Orde Baru karena terkesan menampilkan unsur KKN yang kuat.[22][35][36][37] Pada pertengahan 1998, pemerintah kemudian mengadakan tender untuk sistem DCS/GSM-1800 lagi secara regional yang diumumkan pada Oktober-November 1998, dengan pemenangnya yaitu:[38]

Seiring waktu, pemerintah juga memberi izin pada 2000-2001 kepada sejumlah operator baru. Tiga dari operator baru ini berasal dari BUMN.

  • PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) diberikan izin untuk beroperasi nasional pada 16 Agustus 2000. Direncanakan dengan merek TelkoMOBILE.[42]
  • PT Indonesian Satellite Corporation (Indosat) diberikan izin untuk beroperasi nasional pada 14 Agustus 2000.[43]
  • PT Inti Mitratama Abadi (di bawah PT Industri Telekomunikasi Indonesia berpatungan dengan sejumlah pihak termasuk Grup Lippo), untuk wilayah layanan Jakarta (pengganti Indosel), diberi izin pada 2001.
  • PT Mitra Perdana, dengan wilayah operasional Jawa Tengah, diberi izin pada 2001.[44]

Dari calon-calon operator telekomunikasi tersebut, tidak banyak yang bisa beroperasi. Yang dapat mengoperasikan sistemnya hanyalah Natrindo, Indosat dan Telkom. Natrindo merupakan operator pertama yang layanannya diluncurkan pada 27 April 2001 menggunakan merek Lippo Telecom.[45] Indosat kemudian izinnya dialihkan ke anak usahanya, yaitu PT Indosat Multimedia Mobile yang dikenal dengan merek SMART dan BRIGHT, dan diluncurkan pada 31 Agustus 2001 di Batam. Sedangkan Telkom mengalihkan izin DCS-1800nya ke anak usahanya, Telkomsel pada 2002.[46] Sementara itu, bagi operator lain mereka ada yang menyerahkan izinnya kepada pihak lain. Indosel mengembalikan izinnya pada 2000 ke pemerintah, sedangkan izin Astratel/Nuvia, Inti Mitratama, Mitra Perdana, Primarindo dan Ariawest kemudian digabungkan dengan izin Lippo Telecom pada November 2002 sehingga Lippo Telecom bisa beroperasi nasional.[47] Beberapa perusahaan tersebut juga ada yang diambilalih Grup Lippo.

Satu paket dengan tender GSM-1800, pemerintah juga melakukan tender untuk membangun jaringan PHS. Sebenarnya, tender ini sudah berusaha dilakukan pada 1997 untuk 10 operator (PHS/DCS) namun krisis moneter 1998 membuat rencana itu batal. Seiring waktu, tender yang dibuka pada pertengahan 1998 kemudian berhasil mendapatkan 36 peminat, dari target 11 operator (5 PHS dan 6 DCS). Akan tetapi, walaupun target calon operator GSM/DCS-1800 kemudian berhasil terpenuhi (yang ditunjukkan di atas), tidak halnya dengan PHS yang hanya menghasilkan empat pemenang saja, yaitu:

  • PT Bima Investa Utama (Jawa Tengah)
  • PT Telkom (Jakarta), direncanakan dengan merek Telkom Personal PHS.[22][48][49]
  • PT Patria Caraka (Jawa Barat)
  • PT Jaya Telesarana Intisel (Sumatra)[40]

Keempat operator ini (ditambah Primasel sebelumnya) awalnya ditargetkan memulai operasionalnya dalam waktu 12 bulan (dari tahun 1998), namun pada akhirnya tidak ada yang mampu menjalankannya sama sekali. Bagaimanakah dengan CT2? Layanan ini akhirnya juga bernasib tidak baik, yaitu dihentikan pada 1999 setelah hanya beroperasi 3 tahun.[50]

2000-2005: Deregulasi dan perubahan teknologi[sunting | sunting sumber]

Di tahun 2000, industri telepon seluler menunjukkan perbaikan, terkhususnya bagi operator GSM yang terus mengalami kenaikan signifikan. Pada tahun yang sama, layanan pesan singkat (bahasa Inggris: Short Message Service/SMS) mulai diperkenalkan, dan langsung menjadi primadona layanan seluler saat itu. Pada tahun 2001, Indosat mendirikan PT Indosat Multi Media Mobile (Indosat-M3), yang kemudian menjadi pelopor layanan GPRS (General Packet Radio Service) dan MMS (Multimedia Messaging Service) di Indonesia. Pada 8 Oktober 2002, Telkomsel menjadi operator kedua yang menyajikan layanan tersebut dan selanjutnya Satelindo pada awal 2003 juga meluncurkan layanan yang sama.

Masih pada tahun 2001, pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi di sektor telekomunikasi dengan membuka kompetisi pasar bebas. Telkom tak lagi memonopoli telekomunikasi, ditandai dengan dilepasnya saham Satelindo kepada Indosat. Pada akhir 2002, Pemerintah Indonesia juga melepas 41,94% saham Indosat ke Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd. Kebijakan ini menimbulkan kontroversi, yang pada akhirnya membuat pemerintah terus berupaya melakukan aksi beli-kembali (buyback). Sebelumnya, pada akhir 2001 Indosat sudah mengakuisisi Bimagraha Telekomindo (bekas induk Satelindo) dan mendirikan Indosat-M3. Pada November 2003, Indosat menyatukan Bimagraha, Satelindo dan Indosat-M3 dengan induknya (merger).

Di sisi lain, penurunan justru dialami oleh operator AMPS dan NMT. Pada tahun 1999, pengguna AMPS sudah menurun menjadi 4,4% dari seluruh pengguna telepon seluler, dan operator terbesarnya, Komselindo mengalami penurunan yang besar menjadi 36.500 pengguna saja.[51][52] Hal yang sama juga ditemui operator tunggal NMT, Mobisel yang pada 2003 hanya memiliki 5.000 pengguna.[53] Dengan munculnya sistem CDMA, maka operator teknologi analog juga berusaha mengubah sistemnya menjadi CDMA. Layanan CDMA pertama di Indonesia dihadirkan dengan sistem CDMAOne (IS-95) oleh beberapa operator, seperti Komselindo (mulai Mei 2000 di sejumlah daerah),[54] Telkom C-phone (mulai 1999 di Surabaya), dan CityTel (di Makassar),[55] atau yang merencanakan ikut masuk seperti Telselindo Nusantara,[56] walaupun semuanya tidak sukses. Seiring dengan kemajuan CDMAOne menjadi CDMA2000, maka kemudian langkah konversi lebih ditujukan ke sistem mutakhir ini.

Operator pertama yang mengadakan sistem CDMA2000 adalah Flexi milik Telkom, pada Desember 2002, menggunakan frekuensi 800/1900 MHz dengan lisensi FWA (Fixed Wireless Access). Artinya, sistem penomoran untuk tiap pelanggan menggunakan kode area menurut kota asalnya, seperti yang dipergunakan oleh telepon berbasis sambungan tetap dengan kabel milik Telkom. Setelah Flexi, kemudian bermunculan operator CDMA2000 lain. Operator kedua yang meluncurkan sistem CDMA2000 adalah Bakrie Telecom (yang telah berganti nama dari PT Radio Telepon Indonesia/Ratelindo), dengan merek Esia yang diluncurkan pada 12 September 2003.[57] Lalu, bermunculan tiga operator lain: PT Mobile-8 Telecom dengan merek Fren yang diluncurkan pada 8 Desember 2003 (dan merupakan hasil konversi dari jaringan AMPS Komselindo, Metrosel dan Telesera yang telah diakuisisinya),[58] kemudian ada PT Mandara Selular Indonesia dengan merek Neo_n (hasil konversi dari jaringan NMT Mobisel sebelumnya) yang diluncurkan pada Mei 2004 (lalu pada 1 Maret 2006 berganti nama lagi menjadi Ceria),[59][60] dan terakhir ada Indosat dengan StarOne yang diperkenalkan pada bulan yang sama. StarOne dan Esia berbasis FWA, sedangkan Fren dan Neo_n/Ceria berbasis CDMA nasional.

Melalui Keputusan Dirjen Postel No. 253/Dirjen/2003 tanggal 9 Oktober 2003, pemerintah akhirnya memberikan lisensi kepada PT Cyber Access Communication (sekarang PT Hutchison 3 Indonesia) sebagai operator seluler 3G pertama di Indonesia melalui proses tender,[61] menyisihkan 11 peserta lainnya. CAC memperoleh lisensi pada jaringan UMTS (Universal Mobile Telecommunications System) atau juga disebut dengan W-CDMA (Wideband-Code Division Multiple Access) pada frekuensi 1900 MHz sebesar 15 MHz. Lalu, pada 17 September 2004 Natrindo juga mendapatkan izin 3G kedua dengan alokasi frekuensi sebesar 10 MHz.[62] Walaupun demikian, keduanya kemudian baru mengoperasikan jaringannya setelah perubahan kepemilikan pada 2007.

Pada Februari 2004, Telkomsel meluncurkan layanan EDGE (Enhanced Data Rates for GSM Evolution), dan menjadikannya sebagai operator EDGE pertama di Indonesia. EDGE sanggup melakukan transfer data dengan kecepatan sekitar 126 kbps (kilobit per detik) dan menjadi teknologi dengan transmisi data paling cepat yang beroperasi di Indonesia saat itu. Bahkan menurut GSM World Association, EDGE dapat menembus kecepatan hingga 473,8 kilobit/detik. Lalu, sejak April 2004, para operator seluler di Indonesia akhirnya sepakat melayani layanan MMS antar-operator. Pada akhir tahun 2004, jumlah pelanggan seluler sudah menembus kurang lebih 30 juta. Melihat perkembangan yang begitu pesat, diprediksi pada tahun 2005 jumlah pelanggan seluler di Indonesia akan mencapai 40 juta.

2005-2008: Era reformasi Pertelekomunikasian Indonesia[sunting | sunting sumber]

Pada Mei 2005, Telkomsel berhasil melakukan ujicoba jaringan 3G di Jakarta dengan menggunakan teknologi Motorola dan Siemens, sedangkan CAC baru melaksanakan ujicoba jaringan 3G pada bulan berikutnya. CAC melakukan ujicoba layanan telepon video, akses internet kecepatan tinggi, dan menonton siaran MetroTV via ponsel Sony Ericsson Z800i. Setelah melalui proses tender, akhirnya tiga operator telepon seluler ditetapkan sebagai pemenang untuk memperoleh lisensi layanan 3G, yakni PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel), PT Excelcomindo Pratama (XL), dan PT Indosat Tbk (Indosat) pada tanggal 8 Februari 2006. Dan pada akhir tahun yang sama, ketiganya meluncurkan layanan 3G secara komersial.

Pada Agustus 2006, Indosat meluncurkan StarOne dengan jaringan CDMA2000 1x EV-DO di Balikpapan. Pada saat yang sama, Bakrie Telecom memperkenalkan layanan ini pada penyelenggarakan kuliah jarak jauh antara Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan California Institute for Telecommunication and Information (Calit2) di San Diego State University (UCSD) California.

Pemerintah melalui Depkominfo mengeluarkan Permenkominfo No. 01/2006 tanggal 13 Januari 2007 tentang Penataan Pita Frekuensi Radio 2.1 GHz Untuk Penyelenggaraan Jaringan Bergerak Seluler IMT-2000, menyebutkan bahwa penyelenggaraan jaringan tetap lokal dengan mobilitas terbatas hanya dapat beroperasi di pita frekuensi radio 1900 MHz sampai dengan 31 Desember 2007. Jaringan pada frekuensi tersebut kelak hanya diperuntukan untuk jaringan 3G. Operator dilarang membangun dan mengembangkan jaringan pada pita frekuensi radio tersebut. Maka, berdasarkan keputusan tersebut, para operator seluler CDMA berbasis FWA yang menghuni frekuensi 1900 MHz harus segera bermigrasi ke frekuensi 800 MHz. Saat itu ada dua operator yang menghuni frekuensi CDMA 1900 MHz, yaitu Flexi dan StarOne. Akhirnya, Telkom bekerjasama dengan Mobile-8 dalam menyelenggarakan layanan Fren dan Flexi, sedangkan Indosat dengan produk StarOne bekerja sama dengan Esia milik Bakrie Telecom. Walaupun demikian, sebuah operator baru yaitu Smart Telecom yang menggunakan sistem CDMA 1900 MHz (tapi bukan FWA) sejak 3 September 2007, justru tidak terkena peraturan ini.[63]

Jumlah pengguna layanan seluler di Indonesia mulai mengalami ledakan. Jumlah pelanggan layanan seluler dari tiga operator terbesar (Telkomsel, Indosat, dan Excelcom) saja sudah menembus 38 juta. Itu belum termasuk operator-operator CDMA. Hal ini disebabkan oleh murahnya tarif layanan seluler jika dibandingkan pada masa sebelumnya yang masih cukup mahal. Walaupun demikian, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 220 juta pada saat itu, angka 38 juta masih cukup kecil. Para operator masih melihat peluang bisnis yang besar dari industri telekomunikasi seluler itu. Maka, untuk meraih banyak pelanggan baru, sekaligus mempertahankan pelanggan lama, para operator memberlakukan perang tarif yang membuat tarif layanan seluler di Indonesia semakin murah.

Namun di balik gembar-gembor tarif murah itu, BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) dan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) menemukan fakta menarik, ternyata para operator seluler telah melakukan kartel tarif layanan seluler, dengan memberlakukan tarif minimal yang boleh diberlakukan di antara para operator yang tergabung dalam kartel tersebut.[64] Salah satu fakta lain yang ditemukan BRTI dan KPPU adalah adanya kepemilikan silang Temasek Holdings, sebuah perusahaan milik Pemerintah Singapura, di Indosat dan Telkomsel, yang membuat tarif layanan seluler cukup tinggi. Maka, pemerintah melalui Depkominfo akhirnya mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan para operator seluler menurunkan tarif mereka 5%-40% sejak bulan April 2008, termasuk di antaranya penurunan tarif interkoneksi antar operator. Penurunan tarif ini akan dievaluasi oleh pemerintah selama 3 bulan sekali.

Salah satu hal yang cukup menjadi sorotan dalam era ini adalah banyaknya pengalihan kepemilikan atas izin operator telekomunikasi, terutama kepada pihak asing. Walaupun pemerintah beberapa kali menunjukkan kekecewaannya, namun tetap saja semuanya berjalan mulus. Pihak asing tampak mendominasi industri telekomunikasi seluler (terutama GSM) yang masih berlangsung sampai sekarang. Perubahan kepemilikan itu, yaitu:

  • Telkomsel, 35% sahamnya dimiliki oleh perusahaan komunikasi milik Temasek Holdings, Singtel sejak 2002.[65]
  • Indosat (dahulu Indosat-M3 dan Satelindo), mayoritas sahamnya sejak 2002 dimiliki oleh Temasek Holdings (41,94%) Lalu, pada 2008 sahamnya dijual lagi pada perusahaan Qatar, Ooredoo.
  • PT Excelcomindo Pratama, sejak 27 Oktober 2005 dimiliki oleh Telekom Malaysia sebesar 56,9% yang dibeli dari pemilik lama. Sejak 2009, saham ini kemudian dialihkan ke perusahaan afiliasi, Axiata.[66]
  • PT Cyber Access Communication, sejak Juli 2005 dimiliki oleh Hutchison Telecommunications sebesar 60% (menjadi 65% pasca 2013). Pada 2007, layanannya diluncurkan dengan nama 3 (Tri).[67]
  • PT Natrindo Telepon Seluler, sejak 22 Januari 2005 dimiliki oleh Maxis Communications (51%, lalu menjadi 95% pada 2007). Pada 2007, 51% sahamnya dijual lagi pada Saudi Telecom Company.[68][69]

2009-2022: Jatuh-bangunnya bisnis operator[sunting | sunting sumber]

Di Indonesia pada tahun 2009, telah beroperasi sejumlah 10 operator dengan perkiraan jumlah pelanggan sekitar 175,18 juta. Berikut ini adalah Tabel Perolehan pelanggan per tahun 2009 pada setiap Operator:

Operator Produk Jaringan Jumlah Pelanggan (Q1-2009, kecuali ada catatan)[70]
Bakrie Telecom Esia CDMA2000 800 MHz 10,6 juta (Q4-2009)[71]
Hutchison 3 GSM 1800 MHz 6,4 juta
Indosat IM3, Indosat Matrix, Indosat Mentari GSM 900/1800 MHz 33,1 juta (Q4-2009)[72]
StarOne CDMA2000 800 MHz 570.000
Mobile-8 Fren, Mobi, Hepi CDMA2000 800 MHz 3 juta
Natrindo AXIS GSM 1800 MHz 5 juta
Sampoerna Telekom Ceria[73] CDMA2000 450 MHz 780.000
Smart Telecom Smart CDMA2000 1900 MHz >2 juta
Telkom Flexi CDMA2000 800 MHz 13,49 juta
Telkomsel Kartu AS, kartuHalo dan simPATI GSM 900/1800 MHz 81,644 juta (Q4-2009)[74]
XL Axiata XL GSM 900/1800 MHz 31,437 juta (Q4-2009)[75]

Sebagian besar operator telah meluncurkan layanan 3G dan 3,5G. Seluruh operator GSM telah mengaplikasikan teknologi UMTS, HSDPA dan HSUPA pada jaringannya, dan operator CDMA juga telah mengaplikasikan teknologi CDMA2000 1x EV-DO.

Akibat kebijakan pemerintah tentang penurunan tarif pada awal 2008, serta gencarnya perang tarif para operator yang makin gencar, kualitas layanan operator seluler di Indonesia terus memburuk, terutama pada jam-jam sibuk, Sementara itu, tarif promosi yang diberikan pun sering kali hanya sekadar akal-akalan, bahkan cenderung merugikan konsumen itu sendiri. Melihat jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan penetrasi seluler yang baru hampir mencapai 50%, maka masih ada peluang yang terbuka lebar untuk meraih banyak pelanggan baru. Pada 2012, diperkirakan penetrasi seluler di Indonesia akan mencapai 80%.[76]

Jumlah pengguna seluler di Indonesia hingga bulan Juni 2010 diperkirakan mencapai 180 juta pelanggan, atau mencapai sekitar 80 persen populasi penduduk. Dari 180 juta pelanggan seluler itu, sebanyak 95 persen adalah pelanggan prabayar. Menurut catatan ATSI (Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia), pelanggan Telkomsel hingga bulan Juni 2010 mencapai 88 juta nomor, XL sekitar 35 juta, Indosat sekitar 39,1 juta, selebihnya merupakan pelanggan Axis dan Three. Menurut Direktur Utama Telkomsel Sarwoto, dari sisi pendapatan seluruh operator seluler sudah menembus angka Rp100 triliun. Industri ini diperkirakan terus tumbuh, investasi terus meningkat menjadi sekitar US$2 miliar per tahun, dengan jumlah BTS mencapai lebih 100.000 unit.

Seiring perkembangan zaman, juga muncul teknologi 4G yang mulai diperkenalkan dengan dikembangkannya WiMAX (Worldwide Interoperability for Microwave Access) oleh pemerintah.[77] Pemerintah selaku regulator telah menerbitkan tiga peraturan pada bulan Februari 2008 melalui keputusan Dirjen Postel No. 94, 95, 96 mengenai persyaratan teknis mengenai alat dan perangkat telekomunikasi pada frekuensi 3.3 Ghz, sebagai frekuensi yang akan ditempati WiMAX di Indonesia. Pemerintah sendiri telah menyiapkan dana sebesar Rp18 miliar untuk penelitian dan pengembangan teknologi WiMAX di Indonesia, bekerjasama dengan beberapa lembaga penelitian dan perguruan tinggi.[78] Pemerintah membuka akses internet untuk publik sembari menguji coba teknologi WiMAX lokal selama tiga bulan berturut-turut mulai 15 Oktober hingga akhir 2008. WiMAX sendiri adalah teknologi telekomunikasi terbaru yang memudahkan masyarakat untuk mendapatkan koneksi internet berkualitas dan melakukan aktivitas dan teknologi nirkabel telekomunikasi berbasis protokol internet yang berjalan pada frekuensi 2,3 dan 3.3 GHz.

Telkomsel telah menggunakan frekuensi 5,8 GHz untuk menguji coba teknologi WiMAX tersebut. Namun, karena tak punya izin lisensi, operator ini mengklaim meminjam perangkat dan izin penggunaan frekuensi dari penyelenggara lain. Telkomsel sendiri mengklaim mereka tak akan mengkomersilkan WiMAX, sebab mereka lebih memilih LTE (Long Term Evolution) sebagai teknologi masa depan mereka. Telkomsel menggunakan teknologi WiMAX ini untuk backhaul saja. Sementara itu, Indosat melalui produk IndosatM2 bekerja sama dengan Intel untuk menawarkan program pengadaan komputer beserta koneksi internet nirkabelnya di sekolah-sekolah. Program itu nantinya jadi cikal-bakal untuk membidik peluang WiMAX di sekolah.

Pada 27 April 2009 pemerintah memulai melakukan tender untuk membangun sistem WiMAX. Hasilnya ada sejumlah perusahaan yang mememangkan tender pembangunan jaringan ini secara regional di 15 zona (terbanyak oleh Berca Hardyaperkasa dengan 7 zona). Namun, dari banyak perusahaan itu hanya ada dua yang bisa menyelenggarakannya: PT First Media dengan merek Sitra pada 28 Juni 2010 dan PT Berca meluncurkan layanannya yang diberi nama WiGO pada 20 September 2010.[79][80] Walaupun demikian, prospek WiMAX kemudian tidak berkembang sehingga banyak operator lebih memfokuskan untuk membangun sistem LTE.

Pada tanggal 14 November 2013, perusahaan telekomunikasi Internux meluncurkan layanan 4G LTE pertama di Indonesia yaitu Bolt Super 4G LTE. Teknologi yang diterapkan adalah Time Division Duplex (TDD-LTE) pada frekuensi 2300 MHz. Bolt menawarkan kecepatan akses data hingga 72 Mbps.[81] Operator kedua sistem ini adalah Berca Hardayaperkasa dengan merek Hinet pada tanggal 3 Juli 2015. Teknologi yang diterapkan adalah Time Division Duplex (TDD-LTE) pada frekuensi 2300 MHz. Hinet menawarkan kecepatan akses data hingga 72 Mbps. Pada tanggal 27 Juni 2017, perusahaan telekomunikasi Sampoerna Telekomunikasi Indonesia meluncurkan layanan 4G LTE ketiga di Indonesia yaitu Net1. Teknologi yang diterapkan adalah Time Division Duplex (TDD-LTE) pada frekuensi 450 MHz. Net1 menawarkan kecepatan akses data hingga 30 Mbps. Ketiga operator ini bukan merupakan operator murni baru, melainkan hasil konversi dari sistem lain (yang ditinggalkan). Bolt merupakan konversi dari jaringan WiMAX Internux dan First Media, begitu juga Hinet yang merupakan konversi jaringan WiGO Berca. Sementara Net1 merupakan hasil konversi jaringan CDMA2000 dengan merek Ceria sebelumnya. Belakangan, muncul operator lain seperti XL, Telkomsel, Indosat, Tri dan Smartfren yang juga meluncurkan jaringannya. Terkecuali Smartfren, keempat operator sebelumnya saat ini juga mengoperasikan sistem 3G/GSM dan 4G secara paralel.

Era pasca-2009 juga ditandai dengan berbagai aksi konsolidasi dalam industri telekomunikasi. Berbagai merek dan operator menghilang atau bergabung dengan yang lain, meninggalkan 4 pemain utama. Ada juga operator yang mengubah sistemnya (terutama CDMA) agar bisa kompetitif di pasaran.[82] Konsolidasi tersebut didorong oleh beberapa faktor, seperti mulai ditinggalkannya penggunaan operator berbasis CDMA oleh masyarakat dan produsen telepon seluler dibanding GSM; munculnya teknologi baru seperti LTE; "perang harga" pada 2008-2009 yang justru menggerogoti keuntungan perusahaan penyelenggara jaringan seluler; dan Biaya Hak Penggunaan (BHP) jaringan yang makin mahal.[83] Belum lagi pertumbuhan bisnis sejumlah operator yang melambat belakangan ini, upaya menerapkan teknologi baru (seperti 4G dan 5G) dan memperluas bandwith yang dibatasi hak spektrum,[84] maupun dukungan dari pemerintah dan berbagai pihak demi mendukung transformasi digital nasional.[85] Beberapa operator yang tercatat harus "angkat tangan" atau menggabungkan diri pada periode ini, seperti:

  • Pada 2009, Mobile-8 Telecom diakuisisi oleh Sinarmas Group. Sinarmas menyatukan Smart Telecom miliknya dengan Mobile-8 Telecom pada 2010-2011 dan merger dengan nama baru yaitu PT Smartfren Telecom Tbk.
  • Pada 7 Juni 2013, layanan WiMAX Sitra resmi dihentikan.[86] Seiring peluncuran Bolt, maka layanan WiMAX Sitra dialihkan ke Bolt.[87][88]
  • Pada 2013, PT Axis Telekom Indonesia diakuisisi oleh PT XL Axiata Tbk dari dua pemegang saham utamanya, STC dan Maxis. Lalu, pada 8 April 2014, perusahaan ini digabungkan dengan XL Axiata, sehingga merek AXIS kini berada di bawah naungan PT XL Axiata Tbk[89]
  • Pada 2014-2016, Bakrie Telecom memutuskan untuk meninggalkan industri operator seluler. Sebelumnya, operator CDMA besar ini sudah mengonsolidasikan mereknya (yang awalnya ada Esia, AHA, Wifone dll) menjadi hanya satu merek, yaitu Esia pada 2012.[90] Namun, seiring kerugian dan penurunan pengguna CDMA, maka pada 30 Oktober 2014 dijalin kerjasama dengan Smartfren untuk menyatukan jaringan mereka. Setelah itu, pada 2015 dan 2016, Bakrie Telecom menghentikan operasional jaringan seluler mereka.
  • Pada 4 Oktober 2014, Flexi, operator CDMA Telkom resmi menghentikan operasionalnya.[91]
  • Pada 30 Juni 2015, StarOne, operator CDMA Indosat resmi menghentikan operasionalnya.[92]
  • Pada 3 Juli 2015, diluncurkan layanan Hinet, pengganti sistem WiMAX sebelumnya yang bernama WiGO. Dengan peluncuran ini, maka operasional sistem WiMAX di Indonesia berakhir.
  • Pada 27 Juli 2017, layanan Ceria yang berbasis CDMA resmi berganti nama menjadi Net1 Indonesia dengan basis 4G LTE.[93]
  • Pada 13 November 2017, layanan CDMA Smartfren resmi ditutup, mengakhiri layanan CDMA di Indonesia.[94] Pelanggannya dialihkan ke 4G LTE.
  • Pada 28 Desember 2018, layanan Bolt milik Internux resmi menghentikan operasinya karena menunggak biaya BHP frekuensi ke negara.[95]
  • Pada 29 Desember 2020, pemilik Indosat, Ooredoo menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan pemilik Tri, CK Hutchison Holdings untuk menggabungkan kedua perusahaan ini. Setelah melalui perjanjian tidak mengikat dan perundingan,[96] pada tahun 2021, Indosat dan 3 akhirnya secara resmi meleburkan diri membentuk Indosat Ooredoo Hutchison pada 4 Januari 2022, sehingga merek 3 (Tri) kini berada di bawah naungan PT Indosat Tbk.
  • Pada 30 November 2021, Net1 Indonesia resmi menghentikan operasinya karena izinnya dicabut, akibat menunggak biaya BHP frekuensi ke pemerintah.[97]
  • Operator eks-WiMAX terakhir, Hinet yang beroperasi dengan sistem 4G-LTE, ikut menghentikan operasionalnya di akhir 2022.
  • Selain itu, rumor-rumor konsolidasi lain juga banyak beredar, misalnya Tri-XL,[98] dan juga XL-Smartfren.[99] Walaupun saat ini isu-isu konsolidasi masih sebatas rumor, namun para operator dan pemerintah mendukung rencana ini.[100][101]

Di sisi lain, pengguna jaringan seluler di Indonesia semakin meningkat, dari 2013 mencapai 313 juta, menjadi 435 juta di tahun 2017 dan 365 juta di tahun 2021. Hampir sekitar 97%-nya menggunakan kartu prabayar, sedangkan sisanya pascabayar, dan banyak yang memiliki 2 nomor atau lebih perorang. Adapun penurunan sempat terjadi ketika pemerintah menerapkan kewajiban registrasi kartu SIM pada tahun 2017, yang dilandasi upaya untuk mencegah penyalahgunaan kartu SIM untuk hal yang tidak bertanggungjawab seperti penyebaran kabar bohong dan kejahatan finansial.[102][103] Hal ini sempat membuat operator seperti Telkomsel dan Indosat mengalami penurunan subscriber yang cukup besar, hingga 30-50 juta pelanggan dalam setahun (2017-2018).[104] Pada saat yang sama, persentase rumah tangga pengguna telepon seluler juga hampir mendekati 100%, yaitu 88,46% pada 2018 dan 90,75% di tahun 2020,[105] sedangkan untuk kepemilikan per individu, naik dari 47,9 juta unit di tahun 2013 menjadi 65,87 juta unit di tahun 2021.[106]

2019-sekarang: Adaptasi teknologi baru[sunting | sunting sumber]

Dengan perkembangan pemakai telepon seluler dan digitalisasi yang semakin meningkat, maka berbagai teknologi terus muncul. Pada Juli 2019, seiring dengan beredarnya iPhone XS, sistem eSIM mulai diperkenalkan di Indonesia oleh Smartfren, sehingga pelanggan tidak membutuhkan kartu SIM fisik.[107] Selain itu, teknologi jaringan seluler juga kini menjadi 4,5G, dan bahkan direncanakan naik menjadi 5G. Ujicoba sistem 5G ini sudah dilakukan pada akhir 2019-2020 oleh XL, Tri dan Telkomsel.[108][109][110]

Salah satu langkah awal menuju peluncuran sistem ini adalah lelang jaringan yang diumumkan pemerintah pada 18 Desember 2020, dimana Smartfren, Tri dan Telkomsel menjadi pemenangnya masing-masing pada frekuensi 2,3 GHz di blok A, B dan C.[111] Namun, tiba-tiba pada 25 Januari 2021, Kemenkominfo membatalkan hasil lelang ini.[112] Walaupun demikian pemerintah masih tetap berkomitmen untuk mengadakan lelang ulang (dengan lebih baik) dan pemajuan teknologi 5G dalam waktu segera.[113][114] Lelang lainnya yang diantisipasi adalah untuk frekuensi 700 MHz, seiring penghentian siaran analog televisi.[115] Meskipun lelang gagal dilakukan, namun beberapa operator saat ini tengah menggeber pelaksanaan 5G, walaupun tidak terlalu masif dengan terkonsentrasi di kota-kota besar maupun kawasan tertentu saja.[116] Telkomsel misalnya memiliki 478 BTS 5G, sedangkan Indosat ada 90. XL, Indosat dan Telkomsel juga sudah mengoperasikan jaringan tersebut di sejumlah daerah.[117]

Tren yang juga berkembang di periode 2020-an adalah menguatnya praktik fixed–mobile convergence (FMC), dengan perusahaan telekomunikasi seluler selain mengoperasikan jaringan nirkabel, juga ikut dalam penyediaan jaringan fisik kabel. 4 operator besar seluler kini sudah memiliki rekan bisnis di bidang internet fisik yang dimiliki sendiri, dimana keduanya biasanya terjadi kerjasama pengoperasian jaringan maupun produk-produk.

  • Pelopor dari layanan FMC adalah XL Axiata yang pada 2021 meluncurkan produk XL Satu. Di tahun 2022, XL memantapkan bisnisnya dengan mengakuisisi LinkNet dari Grup Lippo, dan mensinergikan bisnis internet kabel First Media dengan XL.
  • Di pertengahan 2023, Telkomsel mengakuisisi layanan sejenis First Media, IndiHome yang sebelumnya dijalankan langsung oleh Telkom Indonesia.
  • Langkah Indosat dalam bisnis ini sempat berhenti ketika IndosatM2 berhenti beroperasi, namun pada tahun 2022, mereka meluncurkan produk sejenis bernama Indosat HiFi. Untuk memperluas pasarnya di akhir 2023 Indosat mengakuisisi 330.000 pelanggan MNC Play.[118]
  • Adapun Smartfren merupakan operator yang belum nampak serius menggeber bisnis FMC. Namun sebenarnya mereka masih satu pengendalian dengan MyRepublic (operator internet fisik) dan Moratelindo (penyedia infrastruktur). Adapun saat ini kerjasama FMC ketiganya baru sebatas kerjasama terbatas Smartfren-MyRepublic,[119] sedangkan pelaksanaan penuhnya masih terbatas untuk internal perusahaan.[120]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ studiohp[pranala nonaktif permanen]
  2. ^ ensikopledia
  3. ^ Telkomsel Mulai Gelar Layanan 3G
  4. ^ Cakupan 4G Smartfren Terluas, Telkomsel Unggul di Kecepatan
  5. ^ Smartfren Luncurkan Jaringan 4,5G
  6. ^ XL Luncurkan Layanan 4,5G
  7. ^ Jaringan 4,5G Indosat Sudah Bisa Dinikmati
  8. ^ HUT Ke-27, Jumlah Pelanggan Telkomsel Tembus 175 Juta
  9. ^ Penyebab Jumlah Pelanggan Indosat (ISAT) Tembus 102 Juta, Melonjak 63 Persen
  10. ^ "Layanan Data Sumbang 91 Persen dari Pendapatan XL Axiata, Catat Laba Rp 1,1 T di Akhir 2022". 20 February 2023. 
  11. ^ Smartfren Gelar Public Expose 2022
  12. ^ Jumlah Pengguna Telkomsel Terbesar di Indonesia
  13. ^ Eksekutif, Masalah 159-162
  14. ^ Strongest by Best People: The Telkomsel Way dan Transformasi Human Capital
  15. ^ Saat Jadi Menristek, Habibie Pilihkan GSM untuk Pengembangan Telkomsel
  16. ^ Untold Story IPO Telkom di NYSE & BEJ
  17. ^ Kisah Menara BTM001 dan Sejarah BTS Pertama Telkomsel di Indonesia
  18. ^ http://74.125.153.132/search?q=cache:YkvU1zEW6coJ:ccc.domaindlx.com/lergrage/telekom/Presentation1.ppt+Bimagraha+GSM&cd=3&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a[pranala nonaktif permanen]
  19. ^ Indonesia Business Weekly, Volume 3,Masalah 12-28
  20. ^ Strongest by Best People: The Telkomsel Way dan Transformasi Human Capital
  21. ^ NYNEX joins Indonesian cellular venture; largest U.S. investment in Indonesian telecommunications market
  22. ^ a b c d e CELLULAR TELEPHONE BUSINESS SLUMPING; MARKET COMPETITION UP.
  23. ^ JP/New cordless telephone service launched
  24. ^ "PT INTI SEGERA LUNCURKAN 11 PAGER MINI". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-02-13. Diakses tanggal 2021-03-08. 
  25. ^ Untold Story IPO Telkom di NYSE & BEJ
  26. ^ Ummat, Volume 2,Masalah 21-26
  27. ^ Annual report First Pacific 1996
  28. ^ Asia-Pacific Telecommunication Indicators
  29. ^ Yearbook of Asia-Pacific Telecommunications
  30. ^ Yearbook of Asia-Pacific Telecommunications
  31. ^ Untold Story IPO Telkom di NYSE & BEJ
  32. ^ Annual Report
  33. ^ Pesta pora rezim Soeharto: rekaman dokumentasi media
  34. ^ PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA, Tbk
  35. ^ Pan-Asian Telecom, Volume 2,Masalah 17-23
  36. ^ Towards a Knowledge-based Economy: East Asia's Changing Industrial Geography
  37. ^ Review of Industrial Organization, Volume 21
  38. ^ ARIA WEST, OTHERS AWARDED DCS 1800 FRANCHISES
  39. ^ Warta ekonomi: mingguan berita ekonomi & bisnis, Volume 12,Masalah 29-31
  40. ^ a b JP/The battle continues
  41. ^ Wireless cellular
  42. ^ Tempo: Indonesia's Weekly News Magazine, Volume 1,Masalah 21-30
  43. ^ Lapkeu Indosat Q2 2013
  44. ^ Warta ekonomi: mingguan berita ekonomi & bisnis, Volume 13,Masalah 35-43
  45. ^ "Lippo Telecom Memperkenalkan Indonesia kepada teknologi ponsel GSM 1800". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2005-02-23. Diakses tanggal 2005-02-23. 
  46. ^ Asiamoney, Volume 13,Masalah 6-8
  47. ^ "NATRINDO JADI OPERATOR NASIONAL". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-11-10. Diakses tanggal 2006-11-10. 
  48. ^ Pan-Asian Telecom, Volume 2,Masalah 17-23
  49. ^ The Business of Telecommunication: Networking in the New Millennium
  50. ^ Laporan Keuangan KBLV 2015
  51. ^ Yearbook of Asia-Pacific Telecommunications
  52. ^ Towards a Knowledge-based Economy: East Asia's Changing Industrial Geography
  53. ^ Yearbook of asia-pacific telecommunication
  54. ^ Yearbook of Asia-Pacific Telecommunications
  55. ^ Tempo, Volume 33,Masalah 13-18
  56. ^ JP/Telselindo's service may be delayed
  57. ^ ESIA, Telepon Nirkabel dari Bakrie Telecom
  58. ^ 27 Siasat Menembus Pasar
  59. ^ Indonesian Commercial Newsletter, Volume 29,Masalah 379-386
  60. ^ Sampoerna Telekomunikasi Indonesia
  61. ^ http://www.kapanlagi.com/h/0000059100_print.html
  62. ^ Anggota BRTI: Pemberian Lisensi Frekuensi 3G Sah
  63. ^ Baru Luncur, Smart Sudah Terancam Tergusur
  64. ^ http://naifalas.wordpress.com/2007/06/15/kartel-pada-industri-seluler-indonesia/
  65. ^ Cases in Management Seri 2 (Kasuskasus Manajemen)
  66. ^ Telekom Malaysia Tambah Saham XL Sampai 56,9%
  67. ^ Hutchison Telecom says it will ‘close deal soon’ on Cyber Access
  68. ^ Maxis Beli 51 Persen Saham Lippo Telecom
  69. ^ Kongsi Group Lippo dan Astro Malaysia Kian di Ujung Tanduk
  70. ^ "Salinan arsip". Bisnis.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-10-16. Diakses tanggal 2009-10-14. 
  71. ^ Bakrie Telecom FY09 Results
  72. ^ Investor Relations Indosat site
  73. ^ "Salinan arsip". Bisnis.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-10-11. Diakses tanggal 2009-10-14. 
  74. ^ Highlight Q4-2009 Telkomsel
  75. ^ PT XL Axiata, Tbk (XL) FY09
  76. ^ http://techno.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/11/13/54/163797/nsn-2012-penetrasi-seluler-indonesia-capai-80[pranala nonaktif permanen]
  77. ^ http://www.antara.co.id/view/?i=1190647159&c=TEK&s=
  78. ^ http://roromendut.wordpress.com/2008/12/25/teknologi-wimax-untuk-operator-seluler-di-indonesia/
  79. ^ Berca Siap Gelar Wimax dengan WiGO
  80. ^ Menjajal Kecepatan 4G Wimax First Media
  81. ^ Panji, Aditya. Wahyudi, Reza, ed. "Internet 4G LTE Resmi Hadir di Indonesia". Kompas.com. Diakses tanggal 15 November 2013. 
  82. ^ 5 proses konsolidasi di industri telekomunikasi
  83. ^ Ini Penyebab Pudarnya CDMA di Indonesia
  84. ^ Catatan Akhir 2022: Konsolidasi Operator Apakah Kembali Berlanjut di Tahun Depan?
  85. ^ Demi Transformasi Digital, Konsolidasi Operator Seluler Adalah Solusinya
  86. ^ Sitra Wimax Hentikan Layanan Internet
  87. ^ Customer Care Bolt Internux Mengecewakan
  88. ^ Sebagai Pelanggan Lama sitra . . . akhirnya Penantian itu menemui titik terang
  89. ^ Panji, Aditya. Hidayat, Wicak, ed. "XL dan Axis Resmi Jadi Satu Perusahaan". Kompas.com. 
  90. ^ Revitalisasi Angkat Kinerja Bakrie Telecom
  91. ^ Telkom Flexi Resmi Ditutup
  92. ^ Indosat Resmi Hentikan Layanan StarOne
  93. ^ Adopsi 4G, Ceria berubah menjadi Net1 Indonesia?
  94. ^ 13 November, Smartfren Tutup Sepenuhnya Jaringan CDMA
  95. ^ Kominfo Resmi Cabut Izin Frekuensi First Media dan Bolt[pranala nonaktif permanen]
  96. ^ Ini Penjelasan Indosat Terkait Rencana Merger dengan Tri
  97. ^ Net1 Indonesia Sudah Tidak Beroperasi Sejak 30 November 2021
  98. ^ Rumor XL Axiata Merger dengan Tri, Ini Jejak Historisnya
  99. ^ Saham FREN Lepas dari Geng Gocap, Ini Kisahnya
  100. ^ Bidik Peluang Konsolidasi Operator, Begini Strategi XL Axiata
  101. ^ Kominfo: Operator Telko Terlalu Banyak, Dorong Konsolidasi
  102. ^ Alasan Pemerintah Wajibkan Registrasi Kartu SIM
  103. ^ Ini Jumlah Pelanggan Telepon Seluler di Indonesia sampai 2020
  104. ^ Dua Operator Seluler Alami Penurunan Pelanggan Usai Penertiban SIM Prabayar
  105. ^ Jumlah Rumah Tangga Pemilik Ponsel di Indonesia pada 2020 Sebanyak 90,75 Persen, Tertinggi Bukan di Ibu Kota
  106. ^ [https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/09/08/kepemilikan-ponsel-di-indonesia-melonjak-68-dalam-1-dekade-terakhir Kepemilikan Ponsel di Indonesia Melonjak 68% dalam 1 Dekade Terakhir]
  107. ^ Smartfren Luncurkan eSIM, Pertama di Indonesia
  108. ^ XL Uji Coba 5G Pakai DSS, Kecepatannya Lebih Lambat dari 4G
  109. ^ Telkomsel Gelar Uji Coba 5G untuk Kebutuhan Industri, Akselerasikan Negeri Menuju Making Indonesia 4.0
  110. ^ Gandeng Kominfo dan ITS, 3 Indonesia Gelar Uji Coba 5G
  111. ^ Ini Tiga Operator Seluler yang Dapat Frekuensi 5G di Indonesia
  112. ^ Telkomsel dan Smartfren Terima Putusan Pembatalan Lelang Frekuensi 5G
  113. ^ Frekuensi 5G Bakal Dilelang Lagi, Kominfo Diminta Lakukan Ini
  114. ^ Usai Batal Lelang Frekuensi 2,3 GHz, Kominfo Susun Rencana Gelar 5G
  115. ^ Janji Lelang Spektrum dan Insentif 5G
  116. ^ 2024, Pengguna 5G Diperkirakan Mencapai 50 Juta
  117. ^ 5G Telkomsel XL Axiata Meluas ke Industri Baru 2023, Selanjutnya Sektor Apa?
  118. ^ Aksi Korporasi Terbesar Telkomsel, XL Axiata dan Indosat Demi FMC 2023
  119. ^ Bukan Hanya IndiHome-Telkomsel, Operator Ini Sudah Lakukan Fixed Mobile Convergence
  120. ^ Diam-diam, Smartfren Ternyata Sudah Terjun ke Layanan FMC

Pranala luar[sunting | sunting sumber]